Bab
3
4 September
Oke gue sekarang yakin hidup gue disumpahin sama orang. Kalau gue
sampai temuin tuh orang yang nyumpahin gue, bakalan gue mutilasi badannya.
Gimana bisa sih orang seramah dan sebaik gue bisa sesial ini Cuma dalam jangka
waktu beberapa hari? Serius deh. *** Aku baru saja kalah pemilihan kepala regu
Pramuka. Aku sudah jadi Pramuka semenjak kelas tiga SD dengan harapan dalam
tiga tahun aku akan bisa jadi kepala regu. Alhasil, aku tidak bisa menerima
kekalahan ini dengan baik, terutama karena yang terpilih menjadi kepala regu
adalah seorang cewek bernama Ria yang menurutku sangat tidak kompeten. Karena
kesal dan kecewa pada diriku sendiri, aku pun pergi ke halaman belakang sekolah
untuk menangisi kekalahanku. Kutinggalkan teman-temanku yang lain yang sedang
merayakan kemenangan Ria dengan mengatakan bahwa aku mau pergi ke kamar kecil.
Halaman belakang biasanya memang selalu kosong kalau siang karena anak-anak
lebih suka main di halaman depan yang banyak rumputnya dan rindang karena
banyak pepohonan. Aku baru saja mulai menangis sambil menyandarkan tubuh pada
dinding belakang salah satu kelas. Kutenggelamkan wajahku di antara telapak
tanganku. Tiba-tiba kudengar langkah kaki dan ketika kuangkat wajahku,
kekesalanku semakin menjadi dengan kemunculan mimpi burukku. “Nad-nad, kamu
kenapa nangis?” Tanya Kafka sambil nyengir. “Nggak ada apa-apa,” ucapku sambil
mengusap wajahku yang basah dengan air mata. “Kamu pergi sana. Jangan ganggu
aku,” lanjutku sambil berjalan kembali menuju halaman depan. “Kamu mau cerita
ke aku? Aku mungkin bisa bantu.” Kata-kata Kafka yang untuk pertama kalinya
terdengar tulus membuatku menghentikan langkahku untuk menatap wajahnya. “Kalau
aku cerita ke kamu nanti kamu malah ngetawain aku.” “Aku nggak akan ngetawain
kamu,” Kafka mencoba meyakinkanku. “Nanti kamu cerita ke Gempur sama Kris dan
mereka bakalan ngetawain aku,” aku masih terdengar tidak yakin. “Aku nggak akan
cerita ke mereka kalau kamu nggak mau aku cerita ke mereka.” “Nanti kamu…” “Aku
janji untuk nggak ngapa-ngapain kamu. Suwerrr…,” Kafka memotongku sambil
mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Sekali lagi aku
ragu, tetapi melihat wajah Kafka yang terlihat benar-benar ingin membantu, aku
pun luluh dan sambil duduk di atas bangku kayu panjang yang memang tersedia di
sekitar situ, kutumpahkan semua masalahku pada Kafka. Aku sempat terkejut
ketika Kafka memang mendengarkan masalahku dengan saksama dan tidak
menertawakanku. Pada saat itu aku menyadari bahwa di bawah semua pesona anak
laki-laki isengnya, Kafka ternyata juga bisa serius dan pengertian. Kemudian
kudengar bunyi bel, yang menandakan bahwa waktu istirahat sudah selesai dan
kami harus kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran hari itu. “Makasih ya,
Kaf,” ucapku sambil berdiri dan mencoba merapikan rokku. Aku masih tidak
percaya bahwa aku sudah menceritakan masalahku pada Kafka, sehingga merasa agak
malu dan risi untuk menatapnya.
“Jangan
nangis lagi, ya.” Mendengar nada Kafka yang terdengar lembut kuangkat tatapanku
dari rokku ke wajahnya. Dan pada detik itu, aku menyadari bahwa aku dan Kafka
mungkin bisa berteman, kalau saja dia menghentikan keisengannya pada diriku.
Tanpa kusangka-sangka Kafka kemudian mencium pipiku, bersamaan dengan
terdengarnya bunyi bel kedua. Aku hanya terdiam ketika bibirnya menyentuh kulit
wajahku karena terlalu terkejut untuk bereaksi. Seumur hidupku, aku tidak
pernah dicium oleh anak laki-laki mana pun, sehingga aku betul-betul tidak tahu
reaksi apa yang harus kuberikan. “Cieee… Kafka sama Nadia…” terkejut aku
langsung menolehkan kepalaku dan melihat Gempur dan Kris sedang berdiri tidak
jauh dari kami dengan senyuman lebar mereka. Pipiku rasanya seperti terbakar.
Bukan hanya karena bekas ciuman Kafka, tetapi juga karena malu. Aku tahu bahwa
berita tentang Kafka menciumku akan tersebar ke seluruh sekolah sebelum akhir
jam sekolah hari ini. Tanpa berpikir panjang lagi aku pun langsung berlari
menuju kelas. Kudengar Kafka memanggil-manggil namaku, tetapi aku tetap
berlari. Seperti dugaanku, pada akhir jam sekolah setiap anak tidak
henti-hentinya meledekku. Kalau saja ledekan mereka berdasarkan fakta, mungkin
aku tidak akan merasa terlalu sedih, tetapi kenyataannya adalah bahwa hanya dalam
selang waktu beberapa jam, fakta sudah berubah 180 derajat. Kini berita yang
tersebar mengatakan bahwa akulah yang memaksa Kafka untuk menciumku. Saking
kesalnya, aku langsung berlari menuju kelasnya begitu jam akhir sekolah
berbunyi. Kutemukan Kafka sedang berjalan keluar dari kelas sambil ngobrol
dengan Gempur dan Kris yang langsung memberi tanda padanya bahwa aku datang
menemuinya dengan wajah siap perang. Aku baru menghentikan langkahku ketika
ujung sepatuku hampir saja menyentuh ujung sepatu Kafka. “Kamu ngomong apa sih
ke semua orang?” desisku. Kafka menatapku dan berkata tanpa merasa bersalah,
“Apa adanyalah.” “Apa adanya? Kalau apa adanya, kamu harusnya bilang ke mereka
kamu yang tiba-tiba cium aku, bukan aku yang maksa kamu untuk cium aku.” “Tapi
memang kamu maksa Kafka kan, Nad? Ngaku saja kenapa sih? Nggak usah malu gitu,
lagi,” komentar Gempur. Mendengar komentar itu kutatap Gempur dengan tajam dan
dia langsung terdiam dengan ekspresi sedikit terkejut karena sepanjang
sepengetahuan anak-anak dan guru-guru di sekolahku, aku memang tidak pernah
marah. Maka, aku pasti punya alasan yang tepat kalau sampai semarah ini. “Kaf,
Nadia kan yang maksa lo untuk cium dia?” tatapan Kris beralih dari wajahku ke
wajah Kafka, kemudian beralih lagi padaku. Tatapanku kualihkan dari Gempur
kepada Kafka dan menantangnya untuk mengatakan hal yang sebenarnya. “Yo’i, man.
Nadia yang maksa gue,” ucap Kafka santai. Gempur dan Kris terlihat puas dengan
jawaban ini dan kini sedang menatapku dengan penuh kemenangan. Mulutku langsung
terbuka ketika mendengar kata-kata ini. “Kafka… kamu… kamu…” aku tidak bisa
menemukan kata-kata yang tepat untuk memaki-makinya. Itu mungkin karena aku
tidak pernah perlu memaki-maki siapa pun di dalam hidupku. Sekali lagi kutatap
Kafka, menunggu hingga dia memberanikan diri untuk mengakui kebohongannya,
tetapi aku tetap tidak menerima reaksi apa-apa darinya. Kecewa, aku pun
memberanikan tatapan paling sangar yang pernah kuberikan kepada siapa
pun
dan meninggalkannya. Begitu sampai di rumah aku langsung mengunci diri di dalam
kamarku dan menangis sepuasnya. Tingakh lakunya yang bertolak belakang hanya
dalam beberapa jam membuatku bertanya-tanya. Untuk apa dia bertingkah laku baik
selama beberapa menit, bahkan meredakan tangisku kalau akhirnya akan mempermalukan
juga? Dan entah bagaimana, tetapi satu-satunya kesimpulan yang bisa aku tarik
dari kejadian ini adalah bahwa aku sama sekali tidak menarik sebagai seorang
anak perempuan, sampai-sampai anak laki-laki bandel seperti Kafka saja malu
untuk mengakui bahwa dia telah menciumku. Kenyataan ini bukannya meredakan
tangisku, tetapi membuatku menangis semakin tersedu-sedu. Betekad untuk
menunjukkan bahwa pengkhianatan Kafka tidak memengaruhiku sama sekali, aku
muncul di sekolah keesokan harinya dengan kepala tegak dan senyuman ramah.
Melihatku seperti ini sepertinya membuat Kafka dongkol dan dia mencoba berbagai
macam cara lagi untuk membuatku menangis, tetapi aku sudah berjanji kepada
diriku sendiri untuk tidak lagi memedulikan semua ledekan dan ejekan yang
datang dari Kafka dan kedua temannya. Isu mengenai aku memaksa Kafka untuk
menciumku pun lambat laun reda dan pada saat aku lulus SD, isu itu sudah hilang
sama sekali. Meskipun aku masih bisa merasakan bekasnya hingga hari ini. Aku
selalu mengharapkan Kafka mau mengakui kebohongan besarnya itu dan meminta maaf
padaku, tetapi kedua hal itu tidak pernah terjadi. Ketika aku baru saja keluar
dari kamar mandi dengan otot-otot yang lebih relaks berkat NKOTB, kulihat Jana
sudah bangun dan sedang berdiri di depan lemari pakaian sambil mengeluarkan
bajunya. “Bangun juga lo akhirnya. Gue sangkain lo bakalan tidur seharian,”
ucapku sambil menunduk agar bisa mengeringkan rambutku dengan handuk. “Tadinya
sih memang masih mau tidur. Tapi tadi ada telepon, jadi gue terpaksa bangun,”
balas Jana sambil menggenggam sepasang pakaian dalam di tangannya. “Omong-omong
aneh benget deh. Tuh cowok bilang dia temen lo dan mau bikin janji untuk dinner
nanti malam. Gue nggak tahu lo ada temen di Bali, Nad,” lanjut Jana. “Dia Cuma
orang yang gue kenal waktu SD. Tolongin gue deh. Kalau nanti dia sampai telepon
lagi, bilang kita sibuk. Gue nggak mau ketemu sama dia lagi, kalau bisa.”
Ucapku sambil kembali melangkah masuk ke kamar mandi. “Lho kok gitu?” Jana
terlihat bingung. “Panjang deh ceritanya. Nggak usah diambil pusing.” Kemudian
kunyalakan pengering rambut untuk menenggelamkan segala kemungkinan Jana
menginterogasiku. ***
Selama ini aku selalu merasa
bahwa bunuh diri adalah hal paling tidak masuk akal yang akan dilakukan oleh
manusia. Apakah hidup ini sebegitu buruknya sehingga mereka mau meninggalkannya
buru-buru? Atau apakah memang tidak ada jalan lain sama sekali sehingga mereka
mengambil keputusan ini? Tapi kini aku betul-betul paham bahwa kadang kala
keadaan di dunia ini memang sangat buruk dan kita tidak memiliki pilihan lain
selain untuk meninggalkannya selama-lamanya. Sewaktu di Bali, aku memang
berhasil menghindari Kafka dengan bantuan ketiga sobatku yang pada dasarnya
memblokir saluran telepon, Kafka tidak berkesempatan untuk berbicara denganku.
Aku bahkan berhasil menghindarinya di bandara dengan waktu check-in yang mepet
dan berpura-pura tidur di dalam pesawat. Ketika sampai di Soekarno-Hatta, aku
dan sobat-sobatku langsung menghilang secepat mungkin setelah mengambil bagasi,
sehingga Kafka hanya sempat melambaikan tangan
sebelum
aku kemudian menghilang dari pandangannya untuk selama-lamanya. Aku sangat
bersyukur kepada ketiga sobatku yang mau bekerja sama menghindari Kafka,
meskipun mereka tidak habis-habisnya menginformasikan kepadaku bahwa Kafka itu
“A hot piece of ass”, kata Adri. “Ha-Oo-Te banget”, menurut Dara, dan “Cute
juga”, menurut Jana. Mungkin itulah fungsinya sobat, mereka akan membela dan
melindungi kita meskipun mereka tidak tahu duduk permasalahannya dan membuatku
ingin menyumbat mulut mereka dengan gumpalan kertas pada saat yang bersamaan.
*** Sepulangnya dari Bali pada hari Minggu itu, aku memutuskan untuk
mengunjungi rumah orangtuaku dulu daripada langsung pulang ke kos. Sudah satu
bulan lebih aku tidak bertemu dengan mereka, aku jadi merasa agak bersalah
karena telah menelantarkan mereka. Aku baru saja melangkah turun dari mobilku
ketika Mama menghujaniku dengan permintaan agar aku membujuk Papa supaya mau
dibawa ke rumah sakit. Keluarga Papaku memang memiliki keturunan penyakit
jantung dan darah tinggi, jadi mamaku sedikit khawatir Papa mengidap penyakit
yang sama. Sudah beberapa bulan belakangan ini Papa mengeluh karena dadanya
sakit, terutama pagi hari setelah bangun tidur. Tapi Papa, yang juga memiliki keturunan
sifat bandel kalau sudah urusan kesehatan, selalu menunda atau menolak untuk
dibawa ke rumah sakit. Hingga hari ini, tiga bulan semenjak keluhan pertama
yang semakin menjadi sehingga membuat Mama super khawatir, Papa belum juga mau
meluangkan waktu untuk pergi ke dokter. Papaku yang berumur 65 tahun itu sudah
pension beberapa tahun yang lalu dari posisinya sebagai Chief Financial Officer
salah satu bank swasta terbesar di Indonesia. Aku selalu berpendapat mungkin
Papa merasa sedikit stress setelah pension. Aku tidak heran dengan fenomena
ini, ada beberapa orangtua teman-temanku yang mengalami masalah yang sama.
Mereka mungkin merasa tersingkir dan tidak lagi dibutuhkan. Aku selalu meminta
papaku agar menekuni suatu hobi untuk mengisi hari-harinya. Papaku sebetulnya
pemain tenis yang cukup andal, tetapi mamaku tidak lagi memperbolehkannya
menyentuh raket tenis setelah dua teman mamaku meninggal karena serangan
jantung ketika sedang main tenis. Aku mengusulkan agar papaku memilih olahraga
baru yang sesuai dengan kondisi kesehatannya, misalnya golf. Tetapi ketika
kusarankan ini, Papa langsung berkata bahwa golf tidak bisa digolongkan sebagai
olahraga karena orang-orang yang main golf hanyalah orang-orang yang terlalu
buncit perutnya dan terlalu malas untuk betul-betul berolahraga. Sekarang aku
tidak pernah bisa melihat orang main golf tanpa memperhatikan perut mereka,
yang akhirnya selalu membuatku tertawa terkekeh-kekeh. “Nadia, kamu bujuk papa
kamu itu supaya mau pergi ke dokter. Viktor sudah carikan informasi tentang itu
dan ada banyak dokter ahli jantung bagus yang praktik di Jakarta,” ucap mamaku.
Tidak peduli berapa lama mamaku sudah tinggal di Jakarta, tetapi nada bicara
Makassar-nya tidak pernah hilang. “Lho, memangnya nggak jadi pergi ke dokter yang
disaranin sama internisnya Papa?” tanyaku sambil mengeluarkan sekotak jus jambu
dari lemari es dan menuangkannya ke gelas. “Viktor bilang ada yang lebih bagus
lagi. Mama sudah dikasih informasinya. Yang ini kalau nggak salah lulusan
Inggris. Nanti Mama kasih ke kamu datanya sebelum kamu pulang.” Aku hanya
mengangkat bahu karena aku tidak tahu menahu tentang nama-nama universitas di
Inggris kecuali Oxford. Entah dari mana Kak Viktor dapat informasi ini. Aku
hanya berharap bahwa dokter ini memang benar-benar bagus karena aku tidak mau
mengambil resiko soal urusan kesehatan keluargaku. Kumasukkan kembali kotak jus
ke dalam lemari es dan membawa gelasku ke teras belakang. Disana
kutemui
papaku sedang membaca Koran. Untungnya papaku bukan perokok sehingga setidak-tidaknya
meskipun ada keturunan, papaku lebih memiliki kemungkinan bebas untuk dibedah
jantungnya. “Pah, minggu depan mau ya aku bawa ke dokter,” ucapku sambil
mencium keningnya. Papaku mengeluarkan suara khasnya, yang terdengar sedikit
seperti dengkuran dan batuk. “Gimana Bali?” tanyanya. “Panas,” jawabku. “Jana
sudah mantap sama rencana nikahnya itu?” Tanya Papaku sambil melipat Koran yang
tadi dibacanya dan meletakkannya di atas meja. Aku tahu papaku sedang mencoba
menghindari pertanyaanku. “Siap nggak siap deh, Pa, tapi sudah waktunya memang.
Sudah terlalu lama tertunda.” Papa mengangguk-angguk. Keluargaku tahu betul
tentang bagaimana ketiga sahabat itu. Papaku kemudian terdiam, sepertinya dia
sudah kehabisan topic berbasa-basi denganku. Mamaku selalu bilang bahwa aku
adalah anak kesayangan Papa, sehingga dia akan melakukan apa saja yang aku
minta. Aku yakin satu-satunya alasan kenapa aku jadi anak kesayangan Papa
adalah karena akulah anak perempuan satu-satunya. Kucoba sekali lagi membujuk
Papa. “Minggu depan cek jantung ya, Pa,” pintaku sambil menggenggam tangannya.
Papa siap untuk protes, tetapi aku potong, “Ini Cuma untuk cek saja, supaya
kita bisa tahu kalau memang ada apa-apa. Aku yakin jantung Papa masih sehat dan
nggak ada yang perlu di khawatirkan, tapi Mama, Kak Viktor, dan Kak Mikhel
khawatir, Pa. dan kalau mereka khawatir, aku juga jadi ikut khawatir. Nah…
supaya kita semua nggak khawatir dan Mama nggak akan ganggu Papa lagi soal ini,
kita pergi cek, ya?” Papaku mengembuskan napasnya dan garis-garis keras kepala
muncul pada keningnya, tapi kemudian dia mengangguk dan berkata sambil
menggerutu, “Tapi harus kamu yang bawa Papa ke dokter, ya. Papa nggak mau pergi
sama Kak Viktor, dia itu betul-betul nggak ada belas kasihannya sama orang. Sudah
tahu orang lagi sakit, bukannya disayang-sayang malah habis diomeli sama dia.”
Aku mencoba menahan tawaku. Aku sudah mendengar tentang pertengkaran Papa dan
Kak Viktor dari mulut kakak keduaku itu beberapa hari sebelum aku berangkat ke
Bali. “Kak Viktor bukannya ngomel, Pa. dia Cuma khawatir. Habis papa juga sih
bandel. Sudah tahu sakit, tetap saja ngotot nggak mau ke rumah sakit. Papa tahu
sendiri Kak Viktor orangnya nggak sabaran. Ya jelaslah dia ngomel,” kataku
mencoba menenangkan Papa. “Kamu memangnya bisa ambil cuti lagi? Bukannya kamu
baru ambil cuti untuk pergi ke Bali? Papa nggak mau kamu kena masalah sama bos
kamu gara-gara mesti nganter Papa ke rumah sakit lho.” “Nggak masalah kok,”
balasku. Pada dasarnya dengan statusku sebagai seorang senior web designer, aku
hanya perlu berada di kantor kalau memang ada perlu saja. Untungnya bosku cukup
fleksibel dan tidak bawel. Selama pekerjaanku yang seabrek itu selesai tepat
waktu, dia tidak pernah mempermasalahkan di mana aku mengerjakannya. Harus
kuakui bahwa kreativitasku lebih mudah mengalir kalau aku sedang duduk di depan
laptopku di kamar kos daripada di kantor yang kadang suka terlalu berisik.
Meskipun aku sudah bekerja lebih dari lima tahun di perusahaan itu dan membawa
masuk keuntungan yang cukup besar untuk perusahaan, tetapi aku belum juga
diberi ruangan pribadi. “Cuma kamu memang yang peduli sama Papa. Jangan Tanya
soal Viktor atau Mikhel. Mereka terlalu sibuk untuk peduli kalau Papa sakit.”
Aku
hanya tersenyum dan mencoba menenangkan Papa yang kebiasaan ngambeknya semakin
hari semakin menjadi. “Pa, Kak Viktor lho yang sudah cari info tentang dokter
yang bagus untuk cek jantung dan Kak Mikhel kan sudah berkali-kali nawarin
untuk nganter Papa cek jantung, tapi Papa selalu nolak. Jadi bukan salah dia
dong kalau akhirnya dia nggak nawarin lagi?” “Eh… eh… jangan salahin Papa, ya.
Kalau sampai Mikhel yang antar Papa untuk cek jantung, bisa-bisa Papa meninggal
di jalan karena kena serangan jantung. Cara dia bawa mobil itu lho. Kayaknya
sopur metromini saja kalah ganas sama dia,” omel Papa. Aku mencoba menahan
tawa, tetapi tidak berhasil. Kakakku yang satu itu memang selalu bercita-cita
menjadi pembalap semenjak keci, tetapi cita-cita tersebut tidak pernah
kesampaian. Parahnya lagi, setelah film The Fast and the Furious keluar di
pasaran, dia jadi suka menggunakan jalan tol sebagai arena balapnya. Kak Mikhel
juga pernah bilang dia cukup mirip dengan Vin Diesel, actor utama di film
favoritnya itu. Aku selalu berkata hanya ada tiga kemungkinan bagi orang lain untuk
sependapat dengannya. Pertama, mungkin orang itu sedang picek atau
berhalusinasi, atau dua-duanya. Kedua, Kak Mikhel bisa dibilang cukup mirip Vin
Diesel kalau mampu membuat perut buncitnya itu menjadi rata dan six-packs
dengan pergi ke gym setiap hari supaya tubuhnya bisa jadi sekekar actor itu
yang jelas-jelas tidak mungkin terjadi karena Kak Mikhel tidak bisa hidup tanpa
makanan yang berminyak-minyak. Dan ketiga, meskipun Kak Mikhel telah melakukan
semua hal yang kusebutkan sebelumnya, dia mungkin baru akan kelihatan sedikit
mirip Vin Diesel kalau dilihat dari atas Monas… dengan sedotan. Aku dan Kak
Viktor selalu tertawa terbahak-bahak kalau sampai topic perbincangan ini keluar
dan alhasil membuat Kak Mikhel jadi ngambek dan cemberut sepanjang hari.
“Kenapa juga kamu senyum-senyum begitu? Kamu juga nggak pernah mau diajak pergi
sama Mikhel kalau dia yang nyetir.” Aku hanya menggeleng-geleng melihat tingkah
laku Papa yang sudah seperti anak umur lima tahun. ***
Hari kamis pagi aku dan
orangtuaku duduk di ruang tunggu rumah sakit bagian Kardiologi. Entah kenapa,
tapi beberapa hari belakangan ini aku merasa sedikit waswas, tapi berusaha
untuk tidak menghiraukan perasaan itu. Aku beralasan mungkin aku agak khawatir
saja dengan keadaan papaku. Kak Viktor sudah membuatkan janji untuk jam sepuluh
pagi itu dengan Dokter Kafka. Aku menahan diri untuk tidak mengerutkan wajah
ketika tahu nama dokter ini. Kenapa juga kok ada orang lain lagi di dunia ini
yang namanya Kafka, bukannya satu saja sudah cukup? Aku diminta mamaku untuk
mengisi formulir yang diberikan suster, yang pada dasarnya menanyakan tentang
kondisi kesehatan Papa beberapa bulan belakangan ini. Mama dengan bantuan Papa
sekali-sekali, membantuku memastikan agar tidak ada informasi yang tertinggal.
Seorang suster lalu meminta Papa masuk ke suatu ruangan lain untuk mengukur
tekanan darah dan berat badan sebelum kemudian mencatatnya pada formulir yang
baru saja selesai kuisi. Kami lalu diminta menunggu lagi sebelum kemudian
dipersilahkan masuk menemui dokter. Mamaku yang berjalan paling depan
berkesempatan bertemu muka dengan Pak Dokter lebih dulu dibandingkan aku dan
Papa. “Selamat pagi, Dok,” sapa Mama dengan ceria. Untuk orang yang belum
mengenal mamaku, mereka mungkin akan menyangka bahwa Dokter Kafka adalah teman
lamanya, tetapi bagi orang yang sudah mengenalnya, mereka akan tahu bahwa
memang begitulah mamaku menyapa setiap orang. Mama adalah orang yang paling
ramah yang kukenal. Kurasa aku mendapatkan
sifat
ramahku darinya. “Selamat pagi.” Kudengar balasan dari sang dokter yang
terdengar jauh lebih muda daripada yang kuperkirakan. Aku selalu menyangka
seorang ahli kardiologi setidak-tidaknya sudah berumur diatas empat puluh tahu,
berkacamata, dan berkepala botak. Suster yang tadi mempersilahkan kami masuk
sudah menghilang. Aku memastikan agar pintu ruang dokter itu tertutup rapat
sebelum mengalihkan perhatianku kepada orangtuaku lagi. Dan… aku merasa
mendapat serangan jantung.
Crash Into You - AliaZalea - Bab 4
No comments:
Post a Comment