Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 3

Bab 3 

4 September 
Oke gue sekarang yakin hidup gue disumpahin sama orang. Kalau gue sampai temuin tuh orang yang nyumpahin gue, bakalan gue mutilasi badannya. Gimana bisa sih orang seramah dan sebaik gue bisa sesial ini Cuma dalam jangka waktu beberapa hari? Serius deh. *** Aku baru saja kalah pemilihan kepala regu Pramuka. Aku sudah jadi Pramuka semenjak kelas tiga SD dengan harapan dalam tiga tahun aku akan bisa jadi kepala regu. Alhasil, aku tidak bisa menerima kekalahan ini dengan baik, terutama karena yang terpilih menjadi kepala regu adalah seorang cewek bernama Ria yang menurutku sangat tidak kompeten. Karena kesal dan kecewa pada diriku sendiri, aku pun pergi ke halaman belakang sekolah untuk menangisi kekalahanku. Kutinggalkan teman-temanku yang lain yang sedang merayakan kemenangan Ria dengan mengatakan bahwa aku mau pergi ke kamar kecil. Halaman belakang biasanya memang selalu kosong kalau siang karena anak-anak lebih suka main di halaman depan yang banyak rumputnya dan rindang karena banyak pepohonan. Aku baru saja mulai menangis sambil menyandarkan tubuh pada dinding belakang salah satu kelas. Kutenggelamkan wajahku di antara telapak tanganku. Tiba-tiba kudengar langkah kaki dan ketika kuangkat wajahku, kekesalanku semakin menjadi dengan kemunculan mimpi burukku. “Nad-nad, kamu kenapa nangis?” Tanya Kafka sambil nyengir. “Nggak ada apa-apa,” ucapku sambil mengusap wajahku yang basah dengan air mata. “Kamu pergi sana. Jangan ganggu aku,” lanjutku sambil berjalan kembali menuju halaman depan. “Kamu mau cerita ke aku? Aku mungkin bisa bantu.” Kata-kata Kafka yang untuk pertama kalinya terdengar tulus membuatku menghentikan langkahku untuk menatap wajahnya. “Kalau aku cerita ke kamu nanti kamu malah ngetawain aku.” “Aku nggak akan ngetawain kamu,” Kafka mencoba meyakinkanku. “Nanti kamu cerita ke Gempur sama Kris dan mereka bakalan ngetawain aku,” aku masih terdengar tidak yakin. “Aku nggak akan cerita ke mereka kalau kamu nggak mau aku cerita ke mereka.” “Nanti kamu…” “Aku janji untuk nggak ngapa-ngapain kamu. Suwerrr…,” Kafka memotongku sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Sekali lagi aku ragu, tetapi melihat wajah Kafka yang terlihat benar-benar ingin membantu, aku pun luluh dan sambil duduk di atas bangku kayu panjang yang memang tersedia di sekitar situ, kutumpahkan semua masalahku pada Kafka. Aku sempat terkejut ketika Kafka memang mendengarkan masalahku dengan saksama dan tidak menertawakanku. Pada saat itu aku menyadari bahwa di bawah semua pesona anak laki-laki isengnya, Kafka ternyata juga bisa serius dan pengertian. Kemudian kudengar bunyi bel, yang menandakan bahwa waktu istirahat sudah selesai dan kami harus kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran hari itu. “Makasih ya, Kaf,” ucapku sambil berdiri dan mencoba merapikan rokku. Aku masih tidak percaya bahwa aku sudah menceritakan masalahku pada Kafka, sehingga merasa agak malu dan risi untuk menatapnya.
“Jangan nangis lagi, ya.” Mendengar nada Kafka yang terdengar lembut kuangkat tatapanku dari rokku ke wajahnya. Dan pada detik itu, aku menyadari bahwa aku dan Kafka mungkin bisa berteman, kalau saja dia menghentikan keisengannya pada diriku. Tanpa kusangka-sangka Kafka kemudian mencium pipiku, bersamaan dengan terdengarnya bunyi bel kedua. Aku hanya terdiam ketika bibirnya menyentuh kulit wajahku karena terlalu terkejut untuk bereaksi. Seumur hidupku, aku tidak pernah dicium oleh anak laki-laki mana pun, sehingga aku betul-betul tidak tahu reaksi apa yang harus kuberikan. “Cieee… Kafka sama Nadia…” terkejut aku langsung menolehkan kepalaku dan melihat Gempur dan Kris sedang berdiri tidak jauh dari kami dengan senyuman lebar mereka. Pipiku rasanya seperti terbakar. Bukan hanya karena bekas ciuman Kafka, tetapi juga karena malu. Aku tahu bahwa berita tentang Kafka menciumku akan tersebar ke seluruh sekolah sebelum akhir jam sekolah hari ini. Tanpa berpikir panjang lagi aku pun langsung berlari menuju kelas. Kudengar Kafka memanggil-manggil namaku, tetapi aku tetap berlari. Seperti dugaanku, pada akhir jam sekolah setiap anak tidak henti-hentinya meledekku. Kalau saja ledekan mereka berdasarkan fakta, mungkin aku tidak akan merasa terlalu sedih, tetapi kenyataannya adalah bahwa hanya dalam selang waktu beberapa jam, fakta sudah berubah 180 derajat. Kini berita yang tersebar mengatakan bahwa akulah yang memaksa Kafka untuk menciumku. Saking kesalnya, aku langsung berlari menuju kelasnya begitu jam akhir sekolah berbunyi. Kutemukan Kafka sedang berjalan keluar dari kelas sambil ngobrol dengan Gempur dan Kris yang langsung memberi tanda padanya bahwa aku datang menemuinya dengan wajah siap perang. Aku baru menghentikan langkahku ketika ujung sepatuku hampir saja menyentuh ujung sepatu Kafka. “Kamu ngomong apa sih ke semua orang?” desisku. Kafka menatapku dan berkata tanpa merasa bersalah, “Apa adanyalah.” “Apa adanya? Kalau apa adanya, kamu harusnya bilang ke mereka kamu yang tiba-tiba cium aku, bukan aku yang maksa kamu untuk cium aku.” “Tapi memang kamu maksa Kafka kan, Nad? Ngaku saja kenapa sih? Nggak usah malu gitu, lagi,” komentar Gempur. Mendengar komentar itu kutatap Gempur dengan tajam dan dia langsung terdiam dengan ekspresi sedikit terkejut karena sepanjang sepengetahuan anak-anak dan guru-guru di sekolahku, aku memang tidak pernah marah. Maka, aku pasti punya alasan yang tepat kalau sampai semarah ini. “Kaf, Nadia kan yang maksa lo untuk cium dia?” tatapan Kris beralih dari wajahku ke wajah Kafka, kemudian beralih lagi padaku. Tatapanku kualihkan dari Gempur kepada Kafka dan menantangnya untuk mengatakan hal yang sebenarnya. “Yo’i, man. Nadia yang maksa gue,” ucap Kafka santai. Gempur dan Kris terlihat puas dengan jawaban ini dan kini sedang menatapku dengan penuh kemenangan. Mulutku langsung terbuka ketika mendengar kata-kata ini. “Kafka… kamu… kamu…” aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk memaki-makinya. Itu mungkin karena aku tidak pernah perlu memaki-maki siapa pun di dalam hidupku. Sekali lagi kutatap Kafka, menunggu hingga dia memberanikan diri untuk mengakui kebohongannya, tetapi aku tetap tidak menerima reaksi apa-apa darinya. Kecewa, aku pun memberanikan tatapan paling sangar yang pernah kuberikan kepada siapa
pun dan meninggalkannya. Begitu sampai di rumah aku langsung mengunci diri di dalam kamarku dan menangis sepuasnya. Tingakh lakunya yang bertolak belakang hanya dalam beberapa jam membuatku bertanya-tanya. Untuk apa dia bertingkah laku baik selama beberapa menit, bahkan meredakan tangisku kalau akhirnya akan mempermalukan juga? Dan entah bagaimana, tetapi satu-satunya kesimpulan yang bisa aku tarik dari kejadian ini adalah bahwa aku sama sekali tidak menarik sebagai seorang anak perempuan, sampai-sampai anak laki-laki bandel seperti Kafka saja malu untuk mengakui bahwa dia telah menciumku. Kenyataan ini bukannya meredakan tangisku, tetapi membuatku menangis semakin tersedu-sedu. Betekad untuk menunjukkan bahwa pengkhianatan Kafka tidak memengaruhiku sama sekali, aku muncul di sekolah keesokan harinya dengan kepala tegak dan senyuman ramah. Melihatku seperti ini sepertinya membuat Kafka dongkol dan dia mencoba berbagai macam cara lagi untuk membuatku menangis, tetapi aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak lagi memedulikan semua ledekan dan ejekan yang datang dari Kafka dan kedua temannya. Isu mengenai aku memaksa Kafka untuk menciumku pun lambat laun reda dan pada saat aku lulus SD, isu itu sudah hilang sama sekali. Meskipun aku masih bisa merasakan bekasnya hingga hari ini. Aku selalu mengharapkan Kafka mau mengakui kebohongan besarnya itu dan meminta maaf padaku, tetapi kedua hal itu tidak pernah terjadi. Ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi dengan otot-otot yang lebih relaks berkat NKOTB, kulihat Jana sudah bangun dan sedang berdiri di depan lemari pakaian sambil mengeluarkan bajunya. “Bangun juga lo akhirnya. Gue sangkain lo bakalan tidur seharian,” ucapku sambil menunduk agar bisa mengeringkan rambutku dengan handuk. “Tadinya sih memang masih mau tidur. Tapi tadi ada telepon, jadi gue terpaksa bangun,” balas Jana sambil menggenggam sepasang pakaian dalam di tangannya. “Omong-omong aneh benget deh. Tuh cowok bilang dia temen lo dan mau bikin janji untuk dinner nanti malam. Gue nggak tahu lo ada temen di Bali, Nad,” lanjut Jana. “Dia Cuma orang yang gue kenal waktu SD. Tolongin gue deh. Kalau nanti dia sampai telepon lagi, bilang kita sibuk. Gue nggak mau ketemu sama dia lagi, kalau bisa.” Ucapku sambil kembali melangkah masuk ke kamar mandi. “Lho kok gitu?” Jana terlihat bingung. “Panjang deh ceritanya. Nggak usah diambil pusing.” Kemudian kunyalakan pengering rambut untuk menenggelamkan segala kemungkinan Jana menginterogasiku. ***
Selama ini aku selalu merasa bahwa bunuh diri adalah hal paling tidak masuk akal yang akan dilakukan oleh manusia. Apakah hidup ini sebegitu buruknya sehingga mereka mau meninggalkannya buru-buru? Atau apakah memang tidak ada jalan lain sama sekali sehingga mereka mengambil keputusan ini? Tapi kini aku betul-betul paham bahwa kadang kala keadaan di dunia ini memang sangat buruk dan kita tidak memiliki pilihan lain selain untuk meninggalkannya selama-lamanya. Sewaktu di Bali, aku memang berhasil menghindari Kafka dengan bantuan ketiga sobatku yang pada dasarnya memblokir saluran telepon, Kafka tidak berkesempatan untuk berbicara denganku. Aku bahkan berhasil menghindarinya di bandara dengan waktu check-in yang mepet dan berpura-pura tidur di dalam pesawat. Ketika sampai di Soekarno-Hatta, aku dan sobat-sobatku langsung menghilang secepat mungkin setelah mengambil bagasi, sehingga Kafka hanya sempat melambaikan tangan
sebelum aku kemudian menghilang dari pandangannya untuk selama-lamanya. Aku sangat bersyukur kepada ketiga sobatku yang mau bekerja sama menghindari Kafka, meskipun mereka tidak habis-habisnya menginformasikan kepadaku bahwa Kafka itu “A hot piece of ass”, kata Adri. “Ha-Oo-Te banget”, menurut Dara, dan “Cute juga”, menurut Jana. Mungkin itulah fungsinya sobat, mereka akan membela dan melindungi kita meskipun mereka tidak tahu duduk permasalahannya dan membuatku ingin menyumbat mulut mereka dengan gumpalan kertas pada saat yang bersamaan. *** Sepulangnya dari Bali pada hari Minggu itu, aku memutuskan untuk mengunjungi rumah orangtuaku dulu daripada langsung pulang ke kos. Sudah satu bulan lebih aku tidak bertemu dengan mereka, aku jadi merasa agak bersalah karena telah menelantarkan mereka. Aku baru saja melangkah turun dari mobilku ketika Mama menghujaniku dengan permintaan agar aku membujuk Papa supaya mau dibawa ke rumah sakit. Keluarga Papaku memang memiliki keturunan penyakit jantung dan darah tinggi, jadi mamaku sedikit khawatir Papa mengidap penyakit yang sama. Sudah beberapa bulan belakangan ini Papa mengeluh karena dadanya sakit, terutama pagi hari setelah bangun tidur. Tapi Papa, yang juga memiliki keturunan sifat bandel kalau sudah urusan kesehatan, selalu menunda atau menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Hingga hari ini, tiga bulan semenjak keluhan pertama yang semakin menjadi sehingga membuat Mama super khawatir, Papa belum juga mau meluangkan waktu untuk pergi ke dokter. Papaku yang berumur 65 tahun itu sudah pension beberapa tahun yang lalu dari posisinya sebagai Chief Financial Officer salah satu bank swasta terbesar di Indonesia. Aku selalu berpendapat mungkin Papa merasa sedikit stress setelah pension. Aku tidak heran dengan fenomena ini, ada beberapa orangtua teman-temanku yang mengalami masalah yang sama. Mereka mungkin merasa tersingkir dan tidak lagi dibutuhkan. Aku selalu meminta papaku agar menekuni suatu hobi untuk mengisi hari-harinya. Papaku sebetulnya pemain tenis yang cukup andal, tetapi mamaku tidak lagi memperbolehkannya menyentuh raket tenis setelah dua teman mamaku meninggal karena serangan jantung ketika sedang main tenis. Aku mengusulkan agar papaku memilih olahraga baru yang sesuai dengan kondisi kesehatannya, misalnya golf. Tetapi ketika kusarankan ini, Papa langsung berkata bahwa golf tidak bisa digolongkan sebagai olahraga karena orang-orang yang main golf hanyalah orang-orang yang terlalu buncit perutnya dan terlalu malas untuk betul-betul berolahraga. Sekarang aku tidak pernah bisa melihat orang main golf tanpa memperhatikan perut mereka, yang akhirnya selalu membuatku tertawa terkekeh-kekeh. “Nadia, kamu bujuk papa kamu itu supaya mau pergi ke dokter. Viktor sudah carikan informasi tentang itu dan ada banyak dokter ahli jantung bagus yang praktik di Jakarta,” ucap mamaku. Tidak peduli berapa lama mamaku sudah tinggal di Jakarta, tetapi nada bicara Makassar-nya tidak pernah hilang. “Lho, memangnya nggak jadi pergi ke dokter yang disaranin sama internisnya Papa?” tanyaku sambil mengeluarkan sekotak jus jambu dari lemari es dan menuangkannya ke gelas. “Viktor bilang ada yang lebih bagus lagi. Mama sudah dikasih informasinya. Yang ini kalau nggak salah lulusan Inggris. Nanti Mama kasih ke kamu datanya sebelum kamu pulang.” Aku hanya mengangkat bahu karena aku tidak tahu menahu tentang nama-nama universitas di Inggris kecuali Oxford. Entah dari mana Kak Viktor dapat informasi ini. Aku hanya berharap bahwa dokter ini memang benar-benar bagus karena aku tidak mau mengambil resiko soal urusan kesehatan keluargaku. Kumasukkan kembali kotak jus ke dalam lemari es dan membawa gelasku ke teras belakang. Disana
kutemui papaku sedang membaca Koran. Untungnya papaku bukan perokok sehingga setidak-tidaknya meskipun ada keturunan, papaku lebih memiliki kemungkinan bebas untuk dibedah jantungnya. “Pah, minggu depan mau ya aku bawa ke dokter,” ucapku sambil mencium keningnya. Papaku mengeluarkan suara khasnya, yang terdengar sedikit seperti dengkuran dan batuk. “Gimana Bali?” tanyanya. “Panas,” jawabku. “Jana sudah mantap sama rencana nikahnya itu?” Tanya Papaku sambil melipat Koran yang tadi dibacanya dan meletakkannya di atas meja. Aku tahu papaku sedang mencoba menghindari pertanyaanku. “Siap nggak siap deh, Pa, tapi sudah waktunya memang. Sudah terlalu lama tertunda.” Papa mengangguk-angguk. Keluargaku tahu betul tentang bagaimana ketiga sahabat itu. Papaku kemudian terdiam, sepertinya dia sudah kehabisan topic berbasa-basi denganku. Mamaku selalu bilang bahwa aku adalah anak kesayangan Papa, sehingga dia akan melakukan apa saja yang aku minta. Aku yakin satu-satunya alasan kenapa aku jadi anak kesayangan Papa adalah karena akulah anak perempuan satu-satunya. Kucoba sekali lagi membujuk Papa. “Minggu depan cek jantung ya, Pa,” pintaku sambil menggenggam tangannya. Papa siap untuk protes, tetapi aku potong, “Ini Cuma untuk cek saja, supaya kita bisa tahu kalau memang ada apa-apa. Aku yakin jantung Papa masih sehat dan nggak ada yang perlu di khawatirkan, tapi Mama, Kak Viktor, dan Kak Mikhel khawatir, Pa. dan kalau mereka khawatir, aku juga jadi ikut khawatir. Nah… supaya kita semua nggak khawatir dan Mama nggak akan ganggu Papa lagi soal ini, kita pergi cek, ya?” Papaku mengembuskan napasnya dan garis-garis keras kepala muncul pada keningnya, tapi kemudian dia mengangguk dan berkata sambil menggerutu, “Tapi harus kamu yang bawa Papa ke dokter, ya. Papa nggak mau pergi sama Kak Viktor, dia itu betul-betul nggak ada belas kasihannya sama orang. Sudah tahu orang lagi sakit, bukannya disayang-sayang malah habis diomeli sama dia.” Aku mencoba menahan tawaku. Aku sudah mendengar tentang pertengkaran Papa dan Kak Viktor dari mulut kakak keduaku itu beberapa hari sebelum aku berangkat ke Bali. “Kak Viktor bukannya ngomel, Pa. dia Cuma khawatir. Habis papa juga sih bandel. Sudah tahu sakit, tetap saja ngotot nggak mau ke rumah sakit. Papa tahu sendiri Kak Viktor orangnya nggak sabaran. Ya jelaslah dia ngomel,” kataku mencoba menenangkan Papa. “Kamu memangnya bisa ambil cuti lagi? Bukannya kamu baru ambil cuti untuk pergi ke Bali? Papa nggak mau kamu kena masalah sama bos kamu gara-gara mesti nganter Papa ke rumah sakit lho.” “Nggak masalah kok,” balasku. Pada dasarnya dengan statusku sebagai seorang senior web designer, aku hanya perlu berada di kantor kalau memang ada perlu saja. Untungnya bosku cukup fleksibel dan tidak bawel. Selama pekerjaanku yang seabrek itu selesai tepat waktu, dia tidak pernah mempermasalahkan di mana aku mengerjakannya. Harus kuakui bahwa kreativitasku lebih mudah mengalir kalau aku sedang duduk di depan laptopku di kamar kos daripada di kantor yang kadang suka terlalu berisik. Meskipun aku sudah bekerja lebih dari lima tahun di perusahaan itu dan membawa masuk keuntungan yang cukup besar untuk perusahaan, tetapi aku belum juga diberi ruangan pribadi. “Cuma kamu memang yang peduli sama Papa. Jangan Tanya soal Viktor atau Mikhel. Mereka terlalu sibuk untuk peduli kalau Papa sakit.”
Aku hanya tersenyum dan mencoba menenangkan Papa yang kebiasaan ngambeknya semakin hari semakin menjadi. “Pa, Kak Viktor lho yang sudah cari info tentang dokter yang bagus untuk cek jantung dan Kak Mikhel kan sudah berkali-kali nawarin untuk nganter Papa cek jantung, tapi Papa selalu nolak. Jadi bukan salah dia dong kalau akhirnya dia nggak nawarin lagi?” “Eh… eh… jangan salahin Papa, ya. Kalau sampai Mikhel yang antar Papa untuk cek jantung, bisa-bisa Papa meninggal di jalan karena kena serangan jantung. Cara dia bawa mobil itu lho. Kayaknya sopur metromini saja kalah ganas sama dia,” omel Papa. Aku mencoba menahan tawa, tetapi tidak berhasil. Kakakku yang satu itu memang selalu bercita-cita menjadi pembalap semenjak keci, tetapi cita-cita tersebut tidak pernah kesampaian. Parahnya lagi, setelah film The Fast and the Furious keluar di pasaran, dia jadi suka menggunakan jalan tol sebagai arena balapnya. Kak Mikhel juga pernah bilang dia cukup mirip dengan Vin Diesel, actor utama di film favoritnya itu. Aku selalu berkata hanya ada tiga kemungkinan bagi orang lain untuk sependapat dengannya. Pertama, mungkin orang itu sedang picek atau berhalusinasi, atau dua-duanya. Kedua, Kak Mikhel bisa dibilang cukup mirip Vin Diesel kalau mampu membuat perut buncitnya itu menjadi rata dan six-packs dengan pergi ke gym setiap hari supaya tubuhnya bisa jadi sekekar actor itu yang jelas-jelas tidak mungkin terjadi karena Kak Mikhel tidak bisa hidup tanpa makanan yang berminyak-minyak. Dan ketiga, meskipun Kak Mikhel telah melakukan semua hal yang kusebutkan sebelumnya, dia mungkin baru akan kelihatan sedikit mirip Vin Diesel kalau dilihat dari atas Monas… dengan sedotan. Aku dan Kak Viktor selalu tertawa terbahak-bahak kalau sampai topic perbincangan ini keluar dan alhasil membuat Kak Mikhel jadi ngambek dan cemberut sepanjang hari. “Kenapa juga kamu senyum-senyum begitu? Kamu juga nggak pernah mau diajak pergi sama Mikhel kalau dia yang nyetir.” Aku hanya menggeleng-geleng melihat tingkah laku Papa yang sudah seperti anak umur lima tahun. ***
Hari kamis pagi aku dan orangtuaku duduk di ruang tunggu rumah sakit bagian Kardiologi. Entah kenapa, tapi beberapa hari belakangan ini aku merasa sedikit waswas, tapi berusaha untuk tidak menghiraukan perasaan itu. Aku beralasan mungkin aku agak khawatir saja dengan keadaan papaku. Kak Viktor sudah membuatkan janji untuk jam sepuluh pagi itu dengan Dokter Kafka. Aku menahan diri untuk tidak mengerutkan wajah ketika tahu nama dokter ini. Kenapa juga kok ada orang lain lagi di dunia ini yang namanya Kafka, bukannya satu saja sudah cukup? Aku diminta mamaku untuk mengisi formulir yang diberikan suster, yang pada dasarnya menanyakan tentang kondisi kesehatan Papa beberapa bulan belakangan ini. Mama dengan bantuan Papa sekali-sekali, membantuku memastikan agar tidak ada informasi yang tertinggal. Seorang suster lalu meminta Papa masuk ke suatu ruangan lain untuk mengukur tekanan darah dan berat badan sebelum kemudian mencatatnya pada formulir yang baru saja selesai kuisi. Kami lalu diminta menunggu lagi sebelum kemudian dipersilahkan masuk menemui dokter. Mamaku yang berjalan paling depan berkesempatan bertemu muka dengan Pak Dokter lebih dulu dibandingkan aku dan Papa. “Selamat pagi, Dok,” sapa Mama dengan ceria. Untuk orang yang belum mengenal mamaku, mereka mungkin akan menyangka bahwa Dokter Kafka adalah teman lamanya, tetapi bagi orang yang sudah mengenalnya, mereka akan tahu bahwa memang begitulah mamaku menyapa setiap orang. Mama adalah orang yang paling ramah yang kukenal. Kurasa aku mendapatkan

sifat ramahku darinya. “Selamat pagi.” Kudengar balasan dari sang dokter yang terdengar jauh lebih muda daripada yang kuperkirakan. Aku selalu menyangka seorang ahli kardiologi setidak-tidaknya sudah berumur diatas empat puluh tahu, berkacamata, dan berkepala botak. Suster yang tadi mempersilahkan kami masuk sudah menghilang. Aku memastikan agar pintu ruang dokter itu tertutup rapat sebelum mengalihkan perhatianku kepada orangtuaku lagi. Dan… aku merasa mendapat serangan jantung. 


Crash Into You - AliaZalea - Bab 4

No comments:

Post a Comment