Saturday, September 5, 2015

Crash Into You - AliaZalea - Bab 7

Bab 7 

15 Oktober 
Pokoknya gue nggak peduli kalau sampai semua orang tahu gue cewe gampangan. Kayaknya itu rahasia yang paling nggak penting daripada ngaku gue pernah “tidur” sama tuh orang. *** “NAD?” ucap Kafka dengan nada agak bingung. Tubuhku gemetaran. “Apa kamu ngerencanain ini semua, Kaf?” “What?” Kafka mencoba berdiri sambil memasang sabuknya kembali. Untuk beberapa detik aku hanya bisa terdiam sambil menikmati pemandangan itu. Aku tidak pernah tahu bahwa ada sesuatu yang seksi ketika melihat laki-laki memasang sabuk mereka. Atau mungkin hal itu kelihatan seksi karena Kafka yang melakukannya? Aduuuhhh… “Shit,” geramku. Apa aku hanya hiburannya untuk hari ini? (Oke, oke…. Aku harus adil. Aku juga merasa cukup terhibur sore ini). Apa dia akan menceritakan hal ini kepada teman-temannya? (Bugger it… this is NOT good) apa dia akan menyebarkan gosip bahwa aku ini cewek gampangan? (Meskipun pada detik ini, harus kuakui bahwa aku memang cewek gampangan. Cewek baik-baik mana yang akan memperbolehkan seorang laki-laki yang bukan pacarnya menciuminya sampai bibirnya terasa agak bengkak?) apa Kafka sering melakukannya? (Menyerang dan diserang oleh anak pasiennya yang haus belaian laki-laki setelah baru putus dari pacarnya selama… kapan sih aku putus dari Fendi? Poodle on toast, aku bahkan tidak bisa ingat). Kualihkan perhatianku pada sekelilingku, mencari tanda-tanda kalau-kalau ada kamera tersembunyi yang merekam apa yang baru saja terjadi. Menyadari bahwa aku tidak bisa melihat apa-apa di dalam kegelapan, aku mencoba untuk mencari tombol lampu. “Nad, kamu ngapain sih?” Kafka terdengar semakin bingung dan tidak sabar “Aku nggak bisa ngomong sama kamu sambil gelap-gelapan. Aku perlu lampu,” balasku. Aku harus menyipitkan dan mengedipkan mataku beberapa kali ketika tiba-tiba sinar terang menyerang mataku. Kafka ternyata telah menyingkapkan gorden dan sinar matahari sore masuk menyinari kamar itu. Aku menunggu hingga mataku bisa betul-betul focus pada wajahnya sebelum berbicara. Dan apa yang kulihat hampir membuatku membatalkan niatku untuk melakukan percakapan ini sekarang. Rambutnya yang ikal acak-acakan, kemeja putihnya kelihatan agak kusut dan beberapa kancingnya terlepas, dasinya tidak berbentuk dan ada garis-garis merah pada lehernya yang menyerupai bentuk telapak tangan. Telapak tanganku, lebih tepatnya. Penampilannya itu membuat darahku mendidih, bukan karena marah tapi karena aku tiba-tiba ingin mendorongnya ke tempat tidur rumah sakit dan bercinta dengannya si situ saat itu juga, tidak peduli apa akibatnya. Tiba-tiba kami berdua mendengar bunyi PRAAANG… dengan volume maksimum, yang diikuti langkah yang terburu-buru dan percakapan antara dua orang yang agak teredam. Keterkejutanku membangunkanku dari fantasi seksual itu dan mengembalikanku kea lam sadar dan kemarahanku. “Apa kita memang tidur bareng waktu di Bali?” tanyaku dengan suara yang tidak stabil “Kenapa kita balik lagi ke situ sih?” Tanya Kafka yang kini sedang bertolak pinggang “Aku Tanya ke kamu sekali lagi. Apa kita benar-benar tidur bareng waktu di Bali?” nadaku terdengar lebih tajam daripada yang kuinginkan
“Nad…,” Kafka mencoba menenangkanku “Jawab aku, Kaf,” teriakku “Apa kamu pikir aku masih bakalan mau makan appetizer kalau aku sudah makan menu utamanya?” balasnya dengan berteriak juga “Hah?” aku jadi bingung. “Jawab iya atau nggak sudah cukup buatku,” lanjutku mencoba untuk menutupi kebingunganku “Ya kamu pikir sendirilah. Kalau aku sudah tidur sama kamu apa kamu pikir aku bakalan nyiumin kamu kayak barusan?” Oke, pacarku memang bisa dihitung dengan jari, tapi aku bukan seorang idiot yang tidak akan mengerti kata-kata sejelas ini. Kudengar Kafka mengembuskan napasnya dengan tidak sabaran. “Jawabannya nggak, Nad. Kita nggak HAVE SEX di Bali,” ucapnya dengan cukup keras. “Sssttt!” ucapku sambil dengan cepat berjalan mendekati Kafka. “Jangan kencang-kencang bisa nggak sih?” lanjutku sambil berbisik “Kamu takut orangtua kamu dengar kalau anak emas mereka ternyata senang mainin laki-laki?” Kafka terdengar meledek. “Aku nggak pernah mainin laki-laki. Enak saja kamu ngomong. Kamu nggak kenal aku,” omelku “Nah, di situ kamu salah. Aku yakin aku cukup kenal bibir kamu.” Aku hanya bisa membuka dan menutup mulutku berkali-kali tanpa mengeluarkan suara. Kafka menatapku penuh kemenangan ketika melihat wajah merahku. Kuletakkan tanganku di depan dada untuk menenangkan jantungku. Aku tidak bisa mengaku kalah dengan Kafka. So what gitu lho, kalau dia adalah satu-satunya laki-laki yang betul-betul bisa menarik perhatianku setelah aku putus dari Fendi? Tanpa menghiraukan komentar Kafka yang terakhir, aku pun menyerang balik dengan meminta penjelasannya tentang kejadian di Bali. “Kalau misalnya kita memang nggak tidur di Bali, terus kenapa aku bangun Cuma pakai Underwear?” Kafka mengangkat bahu. “Aku nggak tahu juga. Aku lagi nonton TV, tahu-tahu kamu bangun dan langsung ngelepasin jins sama kaus kamu. Terus kamu tidur lagi.” “Serius?” aku curiga bahwa Kafka berbohong lagi hanya untuk mencegahku agar tidak histeris “Serius,” “Jadi kamu kenapa mesti bilang ‘Thanks for last night’ segala ke aku?” seperti seekor anjing yang sudah menemukan sepotong daging, aku masih belum reda melepaskan topic ini. Aku harus tahu persis duduk perkaranya kalau aku ingin tidur nyenyak untuk pertama kali selama enam minggu belkangan ini. “Memangnya kau ngomong begitu?” “Jangan pura-pura nggak tahu deh, “ omelku Kafka malah justru mulai cekikikan mendengar omelanku. Tetapi dia berhenti ketika melihat wajah garangku. “Oke… sori. Aku ngomong gitu Cuma buat gangguin kamu saja. Itu satu hal yang nggak berubah tentang kamu dari SD, kamu masih gampang banget buat digangguin.” Sebetulnya aku merasa sangat tersinggung dengan komentar ini, karena sejujurnya selama dua puluh tahun ini aku sudah berusaha untuk menjadi orang yang lain sama sekali dari diriku sewaktu SD. Tapi aku sudah terlalu lega ketika mendengar penjelasan ini, sehingga yang keluar dari mulutku adalah, “Sumpah?” “Sumpah.” Perlahan-lahan kuembuskan napas lega. “Oke, tapi kalau sampai aku tahu kamu bohong sama aku, aku
sumpahin kamu impoten.” Dan aku langsung melarikan diri dari kamar itu. ***
Dua hari kemudian aku masih tidak bisa memercayai diriku yang pada dasarnya sudah berkelakuan seperti anak SD daripada seorang wanita dewasa yang sebentar lagi akan menginjak usia kepala tiga. “Kalau sampai aku tahu kamu bohong sama aku, aku sumpahin kamu impoten,” kenapa juga aku harus menggunakan kata-kata itu? Aku rasanya mau mati saja. Belum lagi karena dalam dua hari itu pula aku tidak bisa menghapuskan Kafka dari pikiranku. Tapi kurasa yang membuatku semakin tidak bisa tidur selama dua hari ini adalah karena aku sedang menunggu telepon dari Kafka yang tidak juga kunjung datang. Bagaimana bisa dia tidak meneleponku setelah apa yang dia telah lakukan padaku? Koreksi… apa yang telah “kami” lakukan bersama-sama? Aku harus berhenti menyalahkan ini semua pada Kafka. Toh orang tidak akan bisa menari Tango sendirian. Setelah melarikan diri dari hadapannya, aku pada dasarnya menolak bertemu dengannya lagi. Aku bahkan memohon kepada Kak Mikhel agar mengurus kepulangan Papa dari rumah sakit sementara aku bersembunyi dengan alasan pekerjaan. Harus kuakui bahwa aku telah melanggar janji yang telah kuucapkan pada diriku sendiri menyangkut Papa, juga bahwa kelakuanku itu menggambarkan seorang pengecut, tapi aku tidak tahu alternative lain yang bisa kulakukan. Tanpa kusadari aku sudah menggeram. Kepala Gita muncul dari balik kubikel. “Lo kenapa, Nad?” tanyanya sambil mengistirahatkan dagunya di atas dinding kubikel. Aku hampir saja berteriak terkejut ketika mendengar suara Gita. “Git, bisa nggak sih lo nggak suka tiba-tiba nongol di atas kubikel?” Gita kelihatan bingung. “Memangnya kenapa kalau gue begitu?” “Ngagetin gue, tahu,” omelku Bukannya menutup topic pembicaraan itu, Gita justru muncul di samping mejaku. “Lo lagi ngerjain website-nya siapa sih?” tanyanya. Tatapannya jatuh pada kedua layar monitor 24 inci iMax-ku. Aku mengangkat tanganku dari atas mouse mendengar nada Gita. “ Memangnya kenapa?” tanyaku curiga “Warnanya… nggak tahu deh,.. terlalu… apa ya… trlalu funky kalau menurut gue.” Aku mengembuskan napasku dengan sedikit putus asa. Aku harus setuju seratus persen dengannya. Percampuran warna fuchsia, kuning terang, dan oranye itu benar-benar norak senorak-noraknya kombinasi warna. Tapi itulah warna yang di minta oleh salah satu owner sebuah dance club cukup bergengsi yang baru saja dibuka di selatan Jakarta. Selama ini aku selalu menyangka bahwa mungkin karena usia maka aku tidak bisa lagi melihat warna-warna yang selalu terang, tetapi sepertinya usia bukanlah factor untuk tiba-tiba merasa silau kalau melihat website ini, karena Gita baru menginjak usia 22 tahun. “Jangan Tanya sama gue deh,” ucapku sambil mengusap kedua mataku yang kubiarkan menutup beberapa detik. “Mereka maunya website ini warnanya match sama cat dinding kelab mereka. Gue Cuma ikutin saja mereka maunya gimana. Susah memang kalau urusan sama anak-anak orang kaya. Sekama itu bukan duit gue atau kelab gue, bodo amat deh,” Aku hanya pernah bertemu dengan salah satu dari tiga pegawai kelab ini. Dan menurutku Karin menggambarkan segala sesuatunya tentang kehidupan anak orang kaya yang kebetulan juga memiliki tampang cantik, tubuh seperti supermodel, dan berpikir bahwa mereka bisa menginvestasikan uang
mereka ke tempat mereka akan menghabiskan setidak-tidaknya lima malam dalam satu minggu di dalamnya. Kuakui bahwa ide itu jenius juga. Pertama karena mereka tidak pernah perlu membayar cover charge; kedua, mereka bisa minum alcohol sepuasnya dengan harga diskon atau bahkan gratis; dan ketiga, “entrepreneur” tentunya akan kelihatan lebih valid untuk ditulis di CV sebagai pengalaman kerja daripada halaman kosong. Pada intinya, Karin dan kedua partnernya yang sepertinya selalu “missing in action” kalau kami mengadakan meeting, adalah Janis orang yang paling aku benci di dunia ini. “Lho, ini website buat klub yang baru itu?” Aku mengangguk. “Tapi bukannya kelab mereka itu harusnya untuk eksekutif muda?” Tanya Gita dengan sedikit bingung. Sekali lagi aku mengangguk. Sebelum setuju untuk mendesain website mereka, aku sempat mengunjungi kelab itu dan hampir mengalami serangan jantung. Hal pertama yang muncul di kepalaku ketika melihatnya adalah bahwa kelab itu lebih kelihatan seperti sebuah dance club. Aku bukannya jenis perempuan yang sering pergi ke kelab, tapi aku cukup tahu bahwa biasanya warna yang dipilih adalah warna gelap seperti abu-abu atau cokelat mahoni yang dicampur dengan perak atau emas. Paling maksimum mereka akan memilih warna maroon atau biru. Aku semakin terkejut ketika mendengar target pasar mereka, tapi sepertinya aku memang tidak berbakat di dunia hiburan, karena ternyata dengan warna noraknya itulah Empire bisa membedakan dirinya dengan dance club lainnya, alhasil jadi kelab paling Hot di Jakarta sekarang. Hanya dengan memikirkan kata HOT, tiba-tiba saja aku merasa gerah. Aku langsung berdiri dari kursiku. Aku harus keluar dari kantorku. “Lo mau ke mana, Nad?” Tanya Gita bingung ketika melihatku mulai mematikan computer dan membereskan barang-barangku. “Pulang,” jawabku singkat dan meninggalkan Gita dengan wajah yang masih bingung dan agak sakit hati karena mungkin dia menyangka bahwa aku merasa iri dengan pertanyaan-pertanyaannya. Biasanya, sebagai seorang peramah, aku akan menyempatkan diri untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya ke Gita, tapi tidak hari ini, pikiran, hati, dan tubuhku sudah cukup galau tanpa perlu ada satu orang lagi yang akan membuatnya lebih parah. Dalam perjalanan menuju lift aku menyempatkan diri untuk melongokkan kepalaku ke ruangan bosku untuk mengabarkan bahwa aku akan menyelesaikan pekerjaanku di rumah dan hasilnya aku akan kirim melalui e-mail besok pagi. Bosku yang sudah terbiasa dengan cara kerjaku hanya mengangguk dan membiarkan aku pergi tanpa bertanya-tanya lagi. *** Kafka baru meneleponku pada hari keempat. Aku sedang di kamar mandi ketika telepon itu berbunyi, sehingga tidak berbicara langsung dengannya. Tapi begitu aku mendengar voicemail yang ditinggalkannya, aku bersyukur bahwa aku tidak sempat mengangkat telepon itu. “Hei, Nad-Nad, kok nggak diangkat sih teleponnya? Naaa….ddd-Naaa…ddd. Heeellloooo…. Oke, kayaknya kamu nge-screen teleponku deh. Aku Cuma mau bilang kalau aku suka kamisol renda-renda kamu. Omong-omong kapan-kapan kamu pakai warna hitam ya kalau ketemu aku. Aku suka ngelihat perempuan pakai underwear warna hitam. Mukaku langsung memerah ketika mendengar pesan itu. Kenapa aku tidak terkejut bahwa Kafka bisa
tahu apa itu kamisol dan tidak menyebutkan sebagai singlet seperti kebanyakan mantan pacarku. Perasaanku bercampur antara ingin menangis dan berlari untuk memeriksa apakah aku memang memiliki kamisol berwarna hitam. Aku tidak langsung membalas telepon dari Kafka tersebut, aku akan membiarkannya menunggu selama setidak-tidaknya empat hari sebelum meneleponnya balik. Biar tahu rasa… Tapi baru menginjak hari ketiga, tanganku sudah gatal ingin meneleponnya. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan SMS saja. Dengan sangat menyesal aku mengakui bahwa nomor HP Kafka sudah tercatat di dalam address book HP-ku, tetapi aku mencoba menebus dosaku itu dengan mengatakan bahwa aku hanya melakukannya agar bisa langsung menghindar dari menggunakan nomor Unknown, tapi hanya ada SATU orang yang menggunakan nomornya Kafka Kafka, kamu ngabis-ngabisin pulsa aja deh telepon aku Cuma untuk ngomong begituan. Merasa puas dengan SMS itu, aku langsung menekan SEND. Tanpa kusangka-sangka, balasan dari Kafka datang hanya dalam beberapa detik. Dan selama sepuluh menit kami mengirimkan SMS bolak-balik hingga kedua ibu jari tanganku sakit. Kafka: Kalo SMS gak ngabisin pulsa, kan? Aku belum pernah coba SMS-sex, tapi there’s always a first time for everything. Kamu hari ini pakai komisol warna apa? Nadia: Sapa juga ya mo ngomongin seks sama kamu? Kayak gak ada kerjaan aja. Jawaban utk soal yang satu lagi: MYOB. Kafka: iya emang gak ada gunanya kalo Cuma ngomongin doing. Aku available kalo kamu mo coba langsung. BTW, setelah yang kemaren… I can make your underwear my business if you let me. Nadia: ke laut aja, Kaf. Kafka: hahaha… Aku berhenti mengirimkan SMS ketika menyadari bahwa aku sebetulnya menikmati debatku dengan Kafka ini. Jelas-jelas aku memang sudah tidak waras lagi. Perempuan mana yang bisa merasa terhibur ketika pada dasarnya mereka sedang di-sexually harass melalui SMS oleh seorang laki-laki yang tidak disukainya? ***
Sepanjang minggu setelah SMS terakhirnya yang tidak sopan itu, Kafka tidak menggangguku sama sekali. Tapi kemudian ketika aku sedang mencoba untuk menyelesaikan pekerjaanku di kantor, HP-ku bergetar dengan cukup lama dan di layar tertuliskan “Kafka”. Aku membiarkannya tidak terangkat. Kemudian HP-ku bergetar sebentar yang menandakan bahwa ada SMS baru. Kafka: Hei, kenapa gak angkat telepon? Nadia: aku lagi kerja Kafka: oh ya… jangan lupa anter papa kamu minggu depan utk ketemu aku Nadia: minggu depan gilirannya kakakku Kafka: giliran kamu kapan? Nadia: bisa gak sih kamu gak gangguin aku? Kafka: kamu keberatan? Nadia: banget

Kafka: sayang… Aku langsung terhenti ketika melihat kata itu dilayar HP-ku. “Sayang titik…titik…titik…” apa maksudnya meninggalkan kata itu menggantung? Laki-laki satu ini bikin aku gila. Selama satu bulan aku tidak menemani papaku pergi cek rutin jantung semakin gencar pula SMS dari Kafka yang semakin hari semakin membuatku gerah, terutama SMS yang dikirimnya seminggu lalu yang membuatku bertanya-tanya tentang selera hubungan intimku selama ini. Seperti ketika aku SD, Kafka selalu tahu cara yang paling ampuh untuk memancing reaksiku. Dia tahu bahwa aku tidak akan bisa tinggal diam kalau dia terus menggangguku. Kafka: kamu utang ongkos jahit kancing sama aku Nadia: kancing apaan? Kafka: kancing kemeja yang lepas waktu kamu devour aku di sofa rmh sakit Nadia: aku gk devour kamu, yang ada juga kebalikannya Kafka: and you enjoy every minute of it Nadia: no, I didn’t Kafka: yes, you did. Ngaku aja, gak usah malu-malu Nadia: NO, I DID NOT ENJOY IT, OKAY! Kafka: well, I did, okay…. Dan mungkin kalo org tau kunci dari great relationship itu menyangkut nyiumin orang sampe bibirnya bengkak, mungkin orang bakal lebih terbuka sama S&M. Nadia: Relationship gak ada hubungannya sama yang kemaren. Sok ngomongin S&M lagi, emangnya kamu tau S&M itu apa? Kafka: knp tanya2 soal S&M? mo coba? Nadia: gak, makasih Kafka: yakin? Seru lho. Dan aku menyalahkan Kafka sepenuhnya dengan apa yang terjadi padaku malam itu ketika aku terbangun dari tidurku pada tengah malam buta dengan napas yang terengah-engah, jantung berdebar-debar, berkeringat, dan basah. Aku mencoba mengusir mimpi yang telah membangunkanku, mimpi yang membuatku waswas untuk tidur lagi karena takut memimpikan hal yang sama. Selama ini aku selalu berpikir bahwa hanya laki-laki saja yang bisa mimpi basah dan bahwa itu adalah sesuatu yang lucu dan patut ditertawakan. Tapi kini aku tahu bahwa tidak ada yang lucu sama sekali dengan mimpi basah ketika aku, sebagai seorang wanita dewasa, baru mengalaminya untuk pertama kali. Terutama jika pemeran utama dari mimpi tersebut adalah seseorang yang tidak seharusnya punya urusan untuk berada di dalam mimpi tersebut, dan ini bukan hanya mimpi biasa, tapi mimpi yang melibatkan orang itu mengikat kedua pergelangan tanganku pada tiang tempat tidur dengan borgol yang dilapisi bulu-bulu pink dan kedua kakiku dengan scarf Hermes. Tapi bukan posisi itu saja yang mengejutkanku, tetapi juga bahwa tubuhku tidak ditutupi oleh sehelai kain pun. 


Crash Into You - AliaZalea - Bab 8

No comments:

Post a Comment