Bab
7
15 Oktober
Pokoknya gue nggak peduli kalau sampai semua orang tahu gue cewe
gampangan. Kayaknya itu rahasia yang paling nggak penting daripada ngaku gue
pernah “tidur” sama tuh orang. *** “NAD?” ucap Kafka dengan nada agak bingung.
Tubuhku gemetaran. “Apa kamu ngerencanain ini semua, Kaf?” “What?” Kafka
mencoba berdiri sambil memasang sabuknya kembali. Untuk beberapa detik aku
hanya bisa terdiam sambil menikmati pemandangan itu. Aku tidak pernah tahu
bahwa ada sesuatu yang seksi ketika melihat laki-laki memasang sabuk mereka.
Atau mungkin hal itu kelihatan seksi karena Kafka yang melakukannya? Aduuuhhh…
“Shit,” geramku. Apa aku hanya hiburannya untuk hari ini? (Oke, oke…. Aku harus
adil. Aku juga merasa cukup terhibur sore ini). Apa dia akan menceritakan hal
ini kepada teman-temannya? (Bugger it… this is NOT good) apa dia akan
menyebarkan gosip bahwa aku ini cewek gampangan? (Meskipun pada detik ini,
harus kuakui bahwa aku memang cewek gampangan. Cewek baik-baik mana yang akan
memperbolehkan seorang laki-laki yang bukan pacarnya menciuminya sampai
bibirnya terasa agak bengkak?) apa Kafka sering melakukannya? (Menyerang dan
diserang oleh anak pasiennya yang haus belaian laki-laki setelah baru putus
dari pacarnya selama… kapan sih aku putus dari Fendi? Poodle on toast, aku
bahkan tidak bisa ingat). Kualihkan perhatianku pada sekelilingku, mencari
tanda-tanda kalau-kalau ada kamera tersembunyi yang merekam apa yang baru saja
terjadi. Menyadari bahwa aku tidak bisa melihat apa-apa di dalam kegelapan, aku
mencoba untuk mencari tombol lampu. “Nad, kamu ngapain sih?” Kafka terdengar
semakin bingung dan tidak sabar “Aku nggak bisa ngomong sama kamu sambil
gelap-gelapan. Aku perlu lampu,” balasku. Aku harus menyipitkan dan mengedipkan
mataku beberapa kali ketika tiba-tiba sinar terang menyerang mataku. Kafka
ternyata telah menyingkapkan gorden dan sinar matahari sore masuk menyinari
kamar itu. Aku menunggu hingga mataku bisa betul-betul focus pada wajahnya
sebelum berbicara. Dan apa yang kulihat hampir membuatku membatalkan niatku
untuk melakukan percakapan ini sekarang. Rambutnya yang ikal acak-acakan,
kemeja putihnya kelihatan agak kusut dan beberapa kancingnya terlepas, dasinya
tidak berbentuk dan ada garis-garis merah pada lehernya yang menyerupai bentuk
telapak tangan. Telapak tanganku, lebih tepatnya. Penampilannya itu membuat
darahku mendidih, bukan karena marah tapi karena aku tiba-tiba ingin
mendorongnya ke tempat tidur rumah sakit dan bercinta dengannya si situ saat
itu juga, tidak peduli apa akibatnya. Tiba-tiba kami berdua mendengar bunyi
PRAAANG… dengan volume maksimum, yang diikuti langkah yang terburu-buru dan
percakapan antara dua orang yang agak teredam. Keterkejutanku membangunkanku
dari fantasi seksual itu dan mengembalikanku kea lam sadar dan kemarahanku.
“Apa kita memang tidur bareng waktu di Bali?” tanyaku dengan suara yang tidak
stabil “Kenapa kita balik lagi ke situ sih?” Tanya Kafka yang kini sedang
bertolak pinggang “Aku Tanya ke kamu sekali lagi. Apa kita benar-benar tidur
bareng waktu di Bali?” nadaku terdengar lebih tajam daripada yang kuinginkan
“Nad…,”
Kafka mencoba menenangkanku “Jawab aku, Kaf,” teriakku “Apa kamu pikir aku
masih bakalan mau makan appetizer kalau aku sudah makan menu utamanya?”
balasnya dengan berteriak juga “Hah?” aku jadi bingung. “Jawab iya atau nggak
sudah cukup buatku,” lanjutku mencoba untuk menutupi kebingunganku “Ya kamu
pikir sendirilah. Kalau aku sudah tidur sama kamu apa kamu pikir aku bakalan
nyiumin kamu kayak barusan?” Oke, pacarku memang bisa dihitung dengan jari,
tapi aku bukan seorang idiot yang tidak akan mengerti kata-kata sejelas ini.
Kudengar Kafka mengembuskan napasnya dengan tidak sabaran. “Jawabannya nggak,
Nad. Kita nggak HAVE SEX di Bali,” ucapnya dengan cukup keras. “Sssttt!” ucapku
sambil dengan cepat berjalan mendekati Kafka. “Jangan kencang-kencang bisa
nggak sih?” lanjutku sambil berbisik “Kamu takut orangtua kamu dengar kalau
anak emas mereka ternyata senang mainin laki-laki?” Kafka terdengar meledek.
“Aku nggak pernah mainin laki-laki. Enak saja kamu ngomong. Kamu nggak kenal
aku,” omelku “Nah, di situ kamu salah. Aku yakin aku cukup kenal bibir kamu.”
Aku hanya bisa membuka dan menutup mulutku berkali-kali tanpa mengeluarkan
suara. Kafka menatapku penuh kemenangan ketika melihat wajah merahku.
Kuletakkan tanganku di depan dada untuk menenangkan jantungku. Aku tidak bisa
mengaku kalah dengan Kafka. So what gitu lho, kalau dia adalah satu-satunya
laki-laki yang betul-betul bisa menarik perhatianku setelah aku putus dari
Fendi? Tanpa menghiraukan komentar Kafka yang terakhir, aku pun menyerang balik
dengan meminta penjelasannya tentang kejadian di Bali. “Kalau misalnya kita
memang nggak tidur di Bali, terus kenapa aku bangun Cuma pakai Underwear?”
Kafka mengangkat bahu. “Aku nggak tahu juga. Aku lagi nonton TV, tahu-tahu kamu
bangun dan langsung ngelepasin jins sama kaus kamu. Terus kamu tidur lagi.”
“Serius?” aku curiga bahwa Kafka berbohong lagi hanya untuk mencegahku agar
tidak histeris “Serius,” “Jadi kamu kenapa mesti bilang ‘Thanks for last night’
segala ke aku?” seperti seekor anjing yang sudah menemukan sepotong daging, aku
masih belum reda melepaskan topic ini. Aku harus tahu persis duduk perkaranya
kalau aku ingin tidur nyenyak untuk pertama kali selama enam minggu belkangan
ini. “Memangnya kau ngomong begitu?” “Jangan pura-pura nggak tahu deh, “ omelku
Kafka malah justru mulai cekikikan mendengar omelanku. Tetapi dia berhenti
ketika melihat wajah garangku. “Oke… sori. Aku ngomong gitu Cuma buat gangguin
kamu saja. Itu satu hal yang nggak berubah tentang kamu dari SD, kamu masih
gampang banget buat digangguin.” Sebetulnya aku merasa sangat tersinggung
dengan komentar ini, karena sejujurnya selama dua puluh tahun ini aku sudah
berusaha untuk menjadi orang yang lain sama sekali dari diriku sewaktu SD. Tapi
aku sudah terlalu lega ketika mendengar penjelasan ini, sehingga yang keluar
dari mulutku adalah, “Sumpah?” “Sumpah.” Perlahan-lahan kuembuskan napas lega.
“Oke, tapi kalau sampai aku tahu kamu bohong sama aku, aku
sumpahin
kamu impoten.” Dan aku langsung melarikan diri dari kamar itu. ***
Dua hari kemudian aku masih
tidak bisa memercayai diriku yang pada dasarnya sudah berkelakuan seperti anak
SD daripada seorang wanita dewasa yang sebentar lagi akan menginjak usia kepala
tiga. “Kalau sampai aku tahu kamu bohong sama aku, aku sumpahin kamu impoten,”
kenapa juga aku harus menggunakan kata-kata itu? Aku rasanya mau mati saja.
Belum lagi karena dalam dua hari itu pula aku tidak bisa menghapuskan Kafka
dari pikiranku. Tapi kurasa yang membuatku semakin tidak bisa tidur selama dua
hari ini adalah karena aku sedang menunggu telepon dari Kafka yang tidak juga
kunjung datang. Bagaimana bisa dia tidak meneleponku setelah apa yang dia telah
lakukan padaku? Koreksi… apa yang telah “kami” lakukan bersama-sama? Aku harus
berhenti menyalahkan ini semua pada Kafka. Toh orang tidak akan bisa menari
Tango sendirian. Setelah melarikan diri dari hadapannya, aku pada dasarnya menolak
bertemu dengannya lagi. Aku bahkan memohon kepada Kak Mikhel agar mengurus
kepulangan Papa dari rumah sakit sementara aku bersembunyi dengan alasan
pekerjaan. Harus kuakui bahwa aku telah melanggar janji yang telah kuucapkan
pada diriku sendiri menyangkut Papa, juga bahwa kelakuanku itu menggambarkan
seorang pengecut, tapi aku tidak tahu alternative lain yang bisa kulakukan.
Tanpa kusadari aku sudah menggeram. Kepala Gita muncul dari balik kubikel. “Lo
kenapa, Nad?” tanyanya sambil mengistirahatkan dagunya di atas dinding kubikel.
Aku hampir saja berteriak terkejut ketika mendengar suara Gita. “Git, bisa
nggak sih lo nggak suka tiba-tiba nongol di atas kubikel?” Gita kelihatan
bingung. “Memangnya kenapa kalau gue begitu?” “Ngagetin gue, tahu,” omelku Bukannya
menutup topic pembicaraan itu, Gita justru muncul di samping mejaku. “Lo lagi
ngerjain website-nya siapa sih?” tanyanya. Tatapannya jatuh pada kedua layar
monitor 24 inci iMax-ku. Aku mengangkat tanganku dari atas mouse mendengar nada
Gita. “ Memangnya kenapa?” tanyaku curiga “Warnanya… nggak tahu deh,.. terlalu…
apa ya… trlalu funky kalau menurut gue.” Aku mengembuskan napasku dengan
sedikit putus asa. Aku harus setuju seratus persen dengannya. Percampuran warna
fuchsia, kuning terang, dan oranye itu benar-benar norak senorak-noraknya
kombinasi warna. Tapi itulah warna yang di minta oleh salah satu owner sebuah
dance club cukup bergengsi yang baru saja dibuka di selatan Jakarta. Selama ini
aku selalu menyangka bahwa mungkin karena usia maka aku tidak bisa lagi melihat
warna-warna yang selalu terang, tetapi sepertinya usia bukanlah factor untuk
tiba-tiba merasa silau kalau melihat website ini, karena Gita baru menginjak
usia 22 tahun. “Jangan Tanya sama gue deh,” ucapku sambil mengusap kedua mataku
yang kubiarkan menutup beberapa detik. “Mereka maunya website ini warnanya
match sama cat dinding kelab mereka. Gue Cuma ikutin saja mereka maunya gimana.
Susah memang kalau urusan sama anak-anak orang kaya. Sekama itu bukan duit gue
atau kelab gue, bodo amat deh,” Aku hanya pernah bertemu dengan salah satu dari
tiga pegawai kelab ini. Dan menurutku Karin menggambarkan segala sesuatunya
tentang kehidupan anak orang kaya yang kebetulan juga memiliki tampang cantik,
tubuh seperti supermodel, dan berpikir bahwa mereka bisa menginvestasikan uang
mereka
ke tempat mereka akan menghabiskan setidak-tidaknya lima malam dalam satu
minggu di dalamnya. Kuakui bahwa ide itu jenius juga. Pertama karena mereka
tidak pernah perlu membayar cover charge; kedua, mereka bisa minum alcohol
sepuasnya dengan harga diskon atau bahkan gratis; dan ketiga, “entrepreneur”
tentunya akan kelihatan lebih valid untuk ditulis di CV sebagai pengalaman
kerja daripada halaman kosong. Pada intinya, Karin dan kedua partnernya yang
sepertinya selalu “missing in action” kalau kami mengadakan meeting, adalah
Janis orang yang paling aku benci di dunia ini. “Lho, ini website buat klub
yang baru itu?” Aku mengangguk. “Tapi bukannya kelab mereka itu harusnya untuk
eksekutif muda?” Tanya Gita dengan sedikit bingung. Sekali lagi aku mengangguk.
Sebelum setuju untuk mendesain website mereka, aku sempat mengunjungi kelab itu
dan hampir mengalami serangan jantung. Hal pertama yang muncul di kepalaku
ketika melihatnya adalah bahwa kelab itu lebih kelihatan seperti sebuah dance
club. Aku bukannya jenis perempuan yang sering pergi ke kelab, tapi aku cukup
tahu bahwa biasanya warna yang dipilih adalah warna gelap seperti abu-abu atau
cokelat mahoni yang dicampur dengan perak atau emas. Paling maksimum mereka
akan memilih warna maroon atau biru. Aku semakin terkejut ketika mendengar
target pasar mereka, tapi sepertinya aku memang tidak berbakat di dunia
hiburan, karena ternyata dengan warna noraknya itulah Empire bisa membedakan
dirinya dengan dance club lainnya, alhasil jadi kelab paling Hot di Jakarta
sekarang. Hanya dengan memikirkan kata HOT, tiba-tiba saja aku merasa gerah.
Aku langsung berdiri dari kursiku. Aku harus keluar dari kantorku. “Lo mau ke
mana, Nad?” Tanya Gita bingung ketika melihatku mulai mematikan computer dan
membereskan barang-barangku. “Pulang,” jawabku singkat dan meninggalkan Gita
dengan wajah yang masih bingung dan agak sakit hati karena mungkin dia
menyangka bahwa aku merasa iri dengan pertanyaan-pertanyaannya. Biasanya,
sebagai seorang peramah, aku akan menyempatkan diri untuk menjelaskan situasi
yang sebenarnya ke Gita, tapi tidak hari ini, pikiran, hati, dan tubuhku sudah
cukup galau tanpa perlu ada satu orang lagi yang akan membuatnya lebih parah.
Dalam perjalanan menuju lift aku menyempatkan diri untuk melongokkan kepalaku
ke ruangan bosku untuk mengabarkan bahwa aku akan menyelesaikan pekerjaanku di
rumah dan hasilnya aku akan kirim melalui e-mail besok pagi. Bosku yang sudah
terbiasa dengan cara kerjaku hanya mengangguk dan membiarkan aku pergi tanpa
bertanya-tanya lagi. *** Kafka baru meneleponku pada hari keempat. Aku sedang
di kamar mandi ketika telepon itu berbunyi, sehingga tidak berbicara langsung
dengannya. Tapi begitu aku mendengar voicemail yang ditinggalkannya, aku
bersyukur bahwa aku tidak sempat mengangkat telepon itu. “Hei, Nad-Nad, kok
nggak diangkat sih teleponnya? Naaa….ddd-Naaa…ddd. Heeellloooo…. Oke, kayaknya
kamu nge-screen teleponku deh. Aku Cuma mau bilang kalau aku suka kamisol
renda-renda kamu. Omong-omong kapan-kapan kamu pakai warna hitam ya kalau
ketemu aku. Aku suka ngelihat perempuan pakai underwear warna hitam. Mukaku
langsung memerah ketika mendengar pesan itu. Kenapa aku tidak terkejut bahwa
Kafka bisa
tahu
apa itu kamisol dan tidak menyebutkan sebagai singlet seperti kebanyakan mantan
pacarku. Perasaanku bercampur antara ingin menangis dan berlari untuk memeriksa
apakah aku memang memiliki kamisol berwarna hitam. Aku tidak langsung membalas
telepon dari Kafka tersebut, aku akan membiarkannya menunggu selama setidak-tidaknya
empat hari sebelum meneleponnya balik. Biar tahu rasa… Tapi baru menginjak hari
ketiga, tanganku sudah gatal ingin meneleponnya. Akhirnya aku memutuskan untuk
mengirimkan SMS saja. Dengan sangat menyesal aku mengakui bahwa nomor HP Kafka
sudah tercatat di dalam address book HP-ku, tetapi aku mencoba menebus dosaku
itu dengan mengatakan bahwa aku hanya melakukannya agar bisa langsung
menghindar dari menggunakan nomor Unknown, tapi hanya ada SATU orang yang
menggunakan nomornya Kafka Kafka, kamu ngabis-ngabisin pulsa aja deh telepon
aku Cuma untuk ngomong begituan. Merasa puas dengan SMS itu, aku langsung
menekan SEND. Tanpa kusangka-sangka, balasan dari Kafka datang hanya dalam
beberapa detik. Dan selama sepuluh menit kami mengirimkan SMS bolak-balik
hingga kedua ibu jari tanganku sakit. Kafka: Kalo SMS gak ngabisin pulsa, kan?
Aku belum pernah coba SMS-sex, tapi there’s always a first time for everything.
Kamu hari ini pakai komisol warna apa? Nadia: Sapa juga ya mo ngomongin seks
sama kamu? Kayak gak ada kerjaan aja. Jawaban utk soal yang satu lagi: MYOB.
Kafka: iya emang gak ada gunanya kalo Cuma ngomongin doing. Aku available kalo
kamu mo coba langsung. BTW, setelah yang kemaren… I can make your underwear my
business if you let me. Nadia: ke laut aja, Kaf. Kafka: hahaha… Aku berhenti
mengirimkan SMS ketika menyadari bahwa aku sebetulnya menikmati debatku dengan
Kafka ini. Jelas-jelas aku memang sudah tidak waras lagi. Perempuan mana yang
bisa merasa terhibur ketika pada dasarnya mereka sedang di-sexually harass
melalui SMS oleh seorang laki-laki yang tidak disukainya? ***
Sepanjang minggu setelah SMS
terakhirnya yang tidak sopan itu, Kafka tidak menggangguku sama sekali. Tapi
kemudian ketika aku sedang mencoba untuk menyelesaikan pekerjaanku di kantor,
HP-ku bergetar dengan cukup lama dan di layar tertuliskan “Kafka”. Aku
membiarkannya tidak terangkat. Kemudian HP-ku bergetar sebentar yang menandakan
bahwa ada SMS baru. Kafka: Hei, kenapa gak angkat telepon? Nadia: aku lagi
kerja Kafka: oh ya… jangan lupa anter papa kamu minggu depan utk ketemu aku
Nadia: minggu depan gilirannya kakakku Kafka: giliran kamu kapan? Nadia: bisa
gak sih kamu gak gangguin aku? Kafka: kamu keberatan? Nadia: banget
Kafka:
sayang… Aku langsung terhenti ketika melihat kata itu dilayar HP-ku. “Sayang
titik…titik…titik…” apa maksudnya meninggalkan kata itu menggantung? Laki-laki
satu ini bikin aku gila. Selama satu bulan aku tidak menemani papaku pergi cek
rutin jantung semakin gencar pula SMS dari Kafka yang semakin hari semakin
membuatku gerah, terutama SMS yang dikirimnya seminggu lalu yang membuatku
bertanya-tanya tentang selera hubungan intimku selama ini. Seperti ketika aku
SD, Kafka selalu tahu cara yang paling ampuh untuk memancing reaksiku. Dia tahu
bahwa aku tidak akan bisa tinggal diam kalau dia terus menggangguku. Kafka:
kamu utang ongkos jahit kancing sama aku Nadia: kancing apaan? Kafka: kancing
kemeja yang lepas waktu kamu devour aku di sofa rmh sakit Nadia: aku gk devour
kamu, yang ada juga kebalikannya Kafka: and you enjoy every minute of it Nadia:
no, I didn’t Kafka: yes, you did. Ngaku aja, gak usah malu-malu Nadia: NO, I
DID NOT ENJOY IT, OKAY! Kafka: well, I did, okay…. Dan mungkin kalo org tau
kunci dari great relationship itu menyangkut nyiumin orang sampe bibirnya
bengkak, mungkin orang bakal lebih terbuka sama S&M. Nadia: Relationship
gak ada hubungannya sama yang kemaren. Sok ngomongin S&M lagi, emangnya
kamu tau S&M itu apa? Kafka: knp tanya2 soal S&M? mo coba? Nadia: gak,
makasih Kafka: yakin? Seru lho. Dan aku menyalahkan Kafka sepenuhnya dengan apa
yang terjadi padaku malam itu ketika aku terbangun dari tidurku pada tengah
malam buta dengan napas yang terengah-engah, jantung berdebar-debar,
berkeringat, dan basah. Aku mencoba mengusir mimpi yang telah membangunkanku,
mimpi yang membuatku waswas untuk tidur lagi karena takut memimpikan hal yang
sama. Selama ini aku selalu berpikir bahwa hanya laki-laki saja yang bisa mimpi
basah dan bahwa itu adalah sesuatu yang lucu dan patut ditertawakan. Tapi kini
aku tahu bahwa tidak ada yang lucu sama sekali dengan mimpi basah ketika aku,
sebagai seorang wanita dewasa, baru mengalaminya untuk pertama kali. Terutama
jika pemeran utama dari mimpi tersebut adalah seseorang yang tidak seharusnya
punya urusan untuk berada di dalam mimpi tersebut, dan ini bukan hanya mimpi
biasa, tapi mimpi yang melibatkan orang itu mengikat kedua pergelangan tanganku
pada tiang tempat tidur dengan borgol yang dilapisi bulu-bulu pink dan kedua
kakiku dengan scarf Hermes. Tapi bukan posisi itu saja yang mengejutkanku,
tetapi juga bahwa tubuhku tidak ditutupi oleh sehelai kain pun.
Crash Into You - AliaZalea - Bab 8
No comments:
Post a Comment