Bab 10
And all I’ve
tried to hide
It’s eating me
apart
Trace this life
out.
Ben harus menghentikan dirinya dari
menggeram ketika tubuh Jana tidak lagi kaku di dalam
pelukannya dan tangan Jana yang
tadinya mau mendorong dadanya sudah naik untuk
melingkari lehernya. Kuku-kukunya
yang panjang mulai mencakar kulit kepalanya dan kalau
saja rambutnya lebih panjang, dia
tahu Jana pasti sudah menjambaknya. Ya, dia selalu tahu
bahwa Jana likes it rough, dan
dia tidak pernah ada masalah sama sekali dengan itu. Detik
selanjutnya Jana sudah membalas
ciumannya seganas dia menciumnya.
Untuk beberapa menit, itu saja
yang mereka lakukan. Mencium satu sama lain. Bibir dan
lidah mereka seperti tahu apa
yang harus dilakukan tanpa perlu diperintahkan oleh otak
mereka, seakan-akan delapan tahun
yang memisahkan mereka tidak pernah terjadi. Ketika
Jana menggigit bibir bawahnya,
Ben harus menarik napas dalam kalau tidak mau
mempermalukan diri sendiri dengan
pingsan di hadapan Jana. Detak jantungnya sudah
nggak keruan dan dia mengalami
masalah mengontrol libidonya. Tapi dia harus
mengontrolnya.
Perlahan-lahan dia menjauhkan
wajahnya sedikit dari wajah Jana untuk menatapnya dan
mendapati Jana kelihatan
sama-sama out of control seperti dirinya. Pupil matanya lebih
besar dari normal dan Jana sedang
menatapnya seperti ingin melahapnya. Tanpa bisa
menahan diri lagi, dia sudah
mengangkat tangannya untuk membelai wajah Jana, dan Jana
mendekatkan keningnya hingga
bertemu dengan bibirnya. Suatu tindakan yang sangat
simple, tapi penuh dengan
intiminasi dan pengertian yang membuat Ben ingin
membawanya pulang sekarang juga
dan meneruskan apa yang mereka sedang lakukan di
atas tempat tidur. Di sudut
pikirannya Ben sadar bahwa mereka sedang di tempat umum.
Siapa saja bisa memergoki mereka
dan kemungkinan bisa menyebabkan mereka ditangkap
polisi, tapi itu tidak cukup
untuk membuatnya berhenti. Tidak ada yang bisa membuatnya
berhenti, biarpun api nereka
menjilati kakinya sekalipun. Dan dengan ini dia kembali
menyerang bibir Jana.
Ketika dia sedang mencoba menarik
lidah Jana lebih dalam lagi ke dalam mulutnya, samarsamar
dia mendengar suara anak kecil
bertanya, “Bunda… Bunda lagi ngapain?”
Jana langsung menarik lidahnya
dari dalam mulut Ben dan tubuhnya kaku di dalam
pelukannya. Dia kemudian menoleh
ke dua anak kecil yang sekarang sedang menatap
mereka dengan penuh
keingintahuan. “Oh, shit,” ucap Jana dan buru-buru mendorong Ben
agar menjauhinya.
Namun Ben tidak bereaksi sama
sekali. Tatapannya melekat pada dua anak kecil yang
berdiri tidak jauh darinya. Dua
anak kecil yang sangat mirip satu sama lain sehingga orang
yang melihatnya tidak akan punya
pikirain lain selain bahwa mereka kembar. Sepasang
kembar yang mirip sekali dengan
dirinya
***
Shit, SHIT,SHIIIIIIIIITT!!!
Apa yang harus dia lakukan
sekarang? Jana mengalihkan perhatiannya dari kedua anaknya
kepada Ben yang sekarang sedang
menatap Erga dan Raka dengan mulut menganga, lalu
Joko yang menenteng ransel dan
botol minuman Erga dan Raka dan kelihatan bingung
dengan kejadian yang ada di
hadapannya. Dari ekspresi wajahnya, Jana tahu bahwa Joko
sudah melihat semuanya dan sedang
berusaha mencernanya.
Great. Just great. Andaikan saja
bumi bisa terbuka pada saat itu dan menelannya. Rasa malu
karena sudah tertangkap
making-out di muka public tidak sebanding dengan rasa malu
karena sudah tertangkap basah
melakukannya di depan anak-anak dan pegawai Papi. Oh,
dear God. Mudah-mudahan Joko
tidak akan menceritakan kejadian ini kepada Papi. Oh,
lupakan Papi!!! Penjelasan apa
yang harus dia berikan kepada anak-anaknya?
“Bunda, itu siapa?” Tanya Erga
yang pelan-pelan berjalan ke arahnya. Wajahnya penuh
keingintahuan. Raka hanya satu
langkah di belakangnya.
Oh, crap, crap, crap. Kalau saja
ada tombol rewind yang bisa dia tekan pada saat ini, dia
akan kembali ke dua minggu yang
lalu dan memutuskan untuk tidak menghadiri acara amal,
sumber bencana yang kini sedang
dialaminya.
“Bunda?”
Suara Raka membangunkannya dan
buru-buru dia mendorong Ben dengan paksa dan
melangkah mendekati anak-anaknya
untuk memeluk mereka. “Halo, Sayang,” ucap Jana
sambil mencium kepala Raka dan
Erga. Dia lalu berlutut di hadapan mereka dan dalam
usaha mengalihkan perhatian
mereka dari Ben, dia berkata, “Bisa tolong kalian naik duluan
ke atas sama Pak Joko? Bunda
masih ada urusan. Sebentar lagi Bunda nyusul.”
“Oke, tapi itu siapa, Bunda?”
Erga bertanya lagi, kini dengan nada sedikit ngotot.
Tatapan Erga terkunci kepada Ben
dan Jana bersumpah bahwa kalau diberikan cukup waktu,
Erga akan mengenali ayahnya. Dan
kepanikan menyerangnya. “Cuma temen Bunda,” ucap
Jana cepat dan segera bangun
untuk menutupi Ben dari tatapan Erga dengan tubuhnya.
“Pacar Bunda, ya?” Tanya Raka.
“Bukan.”
“Tapi tadi aku lihat Bunda cium
oom itu,” Raka berkeras.
“Raka Oetomo, berhenti
menginterogasi Bunda!” geram Jana.
Bukannya kelihatan takut dengan
nada tinggi suaranya, untuk beberapa detik Raka justru
kelihatan bingung. Kemudian dia
menoleh ke Erga yang hanya mengangkat bahunya.
Sebelum bertanya dengan polos,
“Menggasi itu apa, Bunda?”
Dan Jana mendapati dirinya
mengalami masalah untuk bertahan kepada rasa kesalnya. Yang
dia inginkan adalah tertawa
terbahak-bahak karena Erga tidak bisa mengucapkan kata
“Menginterogasi”. Tentu saja kata
itu terlalu panjang dan sulit untuk anak berumur tujuh
tahun. Merasakan tawanya akan
meledak sebentar lagi kalau dia tetap menatap Raka yang
masih menunggu penjelasan darinya
dengan sabar, dia mengalihkan perhatiannya ke Joko
dan berkata, “Jok, bisa tolong
bawa anak-anak ke atas? Sebentar lagi saya nyusul.”
Untungnya Joko sudah sadar dari
kebingungannya dan segera berkata, “Ayo, Mas Raka, Mas
Erga, Pak Joko anter ke atas,”
sambil menggandeng Erga dan Raka dengan sedikit memaksa.
“Tapi, Bunda….” Rengek Raka dan
Erga pada saat bersamaan.
“Erga, Raka!!! Kalo kalian nggak
ikut Pak Joko sekarang, Bunda nggak akan ajak kalian
berenang lagi. Ngerti?”
Erga dan Raka langsung
memberiakan tampang cemberut dan mengikuti Joko tanpa
berkata-kata lagi. Setelah mereka
menghilang ke dalam lift, baru Jana berani menatap Ben
yang sedang menatap pintu lift
yang sudah lama tertutup.
“Ben,” panggil Jana.
Sunyi. Tidak ada jawaban. Ben
bahkan tidak kelihatan mendengar panggilannya sama sekali.
“Ben,” sekali lagi Jana mencoba
menarik perhatiannya dengan menarik lengan kemejanya.
Seperti baru sadar bahwa ada
orang di depannya, Ben mengalihkan perhatiannya dari pintu
lift kepada Jana. Dan pada saat
itulah Jana melihat air mata di pelupuk mata Ben. Dear God,
apa yang telah dia lakukan? Dia
sudah membuat laki-laki paling maskulin yang pernah
ditemuinya menangis.
“Ben, aku minta maaf. Aku…”
“They’re mine.” Ucap Ben pelan,
memotong kata-kata Jana.
Jana mengangguk. “Aku nggak
pernah…”
Tapi sebelum dia bisa
menyelesaikan kalimatnya, Ben sudah melangkah pergi,
meninggalkannya lemas dan
diselimuti perasaan bersalah.
Ben tidak tahu bagaimana dia bisa
sampai di rumah, tapi dia menemukan dirinya sudah
duduk di atas tempat tidurnya.
Wajahnya basah oleh air mata yang dia coba tahan
sepanjang perjalanan dan
tangannya gemetaran nggak karuan. Dia membaringkan tubuhnya
seperti bayi di dalam rahim ibu
dan menangis sejadi-jadinya. Dia tidak percaya bahwa dia
punya anak laki, bukan satu, tapi
dua. Ketika matanya jatuh pada mereka sejam yang lalu,
dia menyangka sudah salah lihat,
bahwa itu hanya imajinasinya saja. Tapi kemudian dia
sadar memang melihat dua anak
laki dengan wajah yang sama persis dengan dirinya hingga
membuatnya bertanya-tanya apa
seseorang sudah membuat klon dirinya tanpa seizinnya.
Segala sesuatu tentang mereka
mengingatkannya pada dirinya, bahkan aura kebandelan
yang terpancar dari setiap pori
mereka. Satu-satunya sumbangan gen Jana pada mereka
hanyalah hidung yang kecil dan
bulat. Dia tidak lagi perlu membayangkan wajah anaknya,
karena untuk pertama kalinya
dalam delapan tahun ini, anaknya bukan hanya bayangan
masa lalu yang menghantuinya,
tapi kenyataan yang menamparnya persis di muka. Son of a
bitch. Bagaimana Jana bisa setega
ini padanya? Bagaimana dia bisa berbohong tentang
sesuatu sebesar dan sepenting
ini? Dia tahu bahwa dia memang seorang asshole delapan
tahun yang lalu, tapi apakah dia
berhak diperlakukan seperti ini?
Dan bagaimana dengan
anak-anaknya? Mereka juga berhak mendapatkan kasih saying dan
perhatian seorang ayah. Bukannya
dia mempertanyakan kemampuan Jana sebagai
orangtua, karena semenjak dia
pertama kali bertemu dengannya, dia tahu Jana memiliki
potensi menjadi ibu yang baik.
Dan dari sedikit interaksi yang dia lihat antara Jana dan anakanaknya
tadi, perkiraannya benar. Tapi
tetap saja, akan lebih baik bagi seorang anak untuk
memiliki kasih sayang dari ibu
dan ayah.
Mereka sudah berumur tujuh tahun.
Dia tidak percaya bahwa dia sudah kehilangan
kesempatan untuk memandikan
anak-anaknya, mengganti popok mereka, membacakan
cerita sebelum tidur, mengajari
mereka cara membaca dan berhitung, mengeloni mereka
kalau mereka takut tidur sendiri,
menuntun mereka naik sepeda untuk pertama kali, nonton
finding nemo sama-sama dan
tertawa-tawa melihat kelucuan Dori, dan banyak lagi hal yang
biasanya di lakukan seorang ayah
dengan anak mereka ketika mereka balita. Ini semua
adalah kesempatan yang tidak akan
pernah dia dapatkan lagi.
Tapi lebih dari itu semua, dia
tidak percaya bahwa dia sudah hidup leha-leha sebagaiman
layaknya laki-laki single dengan
pekerjaan mapan dan tanpa tanggung jawab lain selain
dirinya, sementara Jana harus
membagi waktu antara bekerja dan mengurus anak, sendiri.
Bayangan Jana sebagai ibu tunggal
yang hanya bisa memberikan kehidupan pas-pasan
kepada anak-anaknya sementara dia
hidup mewah, mengahantuinya. Kenyataan bahwa
Jana berasal dari keluarga kaya
dan kemungkinan mendapatkan support financial dari
keluarganya, tidak membuatnya
merasa lebih baik. Dia bertanya-tanya, pengorbanan apa
yang harus Jana lakukan untuk
mendapatkan support itu? Seingatnya dari cerita Jana,
Papinya tidak pernah memberikan
sesuatu tanpa mengharapkan sesuatu yang lebih besar
dari bayaran.
Dia selalu bangga memiliki pacar
seperti Jana, tapi rasa bangga itu sekarang bercampur
dengan rasa salut dan hormat.
Rasa bersalah karena dia sudah lalai akan tugasnya untuk
melindungi Jana dan anak-anaknya,
menyelimutinya. Holy shit!!! Tadi pagi dia bangun hanya
sebagai laki-laki single yang
tanggung jawab terbesarnya adalah memastikan proyek
konsultasinya berjalan lancer,
dan sore ini, dia adalah seorang ayah dari dua anak laki
berumur tujuh tahun. HOLY MOTHER
OF GOD, AKU SEORANG AYAH!!! Apa dia bahkan bisa
menjadi seorang ayah yang baik
untuk anak-anaknya? Dia tahu Erik selalu senang hangout
dengannya, tapi Erik baru berumur
empat tahun.dan selalu bisa disogok es krim kalau
menangis. Dia yakin tidak bisa
melakukan hal yang sama kepada sepasang anak berumur
tujuh tahun.
Erga dan Raka, itulah nama
mereka. Nama yang terdengar kuat untuk anak laki. Apa Jana
memilih nama itu sendiri atau
mendapatkan input dari Mami dan Papinya? Dan nama
belakang mereka adalah Oetomo.
Well, setidak-tidaknya dari yang dia dengar, nama
belakang Raka adalah Oetomo, maka
kemungkinan besar Erga juga memiliki nama belakang
yang sama. Ben mengerti kenapa
Jana tidak memberikan nama Barata kepada Erga dan
Raka, tapi tetap saja, dia merasa
sedikit dicurangi karena anak-anaknya, darah dagingnya,
tidak memiliki identitas yang
mengasosiasikan dirinya dengan mereka. Yang bisa
menunjukkan bahwa mereka adalah
miliknya dan dia milik mereka.
Raka Barata dan Erga Barata.
Mmhhh… nama itu kedengaran lebih cocok untuk mereka
daripada Raka dan Erga Oetomo.
Seperti apakah mereka? Apa mereka punya banyak
teman? Apa hobi mereka, makanan
favorit mereka? Apa mereka akur? Apa mereka pernah
bertanya-tanya tentang ayah
mereka? Dan kalau memang mereka bertanya, apa yang Jana
sudah katakana kepada mereka?
Andaikan dia bisa menanyakan semua ini… sayang dia
terlalu shock untuk melakukan
apa-apa selain menatap mereka dengan mulut ternganga
siang tadi.
Dari semua pertanyaan yang kini
berputar-putar di kepalanya, ada satu yang paling penting,
tapi dia takut menanyakan karena
tahu itu akan menghancurkannya kalau jawabannya
adalah “Tidak”, yaitu: aoa
anak-anaknya mau bertemu dengannya? Bagaimana kalau
mereka tidak tertarik sama sekali
untuk mengenalnya? Bahwa mereka puas hanya hidup
dengan Jana. Bahwa mereka tidak
membutuhkannya. Oh, itu akan membunuhnya. Tapi
pertanyaan paling besar yang
harus dia tanyakan adalah: apakah Jana akan
memperbolehkannya mengenal
mereka? Kemarahan yang dia rasakan karena Jana sudah
menyembunyikan Raka dan Erga
darinya kembali lagi. FUCK WHAT SHE WANTS!!! Terserah
Jana mau atau tidak, siap atau
tidak, dia akan mengenal anak-anaknya.
Perlahan-lahan dia bangun dari
tempat tidur dan berjalan sedikit kuyu menuju kamar mandi
untuk mencuci mukanya. Dia sudah
membuat kesalahan delapan tahun yang lalu dengan
tidak meminta bantuan ketika
membutuhkannya, dia tidak akan membuat kesalahan yang
sama. Setelah lebih segar dia
mencari ponselnya dan menekan nomor ponsel Eva.
“Hey,” ucap Eva.
Hanya mendengar suara Eva
membuatnya ingin menangis lagi. Oh God, sejak kapan dia jadi
seperti banci begini? Dia tidak
bisa ingat kapan terakhir kali dia menangis sebanyak ini,
mungkin waktu nonton adegan akhir
film platoon ketika dia masih SD. This is fucking crazy.
Dia menarik napas dalam dan bisa
berkata, “Ev…” sebelum emosi mengambil alih dan dia
tersedak.
Ben mendengar Eva memanggil namanya
tiga kali, setiap kali terdengar semakin khawatir,
tapi dia tetap tidak bisa
membalas. “Ben, tell me what’s wrong. Apa sesuatu terjadi pada
Mama? Pada Papa? ANSWER ME, DAMN
IT. YOU’RE SCARING ME!!!” Eva mulai histeris.
Dia tidak tahu bagaimana dia bisa
mengucapkannya, tapi dia mendengar dirinya berbisik,
“Aku punya anak, Ev.”
“Apaaa???!!!” teriak Eva.
Ben menarik napas dan mengulang
kata-katanya. “Aku punya anak. Jana nggak pernah
ngegugurin kandungannya delapan
tahun lalu.”
Dan untuk beberapa detik tidak
ada balasan apa-apa dari Eva. Ketika Ben berpikir bahwa
sambungan teleponnya secara tidak
sengaja sudah terputus, dia mendengar Eva berteriak
sekeras-kerasnya, “HOLY MARY
MOTHER OF JESUS. I’M COMING OVER.” Sebelum
sambungan betul-betul terputus.
***
Ketika Eva melabrak masuk ke
dalam kamarnya sejam kemudian, Ben sudah jauh lebih
tenang. Dia menuliskan sebuah
daftar tentang apa saja yang harus dilakukannya untuk
menghadapi situasi ini. Yang
paling teratas pada daftar ini adalah: Call George. George West
adalah bosnya di Chicago. Hanya
membutuhkan semenit untuk menyadari bahwa dia tidak
bisa kembli ke Amerika sekarang.
Sulit baginya untuk membayangkan dirinya kembali ke
rutinitasnya yang dulu di Chicago
seakan kejadian paling penting di dalam hidupnya tidak
sedang terjadi. Dia tahu George
akan mengamuk begitu mendengar dia mau
memperpanjang cutinya untuk waktu
yang tidak bisa ditentukan di tengah-tengah
pelaksanaan proyek konsultasi
besar yang sedang mereka tangani sekarang, tanpa
penjelasan masuk akal. Oleh
karena itu, hal ini menjadi prioritasnya. Keputusannya sudah
bulat, bahwa kalau sampai dipecat
karena ini, dia harus menerima keputusan itu dengan
tangan terbuka.
Hal kedua: Tell Mama dan Papi.
Ini satu hal yang membuatnya lebih panas-dingin daripada
prospek kehilangan pekerjaan.
Tidak peduli dia berumur tiga puluh tahun, tapi seperti anak
yang sudah berbuat salah pada
umumnya, dia takut menghadapi orangtua. Dia yakin Mama
dan Papa akan senang tujuh
turunan begitu tahu tentang keberadaan Erga dan Raka. Tuhan
tahu dia sudah kenyang diteror
oleh mereka untuk memberikan cucu. Tapi itu bukan berarti
mereka akan senang mendengar dia
sudah menghamili seorang cewek delapan tahun yang
lalu dan tidak menikahinya.
Disinilah bantuan Eva akan sangat diperlukannya.
Hal ketiga: Call Jana. Untuk yang
terakhir ini dia harus melakukannya dengan sangat berhatihati
karena tidak mau membuat Jana
defensive dan justru tidak memperbolehkannya
bertemu dengan Raka dan Erga.
Menurut sedikit riset yang dilakukannya melalui Google,
hukum Indonesia mengatakan karena
dia tidak pernah menikahi Jana, dia tidak punya hak
apa-apa atas anaknya. Stupid
law!!! Hanya karena seorang laki-laki tidak mengandung anak
mereka selama Sembilan bulan,
bukan berarti mereka memiliki lebih sedikit hak atau kasih
sayang kepada anak mereka
daripada sang ibu.
Kesadaran ini membuatnya terdiam
sesaat. Bagaimana dia bisa menyayangi manusia yang
baru saja ditemuinya kurang dari
sepuluh menit, dia tidak tahu. Tapi itulah kenyataannya.
Dia menyayangi dan mencinta Erga
dana Raka dengan seluruh hati dan Jiwanya. Oleh karena
itu, dia harus menghubungi
seorang pengacara untuk memastikan perkara hak asuh, tapi
untuk sementara waktu sepertinya
dia harus baik-baik dengan Jana kalau mau
berkesempatan melihat
anak-anaknya lagi.
“Ben, I am so sorry,” ucap Eva
dan langsung menyelubunginya di dalam pelukannya.
“Makasih ya udah dateng,” kata
Ben sambil menerima pelukan itu dengan pasrah.
“No problem. I’m glad you called
me.” Eva mencium keningnya dan melepaskannya untuk
duduk di sebelahnya sebelum
bertanya, “Dari mana kamu tahu kalo kamu punya anak?”
“Dua anak.”
“Excuse me?” Tanya Eva bingung.
“Anakku kembar.”
“Bercanda kamu?” Eva kelihatan
tidak percaya. Ben menggelengkan kepalanya untuk
menjawab keraguan ini yang
disambut dengan, “Oh Jesus,” oleh Eva. “Tapi gimana… aku
nggak… maksudku… keluarga kita
nggak ada turunan kembar sama sekali. Apa kamu yakin
itu anak kamu?” Tanya Eva sedikit
terbata-bata.
“Ev, mereka kelihatan kayak
kembaran aku waktu umur segitu.”
“Apa mereka sepreman kamu?”
“Salah satunya, yang namanya
Raka, kelihatan jauh lebih preman daripada aku. Tinggi,
besar, gempal dan siap berantem
sama siapa aja.”
“Jadi nama anak kamu Raka?”
Ben mengangguk. “Dan Erga.”
“Wow.”
“I know,” desah Ben.
Eva terdiam sesaat, seakan memikirkan
sesuatu sebelum berkata- kata lagi. “Kebayang
nggak sih? Ada tiga kamu di muka
bumi ini. As if, satu kamu belum cukup untuk membuat
semua orang pusing, tuhan harus
bikin dua lagi.”
Tidak merasa tersinggung dengan
kata-kata Eva, Ben justru merasa depressed. Ya Tuhan,
mudah-mudahan anak-anaknya tidak
mewarisi tingkah lakunya yang sering dibilang “anak
iblis” waktu kecil saking bandel
dan susah diaturnya. Sejujurnya, dia mengasihani Jana kalau
sampai mereka seiblis dirinya.
“Apa ada apa-apa yang bisa aku
bantu?”
“Aku perlu kamu untuk nemenin aku
waktu aku break the news ke Mama dan Papa.”
“Jadi mereka belum tahu tentang
ini?”
Ben menunduk dan menggeleng. “Aku
nggak tahu gimana ngomongnya, Ev.”
“It’s alright. I’ii help you,
okay?”
***
Sudah tiga hari semenjak Jana
terakhir melihat Ben dan dia tidak tahu apa yang harus dia
lakukan. Telepon dan e-mailnya
tetap tidak bersuara, padahal dia sudah membatalkan blok
pada nomor telepon Ben dan spam
pada e-mail Ben. Beberapa kali dia mencoba menelepon
Ben tapi mundur pada detik
terakhir. Dia juga mencoba mengirimkan e-mail, tapi e-mailnya
stuck pada kata “Ben”. Ya Tuhan,
dia bisa mati oleh rasa bersalah kalau Ben tidak segera
menghubunginya.
Dia beruntung Joko tidak
mengatakan apa-apa kepada Papi, tapi seharusnya dia tahu ada
dua orang lagi yang menyaksikan
kejadian ketika hormonnya mengalahkan akal sehatnya.
Sejujurnya, kalau ada yang
bertanya bagaimana dia berakhir mencium Ben, dia tidak bisa
menjelaskannya. Satu detik dia
sedang mencoba meneriakkan “Fuck you” kepada Ben atas
kata-katanya yang jelas-jelas
memojokkan itu, detik selanjutnya mereka sudah ciuman
seolah-olah alien telah menyerang
bumi dan inilah saat terakhir yang mereka bisa habiskan
bersama-sama sebelum mereka
punah. Betul-betul memalukan.
Dirty Little Secret - Bab 11
No comments:
Post a Comment