Sunday, September 6, 2015

Dirty Little Secret - Bab 16

Bab 16

I want, I need the fruit of you pine
It tastes so bitter sweet cause I know it’s not mine
I wanna come inside

“Boleh aku antar mereka ke sekolah besok?” Tanya Ben setelah Erga dan Raka naik ke mobil.
Rencana Jana yang hanya mau mengambil anak-anak dan langsung cabut gagal total ketika
mereka berkeras menyelesaikan pe-er di rumah orangtua Ben. Parahnya, anak-anak nggak
mau dibantu sama sekali oleh-nya, lebih memilih Ben. Alhasil, Jana tidak ada pilihan selain
duduk manis-manis dengan anggota keluarga Ben (Mama, Papa, dan Eva, kakak Ben)
sementara mereka menginterogasinya. Well, mungkin menginterogasi terdengar terlalu
ganas, karena pada dasarnya yang mereka lakukan hanyalah menanyakan banyak hal
tentang Raka dan Erga. Mereka kelihatan betul-betul tertarik untuk menjadi bagian
kehidupan anak-anak dan dia nggak tega menolak.
Setelah puas membedah kehidupan Erga dan Raka, orangtua Ben mulai bertanya-tanya
tentang kehidupannya. Hal pertama yang mereka tanyakan adalah apakah dia baik-baik
saja? Suatu pertanyaan yang agak aneh, membutuhkan beberapa detik hingga Jana sadar
bahwa mereka bukan menanyakan kabarnya hari ini, tapi kabarnya selama delapan tahun
ini.
“Awalnya memang sedikit sulit. Saya harus membagi waktu antara kuliah dan anak-anak.
Tapi orangtua saya banyak bantu menjaga mereka dan untungnya anak-anak nggak rewel,”
jelas Jana sambil tersenyum kepada mereka, menunjukkan dia memang baik-baik saja dan
bahwa mereka tidak perlu khawatir.
Tapi sepertinya penjelasannya ini menghasilkan efek sebaliknya, karena kini Mama Ben dan
Eva mengusap dada dengan tatapan nggak tega. Dengan sedikit panic Jana melirik Ben, yang
masih duduk dengan Erga dan Raka di meja makan di seberang ruangan, mencoba
mengirimkan sinyal “Help meee!!!” padanya tanpa mengucapkan kata-kata. Untungnya Ben
mengerti karena dia langsung bergegas menghampirinya.
“You okay?” Tanya pelan.
Jana mengangguk dan dengan matanya dia menunjuk kepada Mama Ben yang sudah
menguburkan wajahnya pada saputangan sambil menangis tanpa bersuara, sementara Eva
mencoba menenangkannya.
“Ma, kenapa Mama nangis?” Tanya Ben bingung.
Tanpa menjawab pertanyaan Ben , beliau justru bangun dari sofa dengan kecepatan yang
tidak disangka Jana bisa dimiliki wanita seumurannya. Detik selanjutnya, Jana menemukan
dirinya sudah ditarik ke dalam pelukan Mama Ben dengan paksa. Jana yang masih terlalu
shock hanya bisa berdiam diri ketika mendengar beliau membisikkan kata maaf atas
perlakuan Ben padanya dan juga karena mereka tidak bisa membantu sebelumnya. Dia
mengharapkan yang terburuk dari keluarga Ben, seperti mereka memintanya melakukan tes
DNA pada anak-anaknya, toh papa Ben seorang pengacara. Bukan nya pengacara
seharusnya selalu bisa mencari cara untuk membuktikan klien mereka bukanlah bapak dari
anak wanita yang menuntut klien mereka? Makanya dia terkejut atas kebaikan yang
ditunjukkan padanya sekarang. Melihat Mama Ben menangis seolah hatinya sudah remuk,
membuatnya merasa sangat bersalah. Dia harus meluruskan masalah ini. Ben bukanlah
satu-satunya yang bersalah pada situasi ini.
“Saya juga minta maaf karena nggak pernah memperkenalkan Erga dan Raka ke Tante
sebelumnya,” ucap Jana.
Mama Ben melepaskan pelukannya dan merangkum wajah Jana di dalam kedua telapak
tangan sebelum berkata, “Kamu nggak perlu minta maaf. Tante ngerti kenapa kamu
melakukannya. Tante mungkin akan melakukan hal yang sama kalau Tante jadi kamu.”
Jana melihat Eva mengangguk, menyetujui kata-kata mamanya, dan Jana rasanya ingin
ditelan bumi. Sumpah mati, dia mungkin akan datang ke mereka delapan tahun lalu kalau
tahu mereka sebaik ini. Tapi mungkin mereka bisa baik sekarang, setelah semuanya berlalu.
Mungkin kalau dia datang menemui mereka delapan tahun lalu dalam keadaan hamil dan
melaporkan betapa brengseknya Ben, mereka akan langsung menendangnya dari teras
rumah tanpa menengok-negok lagi.
Jana memfokuskan perhatiannya kembali ke masa kini dengan menaiki mobil dan
menyalakan mesin sebelum menjawab pertanyaan Ben. “Anak-anak biasa berangkat jam
06.30 dari rumah, apa kamu bisa sampe dirumahku sepagi itu?”
“I’ii be there,” kata Ben pasti.
“Kamu tahu jalan ke rumahku?”
“Aku udah Tanya sopir Mama, katanya dia tahu.”
“Oke kalo gitu. Aku tunggu kamu besok.” Jana menutup pintu mobil dan harus menurunkan
jendelanya karena Ben masih berdiri di samping mobil, seperti akan menanyakan sesuatu.
“Kalo boleh, aku juga mau jemput mereka dari sekolah dan ngabisin waktu sama mereka
kayak hari ini,” ucap Ben.
Jana menanyakan hal ini kepada anak-anak. “Apa kalian mau main sama Oom Ben lagi
besok?”
“Mauuu,” teriak Erga dan Raka bersamaan.
“There’s your answer,” ucap Jana.
Dia terkejut ketika Ben menjulurkan kepalanya ke dalam mobil dan mencium pipinya. Dia
belum sempat bereaksi sebelum Ben sudah menarik bibirnya lagi. “Thank you,” ucapnya
sambil meremas lengannya dan menatapnya dengan penuh terimakasih.
Jana mengatasi keterkejutannya dengan membalas, “You’re welcome. Makasih juga karena
udah jagain mereka hari ini.”
“Anytime. Good night, then.”
“Good night.”
Ben mengucapkan selamat malam kepada Erga dan Raka yang membalas dengan antusias.
Dan dengan satu anggukan pada Ben, Jana buru-buru mengenakan sabuk pengaman lalu
membawa mobil keluar gerbang. Dari kaca spion dia melihat Ben berdiri di depan gerbang
sampai mobil berbelok di ujung jalan.
***
Dan selama beberapa hari ke depan itulah rutinitas mereka. Ben akan mengantar dan
menjemput anak-anak dari sekolah dan menghabiskan setiap siang dengan mereka. Kadang
mereka menghabiskan waktu di rumah orangtuanya, kadang di rumah Mami. Dan Jana akan
menjemput mereka setelah dia pulang kerja. Setelah beberapa hari di bawah pengawasan
Oji, Ben akhirnya memberanikan diri nyetir sendiri, dengan begitu memudahkannya untuk
pergi ke mana-mana. Contohnya seperti menghabiskan hari minggu ini dengan Erga dan
Raka di rumahnya.
Jana sudah seperti cacing kepanasan semenjak dia mengiyakan rencana Ben ini. Bagaimana
mungkin dia bisa mengiyakannya? Oh iya, itu karena dia sudah diperdaya oleh Ben dengan
menanyakannya di depan anak-anak, membuatnya tidak bisa menolak kalau tidak membuat
Erga dan Raka menolak berbicara lagi dengannya. Entah bagaimana ini semua bisa terjadi.
Dia ingat masa-masa ketika dialah Wonder Women mereka. Saat ketika dia adalah orang
yang paling di puja oleh mereka, dan kata-kata yang paling sering diucapkan oleh mereka
adalah “Bunda bilang”. Tapi sekarang, kata-kata favorit mereka adalah “Oom Ben bilang”,
yang akan mereka ucapkan setidak-tidaknya seratus kali sehari, membuatnya ingin
mencekik si Oom Ben itu. Hanya dalam hitungan minggu Ben sudah menjadi superman bagi
mereka, dengan begitu menurunkan statusnya dari pemeran utama menjadi pemeran
pengganti. Dia bukan lagi Wonder Women, dia hanyalah sepergirl bagi mereka. And that
sucks, karena she hates supergirl.
Untuk kesekian kali dia memastikan celana kapri yang dikenakannya tidak kusut. Dia
membutuhkan waktu 45 menit hari ini untuk memilih pakaian. Stupid, she knows!
Memangnya Ben akan peduli dengan pakaiannya? Toh, Ben datang ke rumahnya hari ini
untuk hangout dengan anak-anak, bukan dengan dirinya. Tugasnya hanyalah untuk
memastikan Ben, sebagai tamu, merasa nyaman dirumahnya. Itu saja. So what kalau dia jadi
sedikit gila bersih-bersih beberapa hari ini? So what kalau dia sibuk mempersiapkan bahanbahan
makanan kesukaan Erga dan Raka semenjak beberapa hari yang lalu untuk makan
hari ini? Dan so what juga kalau kemarin sore dia sengaja pergi ke toko bunga untuk
membeli beberapa rangkaian bunga sedap malam untuk mengusir bau-bau aneh yang
mungkin dimiliki rumahnya?
Oh, God, dia tidak bisa membohongi dirinya lagi. Dia melakukan ini semua bukan untuk
membuat Ben merasa nyaman, tapi untuk menunjukkan kepada Ben bahwa rumahnya layak
ditinggali anaka-anak. Bahwa dia ibu yang bisa memenuhi semua kebutuhan anak-anaknya.
This is insane!!! Kenapa dia tiba-tiba peduli akan pendapat Ben tentangnya? Tidak pernah
sekali pun dia mendengar Ben mengeluh tentang caranya memperlakukan anak-anak. Jadi
kenapa dia masih keringat dingin memikirkan Ben menghabiskan waktu di rumahnya?
Dia tahu Ben sudah sampai ketika Erga dan Raka yang sedari tadi sudah membuka dan
menutup pintu depan, takut tidak bisa mendengar suara mobil Ben, sehingga akhirnya dia
memutuskan membiarkan pintu itu terbuka, berteriak, “Oom Ben dah nyampe. Oom Ben
dah nyampe,” dan berlari keluar sebelum dia bisa berkedip.
Jana menarik napas dalam dan mengucapkan, “Dear God, help me !” dalam hati. Dia bisa
mendengar suara nyaring anak-anak berteriak menyambut Ben dan suara berat Ben yang
membalas sambutan itu. Lalu Ben mengatakan sesuatu yang tidak bisa dia tangkap, tapi
sepertinya lucu sekali karena Erga dan Raka langsung tertawa keras. See? “Ben” sama
dengan “Superman”. “Bunda” sama dengan “Nggak penting kalau ada Oom Ben”.
Jana hanya berdiri dekat meja makan mengasihani dirinya. Meja makannya hari ini ditutupi
taplak border Mami. Di atasnya ada empat set peralatan makan porselen yang sudah di tata
rapi oleh Erga dan Raka tadi pagi, juga miliki Mami. Karena dia tidak pernah mengundang
tamu ke rumah, dia tidak pernah melihat kepentingan untuk memiliki taplak. Dan karena
Erga dan Raka sering sekali menjatuhkan piring hingga sompal atau pecah, maka semua
peralatan makan miliknya yang masih utuh nggak ada yang match.
Menyadari hal ini membuatnya tiba-tiba ingin menangis. Ibu macam apa dia yang bahkan
nggak punya taplak atau cukup peralatan makan untuk menjamu empat orang? Mungkin dia
memang tidak layak menjadi ibu. Oh God, oh God, oh God!!! Ketika Jana sedang memanggilmanggil
nama Tuhan inilah Ben muncul sambil menggendong Erga yang sedang
merentangkan tubuhnya seperti pesawat dan meneriakkan, “Wiii”. Dan Raka yang
melingkari kaki kanannya dalam proses memanjat tubuh Ben. Dia bahkan tidak tahu
bagaimana Ben masih bisa tetap berdiri, apalagi berjalan, dengan anak-anak pating
cerantelan begitu.
Suatu pikiran bahwa dia ingin menyantel pada Ben juga membuat Jana terkesiap cukup
keras, sehingga tatapan Ben langsung tertuju padanya. Dengan susah payah Jana berusaha
menempelkan senyuman pada wajahnya. Ben buru-buru menurunkan Erga dan menunduk
untuk menarik kaki Raka dan menggantungnya terbalik. Pertama kali melihat Ben
melakukan ini, Jana hampir terkena serangan jantung, tapi kemudian dia melihat Raka
tertawa-tawa senang dan Ben menurunkannya beberapa detik kemudian. Kini dia tahu Ben
tidak akan melakukan itu kalau tahu Raka tidak menyukainya atau akan membahayakannya.
Setelah menurunkan Raka, Ben bergegas ke arahnya dan seperti biasa, memberikan ciuman
di pipinya. Hanya satu ciuman, bukan dua, dan selalu di pipi kanan. Inilah satu hal lagi yang
dia tidak tahu bagaimana bisa terjadi, tapi semenjak dia memperbolehkan Ben mencium
pipinya di rumah mamanya, Ben menilai itu sebagai tanda dia bisa melakukannya setiap kali
bertemu dengannya. Sampai detik ini, Jana tidak tahu kenapa dia membiarkan kebiasaan ini
berlanjut.
***
Ben membiarkan bibirnya menempel lebih lama pada pipi Jana daripada hari sebelumnya.
Dia tidak tahu apakah Jana sadar bahwa setiap kali Ben mencium pipinya, dia selalu
menambahkan setengah detik, membuat ciumannya semakin lama semakin panjang. Dia
tidak tahu kenapa Jana memperbolehkannya melakukannya, terutama karena dia selalu
menciumnya dua kali, kadang tiga kali dalam sehari. Intinya setiap kali ada kesempatan
mencium pipi Jana, dia akan melakukannya. Ciuman inilah yang paling ditunggu-tunggunya
sepanjang hari. Bukannya dia tidak menunggu-nunggu saat ketika bisa melihat wajah
semringah Erga dan Raka setiap kali melihat kedatangannya, karena itu adalah salah satu
saat-saat terbaik dalam hidupnya, tapi dia merasa lebih bisa menghargai kesempatan
mencium Jana karena tahu ini tisak diberikan dengan rela, lebih seperti reflex. Suatu hari dia
ingin Jana balik menciumnya karena dia memang mau melakukannya, bukan terpaksa.
Dengan enggan Ben menarik bibirnya dari pipi Jana dan berkata, “Hi.”
“Hi,” balas Jana.
Hmmm, ada yang sedikit aneh dengan Jana hari ini. Wajahnya merah dan napasnya
terdengar sedikit memburu. “Are you okay?” tanyanya.
“Yep. Fine. Never better. Just awesome. Just… kamu bawa apa itu?”
Ben masih mencoba mencerna kata-kata Jana yang diucapkan terburu-buru itu ketika Jana
menunjuk plastic yang dibawanya. “Oh, ini buah Naga. Mamaku bilang bagus untuk Raka
dan Erga. Aku pikir kita bisa makan ini untuk dessert. Kamu yakin kamu nggak pa-pa?”
Tanpa menjawab pertanyaan Ben, Jana justru meraih, lebih tepatnya merebut, plastic yang
digenggamnya itu sebelum berlalu sambil berseru, “Aku akan potong ini. Kamu main aja
dulu sama Erga dan Raka.”
Weird!!! Tingkah laku Jana betul-betul aneh hari ini.
“Oom Ben, kita mau main apa hari ini?” pertanyaan Raka, yep, dia akhirnya bisa
membedakan suara Erga dan Raka tanpa melihat mereka, menariknya dari memikirkan Jana
lebih lanjut.
“Oom akan ajari kalian main ludo.”
“Yaaay.”
Seperti biasa, Erga dan Raka selalu antusias untuk diperkenalkan dengan hal-hal baru.
Mereka sudah hampir selesai membaca-koeksi, dibacakan buku Harry Potter yang pertama
minggu ini, di mana mereka, seperti juga berjuta-juta anak-anak di seluruh dunia, langsung
jatuh cinta dengan dunia sihir-menyihir ciptaan J.K Rowling. Jana tidak memperbolehkannya
mengenalkan video game kepada mereka, takut otak mereka yang cemerlang itu jadi bubur
dan meskipun Ben tahu itu tidak benar, dia menghormati permintaan ini. Lagi pula, masih
ada banyak hal yang lain yang ingin dia ajarkan kepada anak-anak. Papa mengusulkan agar
mereka, dengan maksud dirinya dan Papa, membawa Erga dan Raka memancing dan
berkemah, sesuatu yang dia yakin akan disukai mereka.
***
“Apa kita biarin aja mereka tidur di situ?” bisik Ben.
Jana melirik anak-anaknya yang sudah tewas tertidur di sofa setelah memaksa Ben main
Ludo sampai empat kali. Jam dinding menunjukan pukul 14.30. tidur siang memang bukan
kebiasaan anak-anaknya, mereka terlalu energetic untuk menghabiskan waktu dengan tidur,
tapi terkadang kalau memang kecapekan mereka akan langsung tewas, tidak peduli dimana.
Sudah cukup lama semenjak mereka jatuh tertidur di sofa seperti ini, mereka betul-betul
lelah rupanya.
“Lebih baik mereka tidur di kamar mereka sendiri. Mereka cenderung bangun dengan rewel
kalo tidur siang di sofa. Bisa tolong kamu gendong Raka? Aku bisa gendong Erga.”
Ben mengangguk dan berjalan menuju anak-anaknya. Dengan sigap dia mengangkat Raka
yang terbangun sekejap untuk menggumamkan, “Oom Ben?”
“Sssshhh, just sleep. I’ve got you,” bisik Ben dan Raka tertidur lagi.
Jana menarik napas dalam sebelum mengangkat Erga, yang meskipun lebih enteng daripada
Raka, tapi berat juga. Perlahan-lahan dia menaiki anak tangga menuju kamar tidur anakanak
dilantai atas, yang letaknya berseberangan dengan kamar tidurnya, meskipun
rumahnya memiliki tiga kamar tidur dan bia mengakomondasi kamar terpisah untuk Raka
dan Erga, anak-anak memilih tidur satu kamar, dan menjadikan kamar satunya kamar main
mereka.
Jana menurunkan Erga ke tempat tidurnya dan Ben melakukan yang sama dengan Raka.
Setelah yakin anak-anak tidak terbangun, Jana meminta Ben keluar lebih dulu sebelum dia
mengikutinya. Meninggalkan pintu kamar sedikit terbuka, Jana berjalan menuju tangga lebih
dulu. Dia sudah menuruni lima anak tangga ketika menyadari Ben tidak mengikutinya. Dia
menoleh, menemukan Ben berdiri di ambang pintu kamar tidurnya. Kamar tidurnya yang
bisa terlihat jelas oleh Ben karena dia lupa menutup pintu ketika turun beberapa jam lalu.
***
Mata Ben terpaku pada tempat tidur ukuran Queen dengan bantal dan selimut berantakan.
Dia tidak perlu bertanya untuk tahu ini kamar Jana. Lain dengan seluruh bagian rumah yang
bernuansa pastel dan cokelat, kamar ini bernuansa putih dan biru dongker. Ukurannya tidak
teralu besar, tapi cara Jana mendekorasi kamar ini, membuatnya kelihatan nyaman, tapi
juga seksi. Suatu percampuran yang sangat sulit ditemukan.
Sebelum bisa berpikir lagi, dia sudah mengambil satu langkah memasuki kamar itu dan pada
saat itulah Jana muncul di hadapannya. “Kamu nggak bisa masuk sini,” ucap Jana sambil
berusaha ngblok jalan masuknya dengan tubuhnya.
Tangan kanan Jana naik dengan telapak tangan menghadapnya, memintanya berhenti,
sedangakan tangan kirinya berusaha meraih gagang pintu. Tahu Jana akan menutup pintu
dan dengan begitu menghalanginya memasuki kamarnya, Ben menahan daun pintu dengan
tangannya.
“Kamu nggak bisa masuk sini, Ben” ucap Jana lagi, kini dengan nada memperingatkan.
“Emangnya kenapa?”
“Karena ini kamarku,” geram Jana sambil berusaha menarik daun pintu.
“Aku tahu itu. Makannya aku mau lihat.” Dengan mudah Ben menahan daun pintu hanya
dengan tangannya.
Jana sudah gila kalau dia pikir akan bisa beradu otot dengannya. Dia bisa menahan daun
pintu dengan tangan kiri dan mengangkat tubuhnya dengan tangan kanannya. Hmm… kalau
dipikir-pikir, it’s not a bad idea. Jana terpekik ketika Ben mengangkat tubuhnya lalu
memutarnya, dengan begitu posisi Jana kini di ambang pintu, sedangkan Ben di dalam
kamar Jana. Well, that was easy. Dia ingin tertawa kencang untuk merayakan
kemenangannya, tapi menahan diri, takut membangunkan anak-anak.
“BEEENNN, KAMU NGGAK BISA ADA DI SINI!” teriak Jana panic.
“Ssssttt, jangan berisik, nanti anak-anak bangun,” ucap Ben dan menarik Jana ke dalam
kamar lalu menutup pintu.
Ketika Ben berbalik menghadap Jana, dia menemukannya sedang ngacir nggak karuan ke
seluruh ruangan, mencoba melakukan beberapa hal pada saat bersamaan. Menarik
bedcover tempat tidur untuk menutupi tempat tidur yang berantakan; mengambil beberapa
helai pakaian yang tersampir di sandaran kursi, bergeletakan di karpet dan nakas di sebelah
tempat tidur, lalu melemparkan semua pakaian itu ke keranjang baju kotor di sudut
ruangan. Dia kemudian mulai membereskan meja riasnya yang penuh botol-botol berisi
entah apa, kemungkinan segala tetek-bengek keperluan wanita.
“Awww, kamu ngeberesin kamar kamu untuk aku? Thank’s honey,” ucap Ben.
“Shut up, Ben,” geram Jana sambil memberikan tatapan membunuh padanya.
Berhasil membuat Jana mengalihkan perhatiannya dari mengusirnya ke aktivitas bersihbersih,
Ben hanya bisa nyengir. Jana menggeram kesal sebelum kembali focus
membereskan meja riasnya. Ben mengambil kesempatan ini untuk betul-betul mensurvei
kamar tidur itu. Jendela berkusen putih dengan tirai warna biru yang disingkapkan telah
membiarkan sinar matahari siang menerangi setiap sisi kamar. Pintu setengah terbuka di
sebelah kanan kamar menunjukkan kamar mandi. Dia bisa mencium aroma citrus, meskipun
samar, dari area itu. Dia memutar tubuhnya dan perhatiannya jatuh pada dinding dengan
lukisan berukuran besar. Itu lukisan paling mengerikan yang pernah dia lihat sepanjang
hidupnya.

“WHAT THE HELL IS THIS?” teriaknya.


Dirty Little Secret - Bab 17

No comments:

Post a Comment