Bab 8
Hit the lights
And I’ll be crawling to your window
tonight.
“Nama saya Erlangga Oetomo. Umur saya tujuh
tahun. Saya punya saudara kembar
namanya Raka…” Jana sedang memanuver
mobil menuju kantor sambil mendengarkan Erga
membacakan karangan Bahasa
Indonesia-nya.hari ini jadwalnya sedikit kosong, jadi dia bisa
menjemput anak-anak sendiri. Biasanya
dia akan nge-drop anak-anak di rumah Mami dan
menjemput mereka setelah pulang kerja,
tapi hari ini dia akan membawa mereka ke kantor.
Sudah seminggu ini hidupnya kembali
tenang tanpa ada gangguan dari Ben. Dan sudah
ngeblok nomor Ben dari ponselnya, dia
membutuhkan beberapa hari untuk tidak loncat
setiap kali ponselnya berdering.
Membutuhkan waktu selama itu juga baginya untuk tidak
deg-degan setiap kali akan membuka
e-mail.
Satu hal yang dia ketahui tentang Ben
adalah bahwa laki-laki itu pantang menyerah. Kalau
dia sudah menginginkan sesuatu, dia
tidak akan berhenti sampai mendapatkannya. Itu
berarti, semakin dia menghindar, Ben
akan semakin gencar mengejarnya. Oleh sebab itu
selama seminggu ini dia berusaha
mengurangi waktunya berada di tempat umum, dengan
begitu mengurangi kemungkinan baginya
bertemu dengan Ben secara tidak sengaja.
“Gimana, Bunda? Bagus nggak?” Erga
bertanya dan dengan sedikit gelagapan Jana mencoba
mengingat-ingat isi karangan tadi.
“Bagus kok,” jawab Jana dengan nada
sedikit bersalah karena sebetulnya dia tidak pasti
apakah karangan itu memang bagus atau
tidak. “Karangan kamu gimana, Raka?” Jana
mengalihkan perhatiannya pada anaknya
yang satu lagi, yang kali ini kebagian duduk di
bangku belakang. Melalui kaca tengah dia
lihat Raka sedang sibuk menarik-narik seatbeltnya.
“Raka,” panggil Jana sekali lagi.
Ketika Raka tidak bereaksi juga, Jana
melihat Erga melemparkan kotak tisu dari bangku
depan padanya. “Aduhhh,” ucap Raka
sambil mengusap-usap hidungnya. “Sakit, tahu,”
omelnya dan siap melempar kotak tisu itu
kembali kepada Erga.
Jana harus mengangkat tangannya,
mengingatkan agar mereka tidak berkelahi di dalam
mobil karena dia sedang mengemudi.
“Erga, kamu nggak boleh ngelempar kotak tisu ke
Raka, oke?” Jana memberi peringatan.
“Tuh, dengerin Bunda,” ucap Raka dengan
penuh kemenangan karena dibela.
“Ya, Bunda,” ucap Erga sambil memutar
tubuhnya kembali menghadap ke depan dan
menundukkan kepalanya.
“Dan, Raka… kamu kalo diajak ngomong,
jawab, jadinya nggak dilempar kotak tisu lagi,
oke?”
Bukannya mengucapkan, “Ya, Bunda”,
seperti Erga, Raka hanya mengerutkan keningnya,
kesal karena sudah diperingatkan. “Raka,
kamu denger Bunda nggak?”
Membutuhkan beberapa detik bagi Raka
untuk membalas, tapi akhirnya dia berkata pelan,
“Denger, Bunda.”
Dari sudut matanya Jana melihat Erga
menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan
kembarannya, dan Jana ingin tertawa
terbahak-bahak. Erga mungkin baru berumur tujuh
tahun, tapi dia berjiwa 70 tahun.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di
kantor dan tanpa aba-aba Raka dan Erga langsung
tumpah dari mobil dan lari secepat
mungkin ke dalam gedung. Well, secepat kaki mereka
bisa membawa mereka sambil memanggul
ransel penuh buku, tas makanan, dan botol
minum. Kalau dipikir-pikir lagi, mereka
sudah seperti Frodo dan Sam dalam perjalanan ke
Mount Doom. Jana hanya bisa menatap
pasrah kepergian mereka yang selalu balapan
menekan tombol lift. Entah berapa kali
dia memperingatkan mereka agar tidak lari jauh-jauh
darinya kalau di tempat umum, tapi
semuanya sia-sia. Akhirnya dia harus berkompromi
dengan memperbolehkan mereka main
“balapan nekan tombol lift” selama berada di
bangunan kantornya saja.
Setidak-tidaknya semua satpam di gedung ini mengenalnya dan
akan menjaga anak-anaknya.
Ketika Jana melangkah masuk ke dalam
lobi, dia tidak melihat Raka dan Erga, tapi dia bisa
mendengar suara mereka dengan jelas.
“Aku duluan.”
“Aku yang duluan.”
“Aku!”
“Akuuu!!!”
Ketika Jana berbelok, dia melihat
anak-anaknya sedang adu mulut di depan lift dan Seto,
salah satu satpam gedung, sedang mewasiti
pertengkaran itu.
“Siapa duluan yang sampe, Set?” Tanya
Jana.
“Barengan, Bu. Mas Raka nekan yang
kanan, Mas Erga yang kiri,” Seto melaporkan sambil
tersenyum.
Jana membalas senyuman itu dan
mengangguk terima kasih sebelum berkata, “Tuh, kalian
denger kata pak Seto nggak? Kalian
sampenya bareng, dah, untuk hari ini kalian sama-sama
menang. Oke?”
Pada saat itu pintu lift terbuka dan
Jana harus mendorong anak-anaknya pada saat
bersamaan ke dalam lift sebelum mereka
bertengkar lagi tentang siapa yang menginjak
lantai lift duluan.
Mereka memasuki kantor beberapa menit
kemudian. Caca yang selalu senang melihat
mereka menyapa dengan antusias.
“Halo, Erga. Halo, Raka.”
“Halo, tante Caca,” balas Erga sambil
tersenyum malu-malu.
Jana tahu Erga naksir berat sama Caca
semenjak anaknya yang ekstra pemalu ini berani
memberikan bunga kertas yang dia buat di
kelas kepada Caca, yang menerimanya dengan
sukacita.
“Kok tante nyapa Erga dulu sih, baru
aku?” ucap Raka dengan sedikit cemberut.
Lain dengan Erga yang Jana yakin ingin
menjadi romeonya Caca kalau dia bisa, Raka hanya
melihat Caca sebagai satu lagi orang
dewasa yang bisa memberikan perhatian padanya.
Tanpa kelihatan kaget sama sekali atas
teguran Raka, Caca berkata, “Oh iya, tante lupa.
Ulang lagi deh ya kalo gitu nyapanya.”
Caca berlutut di hadapan Raka dan
berkata, “Laki-laki favorit Tante, apa kabar?”
Kata-kata ini sepertinya membuat erga
jealous banget karena dia langsung mengerutkan
dahi. Tapi Raka, yang terkadang nggak
sensitive atas perasaan kembarannya, hanya
menjawab, “Baik” sambil tersenyum senang
karena mendapat perhatian lebih.
“Tantenya dipeluk dulu dong,” pinta
Caca.
Dan Raka dengan senangnya langsung
memeluk dan mencium pipi Caca. Setelah membalas
ciuman dan melepaskan pelukannya pada
Raka, Caca menoleh ke Erga yang sudah berlalu
memasuki ruang kerja Jana dengan wajah
supercemberut.
Raka yang tidak pernah tahan tidak
berada satu ruangan dengan kembarannya, langsung
mengikuti Erga sambil berkata, “Erga…
Erga… tunggu…”
Jana hanya terkekeh melihat kelakuan anak-anaknya.
“kayaknya Erga marah sama saya,”
ucap Caca sambil buru-buru bangun.
“Tentu aja dia marah, pacarnya udah
nyium dan meluk Raka,” jawab Jana sambil membantu
Caca bangun dari posisi berlututnya.
“Ooops.” Caca meringis. “Kalo gitu nanti
sebelum pulang saya sebaiknya nyium dan meluk
Erga biar impas.”
“Yeah, that would make his day,” ucap
Jana sambil tersenyum. “Omong-omong, apa ada
yang nyariin saya selama saya pergi?”
“Ada, Bu. Ada bapak-bapak yang udah
nelepon dua kali sejam belakangan ini.”
“Siapa namanya?”
“Beliau nggak ninggalin nama, Bu.”
“Apa dia ninggalin pesan?”
“Nggak juga, Bu. Tapi katanya beliau
akan telepon lagi nanti.”
Jana hanya mengangguk dan berlalu
memasuki ruangannya. Dia baru saja mau menutup
pintu ketika melihat Papi keluar dari
ruangannya yang terletak berseberangan dengannya.
“Erga dan Raka udah datang?” tanyanya.
Mendengar suara Mbahnya, Erga dan Raka
langsung berhamburan keluar dari ruangannya
untuk menyambut Papi dan menghilang ke
dalam ruangan beliau. Mereka memang lebih
menyukai ruangan Papi yang selalu penuh
dengan maket, daripada ruangan Jana yang
menurut mereka ngebosenin banget. Dia
baru saja mendudukkan tubuhnya pada kursi kerja
ketika intercom berbunyi.
“Bu, bapak-bapak yang tadi nelepon
sekarang sedang on hold di line satu. Katanya namanya
Ben Barata. Apa ibu mau terima
teleponnya?”
Dan Jana merasa lututnya langsung lemas.
Dari mana Ben tahu dia bekerja di sini? Oh my
God, dia harus pindah kerja.
“Bu?”
Jana menarik napas dalam. Dia seharusnya
tahu bahwa Ben akan menemukan cara lain
untuk menghubunginya, tapi dia tidak
menyangka Ben akan sekreatif ini. Apa coba yang
harus dia lakukan untuk membuat Ben
sadar bahwa dia serius waktu bilang tidak mau
dikontak lagi? Kalau pengusiran halus
tidak bekerja, dia tidak punya pilihan selain
mengusirnya blakblakan. Satu-satunya
penyesalan adalah karena dia harus melibatkan Caca.
“Oh ya, sori. Um… jangan pernah transfer
teleponnya ke saya. Ever. Untuk kali ini, saya
minta kamu menyampaikan pesan ini untuk
beliau…”
Sekali lagi Ben menekan redial pada
nomor telepon kantor Jana. Minggu lalu dia meminta
eva mencari tahu, melalui Martin yang
punya kenalan di dalam organisasi yang mengadakan
acara penggalangan dana, tentang Jana.
Melalui informan inilah Ben tahu bahwa Jana
bekerja sebagai arsitek di sebuah
perusahaan developer besar dengan nama Oetomo Jaya,
yang berkantor di Jakarta Pusat. Dengan
bersenjatakan informasi ini, Ben menelepon
informasi untuk mendapatkan nomor
telepon mereka.
Membutuhkannya sepuluh menit sebelum
akhirnya di transfer ke seseorang bernama Caca,
yang katanya adalah asisten Jana. Ben
tidak tahu cara mencerna semua informasi, yang
menurutnya agak sedikit mengagetkan ini.
Ketika dia mendengar nama tempat Jana bekerja,
dia curiga perusahaan itu ada hubungan
keluarga dengan Jana. Namun kenyataan bahwa
Jana, pada umurnya yang baru 27 tahun,
sudah punya asisten di perusahaan ini,
mengonfirmasikan kecurigaannya. Selama
ini dia tahu Jana berasal dari keluarga berada,
namun tidak pernah menyangka keluarga
Jana ternyata keluarga kaya-raya.
Caca mengatakan bahwa Jana sedang keluar
kantor dan menanyakan apakah dia mau
meninggalkan pesan. Ben bertanya pukul
berapa Jana kembali supaya dia bisa menelepon
balik. Caca menginformasikan bahwa Jana
akan kembali satu jam lagi. Ketika dia menelepon
tepat sejam kemudian, Caca berkata bahwa
Jana masih belum kembali, kemungkinan besar
terjebak macet di jalan. Kini dia
menelepon untuk yang ketiga kalinya. “Apa Ibu Jana
Oetomo sudah kembali ke kantor?”
“Sudah, Pak.”
“Bisa saya bicara dengannya?”
“Bisa, Pak. Nama bapak?”
“Ben Barata.”
“Oke, tunggu sebentar.”
Ben menunggu selama tiga menit ditemani
oleh alunan music klasik sebelum Caca kembali
padanya. “Um, maaf, Pak Ben, tapi saya
diminta oleh Ibu Jana untuk mengatakan,” Caca
berdehem dan Ben bersumpah dia mendengar
Caca berdoa supaya bisa mendapatkan
pekerjaan lain kalau sampai dipecat
gara-gara ini, “Ibu Jana bilang… fuck off, dan jangan
pernah menghubungi nomor ini lagi.”
Dan Ben tidak bisa menahan diri lagi,
dia sudah tertawa terbahak-bahak. Rupanya Jana
serius dengan kemarahannya. Karena
seingatnya, Jana hanya akan menyumpah kalau sudah
mengamuk.
“Mbak Caca,” ucap Ben.
“Ya, Pak.” Caca terdengar ketakutan dan
Ben betul-betul mengasihaninya karena secara
tidak sengaja membuat Caca terjebak di
antara perangnya dengan Jana.
“Bilang ke bos kamu bahwa saya akan
ketemu sama dia lagi, terserah dia mau atau nggak.
Dan waktu kami ketemu, saya akan ikat
dia ke tiang dan saya tampar bokongnya sampe dia
minta ampun.”
Dan Ben menutup telepon sebelum
melanjutkan tawanya. Jana selalu mengingatkannya
pada harimau kumbang. Memiliki
penampilan cantik dan gerakan lemah-gemulai bak penari
balet, tapi tidak akan ragu-ragu untuk
mengeluarkan cakarnya kalau merasa terpojok.
God, he loves that woman.
“Saya akan ketemu sama dia lagi,
terserah dia mau atau nggak. Dan waktu kami ketemu,
saya akan ikat dia ke tiang dan saya
tampar bokongnya sampe dia minta ampun.”
Kata-kata Ben membuat tubuh Jana
kebakaran semenjak mendengarnya dari mulut Caca.
Asistennya itu masuk ke ruangannya dengan
muka merah padam dan menyampaikan katakata
Ben dengan sedikit terbata-bata. Caca
yang merupakan jenis perempuan baik-baik, dan
kemungkinan masih perawan, jelas-jelas
malu nggak ketolongan mengucapkan kata-kata itu.
Dan Jana buru-buru meminta maaf kepadanya
atas kata-kata Ben. Setelah memastikan dia
tidak akan memecatnya, Caca
meninggalkannya sendiri untuk merenungi kata-kata Ben.
Sesuatu yang seharusnya tidak dia
lakukan, karena sekarang dia memikirkan hal-hal lain
yang Ben bisa lakukan padanya. Contohnya,
mungkin setelah menampar bokongnya, Ben
bisa menyerangnya dengan ganas? Sesuatu
yang cukup sering dilakukannya waktu mereka
masih bersama. Laki-laki itu selalu tahu
cara untuk membuat tubuhnya meleleh dengan
sentuhan tangan, bibir, lidah, gigi,
bahkan embusan napasnya. Tapi lebih dari itu semua,
dengan kata-katanya. Mulut laki-laki itu
seharusnya datang dengan sebuah tanda
peringatan: “Jangan diajak bicara kalau
tidak mau kehilangan celana dalam Anda”.
Oh, dear God, dia betul-betul harus
mencari suami untuk menyalurkan semua pikiran kotor
ini. Dengan kesal Jana menutupi wajahnya
dengan bantal dan menggeram frustasi. Dia
sudah terbaring di atas tempat tidur
semenjak pukul 23.00, dan sekarang pada pukul 02.00
dia masih seratus persen sadar. Setiap
kali dia memejamkan matanya, memori tentang
kebersamaannya dengan Ben menyerangnya,
bahkan ketika saat pertama kalinya…
Jana duduk bersila di atas tempat tidur
Ben dan menguburkan wajahnya pada kedua belah
tangannya.
Oh, my God, what have I done? Dia baru
saja tidur dengan laki-laki yang bukan suaminya.
Ben memang pacarnya dan dia tahu Ben
mencintainya, dan dia mencintai Ben, tapi itu tidak
membenarkan apa yang sudah mereka
lakukan. Dia sudah dibesarkan dengan norma-norma
agama yang kuat untuk menghindari hal
seperti ini. Tidak peduli mereka sudah
melakukannya dengan aman, yang
terpenting adalah bahwa mereka sudah melakukannya.
Apa yang akan dia lakukan sekarang? Apa
yang akan Ben lakukan sekarang? Bayangan
bahwa Ben akan harus menikahinya setelah
ini membuatnya panas-dingin. Dia baru saja
masuk kuliah dan belum siap melepaskan
status lajangnya. Dan bagaimana kalau setelah ini
Ben justru memutuskan hubungan mereka?
Karena toh sebagai cowok, dan dia sudah hal
yang mereka inginkan dari seorang cewek,
dan dia sudah dengan rela memberikannya. Dan
bukan rahasia lagi bahwa Ben dikenal
sebagai cowok tipe one night stand sebelum ketemu
dengannya. Apa yang membuatnya berpikir
bahwa dia akan berbeda di mata Ben? Oh my
God, oh my God, oh my God. Dia tidak
boleh membiarkan nasib yang sama menimpanya.
Dia harus meninggalkan Ben sebelum Ben
meninggalkannya.
Dia mendengar pintu kamar mandi terbuka
dan mendongak. Ben keluar dari kamar mandi
hanya mengenakan handuk. Rambutnya yang
agak panjang masih basah. Dan untuk
beberapa detik Jana tidak bisa
berkata-kata. Tidak peduli berapa kali dia melihat Ben tanpa
kaus, tapi setiap kali dia akan menganga
juga. Ben yang memang hobi berenang, memiliki
dada dan bahu yang kokoh dan pinggang
ramping. Lain dengan banyak cowok seumurannya
yang senang banget nato tubuh mereka
sampai sudah mirip Yakuza, tubuh Ben bersih tanpa
bercak apa pun.
“Morning, Sunshine,” sapa Ben sambil
tersenyum.
Sedetik kemudian senyum itu hilang
ketika melihat ekspresi wajah Jana. “Hey, you okay?”
tanyanya khawatir dan buru-buru
menghampirinya.
Entah kenapa, tapi ini membuat Jana
panik. Buru-buru dia mengangkat tangannya untuk
menghentikan Ben dan berkata cepat, “I
don’t think we should see each other anymore.”
“Whaaattt?” langkah Ben terhenti dan dia
kelihatan bingung. Jana mengambil kesempatan
ini untuk turun dari tempat tidur dan
menuju pakaiannya.
“Aku nggak mau ketemu kamu lagi, Ben.”
Jana membelakanginya dan segera mengenakan
pakaian dalam yang dia sampirkan pada
sandaran kursi tadi malam. Sambil mengenakan
jinsnya, dia menambahkan, “Dan aku yakin
kamu nggak ada rencana untuk ketemu aku lagi
setelah ini.”
Dia baru saja mengancingkan jinsnya
ketika lengan Ben yang dingin sudah memeluknya dari
belakang, otomatis membuat kedua
lengannya tidak bisa bergerak. Dia mencoba
melepaskan diri, tapi Ben justru
mengeratkan pelukannya.
“Just stop. Stop this, right now. Aku
nggak tahu apa yang bikin kamu mikir begitu tentang
aku. Setelah semua yang aku udah lakuin
untuk nunjukin kalo aku cinta setengah mati sama
kamu.”
“Apa kamu pikir aku segoblok itu, Ben?
Kamu nggak bener-bener cinta sama aku. Kamu
Cuma ngomong gitu untuk bikin aku tidur
sama kamu. Sekarang setelah kamu udah dapet
apa yang kamu mau, Cuma tinggal nunggu
waktu sampe kamu ninggalin aku,” teriak Jana,
sekali lagi mencoba berontak.
Jana mendengar Ben menggeram dan detik
selanjutnya dia sudah tidak berada di dalam
pelukan Ben lagi. Perlahan-lahan dia
memutar tubuhnya, dan menemukan Ben sedang
menatapnya dengan sorot mata penuh
kemarahan. Tanpa berkata-kata, Ben memutar
tubuhnya dan melangkah kembali ke dalam
kamar mandi. Sedetik kemudian dia muncul
kembali. Melihat ekspresi wajah Ben yang
gelap membuatnya mundur beberapa langkah.
Tapi Ben kelihatan terlalu marah untuk
peduli. Dia tidak berhenti hingga dia berdiri di
hadapannya.
“Ke siniin tangan kanan kamu,” geramnya.
Otomatis Jana langsung menyembunyikan
tangan kanannya. Melihat reaksinya membuat
Ben menyumpah dan dengan paksa dia
menarik tangan kanannya.
“Eh, eh… Ben, kamu mau ngapain.
Beeennnn…”
Jana merasakan sesuatu yang dingin
mengelilingi jempol kanannya. “Lain kali kalo kamu
pernah ragu tentang perasaan aku ke
kamu, aku mau kamu lihat cincin ini,” ucap Ben sambil
menunjukan cincin yang sekarang
melingkari jempolnya.
Cincin itu adalah cincin trademark Ben
yang selalu dia kenakan pada kelingking kirinya.
Barang paling berharga yang dimilikinya
karena merupakan hadiah ulang tahun ke-18 dari
papanya. Dia pernah bilang bahwa
melepaskan cincin itu sudah seperti melepaskan
sebagian dirinya. Cincin yang sama yang
sekarang berada di dalam sebuah kotak di laci
pakaian Jana paling bawah.
Dirty Little Secret - Bab 9
No comments:
Post a Comment