Sunday, September 6, 2015

Dirty Little Secret - Bab 8

Bab 8

Hit the lights
And I’ll be crawling to your window tonight.
“Nama saya Erlangga Oetomo. Umur saya tujuh tahun. Saya punya saudara kembar
namanya Raka…” Jana sedang memanuver mobil menuju kantor sambil mendengarkan Erga
membacakan karangan Bahasa Indonesia-nya.hari ini jadwalnya sedikit kosong, jadi dia bisa
menjemput anak-anak sendiri. Biasanya dia akan nge-drop anak-anak di rumah Mami dan
menjemput mereka setelah pulang kerja, tapi hari ini dia akan membawa mereka ke kantor.
Sudah seminggu ini hidupnya kembali tenang tanpa ada gangguan dari Ben. Dan sudah
ngeblok nomor Ben dari ponselnya, dia membutuhkan beberapa hari untuk tidak loncat
setiap kali ponselnya berdering. Membutuhkan waktu selama itu juga baginya untuk tidak
deg-degan setiap kali akan membuka e-mail.
Satu hal yang dia ketahui tentang Ben adalah bahwa laki-laki itu pantang menyerah. Kalau
dia sudah menginginkan sesuatu, dia tidak akan berhenti sampai mendapatkannya. Itu
berarti, semakin dia menghindar, Ben akan semakin gencar mengejarnya. Oleh sebab itu
selama seminggu ini dia berusaha mengurangi waktunya berada di tempat umum, dengan
begitu mengurangi kemungkinan baginya bertemu dengan Ben secara tidak sengaja.
“Gimana, Bunda? Bagus nggak?” Erga bertanya dan dengan sedikit gelagapan Jana mencoba
mengingat-ingat isi karangan tadi.
“Bagus kok,” jawab Jana dengan nada sedikit bersalah karena sebetulnya dia tidak pasti
apakah karangan itu memang bagus atau tidak. “Karangan kamu gimana, Raka?” Jana
mengalihkan perhatiannya pada anaknya yang satu lagi, yang kali ini kebagian duduk di
bangku belakang. Melalui kaca tengah dia lihat Raka sedang sibuk menarik-narik seatbeltnya.
“Raka,” panggil Jana sekali lagi.
Ketika Raka tidak bereaksi juga, Jana melihat Erga melemparkan kotak tisu dari bangku
depan padanya. “Aduhhh,” ucap Raka sambil mengusap-usap hidungnya. “Sakit, tahu,”
omelnya dan siap melempar kotak tisu itu kembali kepada Erga.
Jana harus mengangkat tangannya, mengingatkan agar mereka tidak berkelahi di dalam
mobil karena dia sedang mengemudi. “Erga, kamu nggak boleh ngelempar kotak tisu ke
Raka, oke?” Jana memberi peringatan.
“Tuh, dengerin Bunda,” ucap Raka dengan penuh kemenangan karena dibela.
“Ya, Bunda,” ucap Erga sambil memutar tubuhnya kembali menghadap ke depan dan
menundukkan kepalanya.
“Dan, Raka… kamu kalo diajak ngomong, jawab, jadinya nggak dilempar kotak tisu lagi,
oke?”
Bukannya mengucapkan, “Ya, Bunda”, seperti Erga, Raka hanya mengerutkan keningnya,
kesal karena sudah diperingatkan. “Raka, kamu denger Bunda nggak?”
Membutuhkan beberapa detik bagi Raka untuk membalas, tapi akhirnya dia berkata pelan,
“Denger, Bunda.”
Dari sudut matanya Jana melihat Erga menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan
kembarannya, dan Jana ingin tertawa terbahak-bahak. Erga mungkin baru berumur tujuh
tahun, tapi dia berjiwa 70 tahun.
Beberapa menit kemudian mereka tiba di kantor dan tanpa aba-aba Raka dan Erga langsung
tumpah dari mobil dan lari secepat mungkin ke dalam gedung. Well, secepat kaki mereka
bisa membawa mereka sambil memanggul ransel penuh buku, tas makanan, dan botol
minum. Kalau dipikir-pikir lagi, mereka sudah seperti Frodo dan Sam dalam perjalanan ke
Mount Doom. Jana hanya bisa menatap pasrah kepergian mereka yang selalu balapan
menekan tombol lift. Entah berapa kali dia memperingatkan mereka agar tidak lari jauh-jauh
darinya kalau di tempat umum, tapi semuanya sia-sia. Akhirnya dia harus berkompromi
dengan memperbolehkan mereka main “balapan nekan tombol lift” selama berada di
bangunan kantornya saja. Setidak-tidaknya semua satpam di gedung ini mengenalnya dan
akan menjaga anak-anaknya.
Ketika Jana melangkah masuk ke dalam lobi, dia tidak melihat Raka dan Erga, tapi dia bisa
mendengar suara mereka dengan jelas.
“Aku duluan.”
“Aku yang duluan.”
“Aku!”
“Akuuu!!!”
Ketika Jana berbelok, dia melihat anak-anaknya sedang adu mulut di depan lift dan Seto,
salah satu satpam gedung, sedang mewasiti pertengkaran itu.
“Siapa duluan yang sampe, Set?” Tanya Jana.
“Barengan, Bu. Mas Raka nekan yang kanan, Mas Erga yang kiri,” Seto melaporkan sambil
tersenyum.
Jana membalas senyuman itu dan mengangguk terima kasih sebelum berkata, “Tuh, kalian
denger kata pak Seto nggak? Kalian sampenya bareng, dah, untuk hari ini kalian sama-sama
menang. Oke?”
Pada saat itu pintu lift terbuka dan Jana harus mendorong anak-anaknya pada saat
bersamaan ke dalam lift sebelum mereka bertengkar lagi tentang siapa yang menginjak
lantai lift duluan.
Mereka memasuki kantor beberapa menit kemudian. Caca yang selalu senang melihat
mereka menyapa dengan antusias.
“Halo, Erga. Halo, Raka.”
“Halo, tante Caca,” balas Erga sambil tersenyum malu-malu.
Jana tahu Erga naksir berat sama Caca semenjak anaknya yang ekstra pemalu ini berani
memberikan bunga kertas yang dia buat di kelas kepada Caca, yang menerimanya dengan
sukacita.
“Kok tante nyapa Erga dulu sih, baru aku?” ucap Raka dengan sedikit cemberut.
Lain dengan Erga yang Jana yakin ingin menjadi romeonya Caca kalau dia bisa, Raka hanya
melihat Caca sebagai satu lagi orang dewasa yang bisa memberikan perhatian padanya.
Tanpa kelihatan kaget sama sekali atas teguran Raka, Caca berkata, “Oh iya, tante lupa.
Ulang lagi deh ya kalo gitu nyapanya.”
Caca berlutut di hadapan Raka dan berkata, “Laki-laki favorit Tante, apa kabar?”
Kata-kata ini sepertinya membuat erga jealous banget karena dia langsung mengerutkan
dahi. Tapi Raka, yang terkadang nggak sensitive atas perasaan kembarannya, hanya
menjawab, “Baik” sambil tersenyum senang karena mendapat perhatian lebih.
“Tantenya dipeluk dulu dong,” pinta Caca.
Dan Raka dengan senangnya langsung memeluk dan mencium pipi Caca. Setelah membalas
ciuman dan melepaskan pelukannya pada Raka, Caca menoleh ke Erga yang sudah berlalu
memasuki ruang kerja Jana dengan wajah supercemberut.
Raka yang tidak pernah tahan tidak berada satu ruangan dengan kembarannya, langsung
mengikuti Erga sambil berkata, “Erga… Erga… tunggu…”
Jana hanya terkekeh melihat kelakuan anak-anaknya. “kayaknya Erga marah sama saya,”
ucap Caca sambil buru-buru bangun.
“Tentu aja dia marah, pacarnya udah nyium dan meluk Raka,” jawab Jana sambil membantu
Caca bangun dari posisi berlututnya.
“Ooops.” Caca meringis. “Kalo gitu nanti sebelum pulang saya sebaiknya nyium dan meluk
Erga biar impas.”
“Yeah, that would make his day,” ucap Jana sambil tersenyum. “Omong-omong, apa ada
yang nyariin saya selama saya pergi?”
“Ada, Bu. Ada bapak-bapak yang udah nelepon dua kali sejam belakangan ini.”
“Siapa namanya?”
“Beliau nggak ninggalin nama, Bu.”
“Apa dia ninggalin pesan?”
“Nggak juga, Bu. Tapi katanya beliau akan telepon lagi nanti.”
Jana hanya mengangguk dan berlalu memasuki ruangannya. Dia baru saja mau menutup
pintu ketika melihat Papi keluar dari ruangannya yang terletak berseberangan dengannya.
“Erga dan Raka udah datang?” tanyanya.
Mendengar suara Mbahnya, Erga dan Raka langsung berhamburan keluar dari ruangannya
untuk menyambut Papi dan menghilang ke dalam ruangan beliau. Mereka memang lebih
menyukai ruangan Papi yang selalu penuh dengan maket, daripada ruangan Jana yang
menurut mereka ngebosenin banget. Dia baru saja mendudukkan tubuhnya pada kursi kerja
ketika intercom berbunyi.
“Bu, bapak-bapak yang tadi nelepon sekarang sedang on hold di line satu. Katanya namanya
Ben Barata. Apa ibu mau terima teleponnya?”
Dan Jana merasa lututnya langsung lemas. Dari mana Ben tahu dia bekerja di sini? Oh my
God, dia harus pindah kerja.
“Bu?”
Jana menarik napas dalam. Dia seharusnya tahu bahwa Ben akan menemukan cara lain
untuk menghubunginya, tapi dia tidak menyangka Ben akan sekreatif ini. Apa coba yang
harus dia lakukan untuk membuat Ben sadar bahwa dia serius waktu bilang tidak mau
dikontak lagi? Kalau pengusiran halus tidak bekerja, dia tidak punya pilihan selain
mengusirnya blakblakan. Satu-satunya penyesalan adalah karena dia harus melibatkan Caca.
“Oh ya, sori. Um… jangan pernah transfer teleponnya ke saya. Ever. Untuk kali ini, saya
minta kamu menyampaikan pesan ini untuk beliau…”
Sekali lagi Ben menekan redial pada nomor telepon kantor Jana. Minggu lalu dia meminta
eva mencari tahu, melalui Martin yang punya kenalan di dalam organisasi yang mengadakan
acara penggalangan dana, tentang Jana. Melalui informan inilah Ben tahu bahwa Jana
bekerja sebagai arsitek di sebuah perusahaan developer besar dengan nama Oetomo Jaya,
yang berkantor di Jakarta Pusat. Dengan bersenjatakan informasi ini, Ben menelepon
informasi untuk mendapatkan nomor telepon mereka.
Membutuhkannya sepuluh menit sebelum akhirnya di transfer ke seseorang bernama Caca,
yang katanya adalah asisten Jana. Ben tidak tahu cara mencerna semua informasi, yang
menurutnya agak sedikit mengagetkan ini. Ketika dia mendengar nama tempat Jana bekerja,
dia curiga perusahaan itu ada hubungan keluarga dengan Jana. Namun kenyataan bahwa
Jana, pada umurnya yang baru 27 tahun, sudah punya asisten di perusahaan ini,
mengonfirmasikan kecurigaannya. Selama ini dia tahu Jana berasal dari keluarga berada,
namun tidak pernah menyangka keluarga Jana ternyata keluarga kaya-raya.
Caca mengatakan bahwa Jana sedang keluar kantor dan menanyakan apakah dia mau
meninggalkan pesan. Ben bertanya pukul berapa Jana kembali supaya dia bisa menelepon
balik. Caca menginformasikan bahwa Jana akan kembali satu jam lagi. Ketika dia menelepon
tepat sejam kemudian, Caca berkata bahwa Jana masih belum kembali, kemungkinan besar
terjebak macet di jalan. Kini dia menelepon untuk yang ketiga kalinya. “Apa Ibu Jana
Oetomo sudah kembali ke kantor?”
“Sudah, Pak.”
“Bisa saya bicara dengannya?”
“Bisa, Pak. Nama bapak?”
“Ben Barata.”
“Oke, tunggu sebentar.”
Ben menunggu selama tiga menit ditemani oleh alunan music klasik sebelum Caca kembali
padanya. “Um, maaf, Pak Ben, tapi saya diminta oleh Ibu Jana untuk mengatakan,” Caca
berdehem dan Ben bersumpah dia mendengar Caca berdoa supaya bisa mendapatkan
pekerjaan lain kalau sampai dipecat gara-gara ini, “Ibu Jana bilang… fuck off, dan jangan
pernah menghubungi nomor ini lagi.”
Dan Ben tidak bisa menahan diri lagi, dia sudah tertawa terbahak-bahak. Rupanya Jana
serius dengan kemarahannya. Karena seingatnya, Jana hanya akan menyumpah kalau sudah
mengamuk.
“Mbak Caca,” ucap Ben.
“Ya, Pak.” Caca terdengar ketakutan dan Ben betul-betul mengasihaninya karena secara
tidak sengaja membuat Caca terjebak di antara perangnya dengan Jana.
“Bilang ke bos kamu bahwa saya akan ketemu sama dia lagi, terserah dia mau atau nggak.
Dan waktu kami ketemu, saya akan ikat dia ke tiang dan saya tampar bokongnya sampe dia
minta ampun.”
Dan Ben menutup telepon sebelum melanjutkan tawanya. Jana selalu mengingatkannya
pada harimau kumbang. Memiliki penampilan cantik dan gerakan lemah-gemulai bak penari
balet, tapi tidak akan ragu-ragu untuk mengeluarkan cakarnya kalau merasa terpojok.
God, he loves that woman.
“Saya akan ketemu sama dia lagi, terserah dia mau atau nggak. Dan waktu kami ketemu,
saya akan ikat dia ke tiang dan saya tampar bokongnya sampe dia minta ampun.”
Kata-kata Ben membuat tubuh Jana kebakaran semenjak mendengarnya dari mulut Caca.
Asistennya itu masuk ke ruangannya dengan muka merah padam dan menyampaikan katakata
Ben dengan sedikit terbata-bata. Caca yang merupakan jenis perempuan baik-baik, dan
kemungkinan masih perawan, jelas-jelas malu nggak ketolongan mengucapkan kata-kata itu.
Dan Jana buru-buru meminta maaf kepadanya atas kata-kata Ben. Setelah memastikan dia
tidak akan memecatnya, Caca meninggalkannya sendiri untuk merenungi kata-kata Ben.
Sesuatu yang seharusnya tidak dia lakukan, karena sekarang dia memikirkan hal-hal lain
yang Ben bisa lakukan padanya. Contohnya, mungkin setelah menampar bokongnya, Ben
bisa menyerangnya dengan ganas? Sesuatu yang cukup sering dilakukannya waktu mereka
masih bersama. Laki-laki itu selalu tahu cara untuk membuat tubuhnya meleleh dengan
sentuhan tangan, bibir, lidah, gigi, bahkan embusan napasnya. Tapi lebih dari itu semua,
dengan kata-katanya. Mulut laki-laki itu seharusnya datang dengan sebuah tanda
peringatan: “Jangan diajak bicara kalau tidak mau kehilangan celana dalam Anda”.
Oh, dear God, dia betul-betul harus mencari suami untuk menyalurkan semua pikiran kotor
ini. Dengan kesal Jana menutupi wajahnya dengan bantal dan menggeram frustasi. Dia
sudah terbaring di atas tempat tidur semenjak pukul 23.00, dan sekarang pada pukul 02.00
dia masih seratus persen sadar. Setiap kali dia memejamkan matanya, memori tentang
kebersamaannya dengan Ben menyerangnya, bahkan ketika saat pertama kalinya…
Jana duduk bersila di atas tempat tidur Ben dan menguburkan wajahnya pada kedua belah
tangannya.
Oh, my God, what have I done? Dia baru saja tidur dengan laki-laki yang bukan suaminya.
Ben memang pacarnya dan dia tahu Ben mencintainya, dan dia mencintai Ben, tapi itu tidak
membenarkan apa yang sudah mereka lakukan. Dia sudah dibesarkan dengan norma-norma
agama yang kuat untuk menghindari hal seperti ini. Tidak peduli mereka sudah
melakukannya dengan aman, yang terpenting adalah bahwa mereka sudah melakukannya.
Apa yang akan dia lakukan sekarang? Apa yang akan Ben lakukan sekarang? Bayangan
bahwa Ben akan harus menikahinya setelah ini membuatnya panas-dingin. Dia baru saja
masuk kuliah dan belum siap melepaskan status lajangnya. Dan bagaimana kalau setelah ini
Ben justru memutuskan hubungan mereka? Karena toh sebagai cowok, dan dia sudah hal
yang mereka inginkan dari seorang cewek, dan dia sudah dengan rela memberikannya. Dan
bukan rahasia lagi bahwa Ben dikenal sebagai cowok tipe one night stand sebelum ketemu
dengannya. Apa yang membuatnya berpikir bahwa dia akan berbeda di mata Ben? Oh my
God, oh my God, oh my God. Dia tidak boleh membiarkan nasib yang sama menimpanya.
Dia harus meninggalkan Ben sebelum Ben meninggalkannya.
Dia mendengar pintu kamar mandi terbuka dan mendongak. Ben keluar dari kamar mandi
hanya mengenakan handuk. Rambutnya yang agak panjang masih basah. Dan untuk
beberapa detik Jana tidak bisa berkata-kata. Tidak peduli berapa kali dia melihat Ben tanpa
kaus, tapi setiap kali dia akan menganga juga. Ben yang memang hobi berenang, memiliki
dada dan bahu yang kokoh dan pinggang ramping. Lain dengan banyak cowok seumurannya
yang senang banget nato tubuh mereka sampai sudah mirip Yakuza, tubuh Ben bersih tanpa
bercak apa pun.
“Morning, Sunshine,” sapa Ben sambil tersenyum.
Sedetik kemudian senyum itu hilang ketika melihat ekspresi wajah Jana. “Hey, you okay?”
tanyanya khawatir dan buru-buru menghampirinya.
Entah kenapa, tapi ini membuat Jana panik. Buru-buru dia mengangkat tangannya untuk
menghentikan Ben dan berkata cepat, “I don’t think we should see each other anymore.”
“Whaaattt?” langkah Ben terhenti dan dia kelihatan bingung. Jana mengambil kesempatan
ini untuk turun dari tempat tidur dan menuju pakaiannya.
“Aku nggak mau ketemu kamu lagi, Ben.” Jana membelakanginya dan segera mengenakan
pakaian dalam yang dia sampirkan pada sandaran kursi tadi malam. Sambil mengenakan
jinsnya, dia menambahkan, “Dan aku yakin kamu nggak ada rencana untuk ketemu aku lagi
setelah ini.”
Dia baru saja mengancingkan jinsnya ketika lengan Ben yang dingin sudah memeluknya dari
belakang, otomatis membuat kedua lengannya tidak bisa bergerak. Dia mencoba
melepaskan diri, tapi Ben justru mengeratkan pelukannya.
“Just stop. Stop this, right now. Aku nggak tahu apa yang bikin kamu mikir begitu tentang
aku. Setelah semua yang aku udah lakuin untuk nunjukin kalo aku cinta setengah mati sama
kamu.”
“Apa kamu pikir aku segoblok itu, Ben? Kamu nggak bener-bener cinta sama aku. Kamu
Cuma ngomong gitu untuk bikin aku tidur sama kamu. Sekarang setelah kamu udah dapet
apa yang kamu mau, Cuma tinggal nunggu waktu sampe kamu ninggalin aku,” teriak Jana,
sekali lagi mencoba berontak.
Jana mendengar Ben menggeram dan detik selanjutnya dia sudah tidak berada di dalam
pelukan Ben lagi. Perlahan-lahan dia memutar tubuhnya, dan menemukan Ben sedang
menatapnya dengan sorot mata penuh kemarahan. Tanpa berkata-kata, Ben memutar
tubuhnya dan melangkah kembali ke dalam kamar mandi. Sedetik kemudian dia muncul
kembali. Melihat ekspresi wajah Ben yang gelap membuatnya mundur beberapa langkah.
Tapi Ben kelihatan terlalu marah untuk peduli. Dia tidak berhenti hingga dia berdiri di
hadapannya.
“Ke siniin tangan kanan kamu,” geramnya.
Otomatis Jana langsung menyembunyikan tangan kanannya. Melihat reaksinya membuat
Ben menyumpah dan dengan paksa dia menarik tangan kanannya.
“Eh, eh… Ben, kamu mau ngapain. Beeennnn…”
Jana merasakan sesuatu yang dingin mengelilingi jempol kanannya. “Lain kali kalo kamu
pernah ragu tentang perasaan aku ke kamu, aku mau kamu lihat cincin ini,” ucap Ben sambil
menunjukan cincin yang sekarang melingkari jempolnya.
Cincin itu adalah cincin trademark Ben yang selalu dia kenakan pada kelingking kirinya.
Barang paling berharga yang dimilikinya karena merupakan hadiah ulang tahun ke-18 dari
papanya. Dia pernah bilang bahwa melepaskan cincin itu sudah seperti melepaskan
sebagian dirinya. Cincin yang sama yang sekarang berada di dalam sebuah kotak di laci

pakaian Jana paling bawah.


Dirty Little Secret - Bab 9

No comments:

Post a Comment