Sunday, September 6, 2015

Ditry Little Secret - Bab 18

Bab 18

I’ll be your saint and I’ll be your sinner
I’ll be an actor or an acrobat

“Oke, kalo kamu nggak mau buka pintunya, can you at least talk to me?” Tanya Ben
memohon
Jantungnya berdebar-debar, menunggu jawaban Jana. Kalo Jana masih menolak berbicara
dengannya, dia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan.
“O-oke. “ Ben mendengar Jana mengucapkan kata itu dengan sedikit terbata-bata di antara
tanginya, dan dia bisa bernapas lagi.
“Kamu tahu kan aku Cuma bohong waktu bilang aku punya pacar di Chicago? Karena
sumpah mati aku nggak punya, Jan.”
“Ke-kenapa kamu harus bohong, Ben?” Tanya Jana masih sesenggukan.
Because I’m a dumbass. Dia tidak tahu kenapa dia mengatakan punya dua pacar di Chicago,
padahal jelas-jelas tidak ada wanita lain di dalam pikirannya selain Jana. Dia bahkan tidak
tahu bagaimana percakapan mereka bisa berakhir ke situ. Satu detik dia sedang memikirkan
cara untuk berbicara dengan Jana tentang kemungkinan baginya mengajaknya nge-date.
Detik selanjutnya Jana sudah menanyakan apakah Ben sudah menikah. Dan ketika Jana
menanyakan apa dia punya pacar? He just lost it.
“I don’t know,” ucap Ben akhirnya. Selang beberapa detik dia menambahkan, “Aku Cuma
pissed, I guess, karena kamu Tanya-tanya soal itu, padahal kamu tahu persis perasaan…”
Kata-katanya terpotong karena tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan Jana sudah berdiri
di hadapannya. Wajahnya masih sedikit merah habis menangis, dan ada sisa air mata pada
bulu matanya. Ben ingin memeluknya sambil mengucapkan kata maaf berkali-kali, tapi
menahan diri.
“Aku minta maaf karena udah nanya-nanya tentang status kamu kayak begitu. Itu sama
sekali bukan urusan aku. Kamu bisa nge-date atau married dengan siapa aja yang kamu
mau. Kita emang punya hubungan karena keberadaan Erga dan Raka, tapi itu nggak berarti
aku punya hak apa-apa atas kamu.”
What the hell is she doing? Bahkan setelah menangis tersedu-sedu, wanita satu ini masih
menolak mengakui perasaannya terhadapnya. Oke, kalo Jana mau main genjat senjata, dia
bisa main genjat senjata.
“Jadi kenapa kamu nangis?” tanyanya
Dan Ben menahan senyum kemenangan yang mulai muncul di sudut bibirnya ketika Jana
hanya bisa menatapnya dengan mulut ternganga, tidak bisa berkata-kata. “Mahu tahu teori
aku tentang kenapa kamu nangis?”
Jana tidak bereaksi dan Ben melanjutkan. “Kamu nangis karena jealous waktu denger aku
punya pacar. Dan satu-satunya penjelasan kenapa kamu merasa seperti itu adalah karena
untuk pertama kalinya kamu sadar kalo kamu masih ada rasa sama aku.”
Ben melihat Jana sudah siap lari, membuat kata-kata yang ada di pikirannya meluncur keluar
tanpa bisa dikontrol lagi.
“I love you, Jan. always have. Always will. Do you seriously not know that? Gimana bisa
kamu pikir aku bisa ngelirik perempuan lain sementara kamu selalu ada di pikiran aku? Aku
mau nikahin kamu, Jan. dan itu bukan karena kita udah punya anak dan itu langkah
selanjutnya yang patut kita ambil. Aku mau nikahin kamu karena aku mau kamu, karena aku
bener-bener cinta sama kamu. Aku tahu kamu mungkin nggak siap mendengar kata-kata ini,
tapi kamu perlu tahu perasaan aku ke kamu.”
Ben menutup monolognya dan menunggu reaksi Jana yang hanya bisa menatapnya dengan
mata melebar. Shock berat. Ben tidak menyalahkannya karena dia pada dasarnya sudah
membuka hatinya lebar-lebar, dengan begitu member Jana akses penuh untuk mencabikcabiknya
sampai tidak berbentuk lagi kalau dia mau. Ben hanya berharap Jana tidak akan
sesadis itu. Dia melihat Jana mengambil satu langkah mendekatinya, kemudian satu langkah
lagi. Dia hanya bisa mengikuti gerakan Jana dengan matanya, tubuhnya tidak bisa bergerak
sama sekali. Jana berdiri ragu di hadapannya sebelum tanpa Ben sangka-sangka, menariknya
ke dalam pelukannya. Meskipun bingung akan tindakan Jana, Ben membalas pelukan itu
sepenuh hati. Setelah beberapa menit yang Ben tahu tidak cukup lama, Jana
melepaskannya.
“Thank you.” Ucap Jana sebelum meninggalkannya terbengong-bengong di dalam kamar
tidurnya.
Yang terlintas di kepalanya adalah “That’s it?” dia sudah menumpahkan isi hatinya seperti
itu dan Jana hanya mengatakan “Thank you?” this is bullshit!!! Dia memang tidak
mengharapkan Jana berteriak gembira dan membalas kata cintanya, tapi setidak-tidak nya
Jana bisa memberikan reaksi lebih positif daripada dua kata itu.
***
Tiga hari kemudian, Jana masih mencoba memproses apa yang terjadi. Thank you? THANK
YOU? Itu saja yang bisa dia ucapkan ketika Ben mengatakan mencintainya dan ingin
menikahinya? Gimana mungkin dia punya gelar S1 kalau sebodoh ini? Tidak bisakah dia
mengatakan, “Aku juga cinta mati sama kamu, Ben” atau “Ya, aku mau nikah sama kamu,
Ben.” Kenapa dia masih stuck di masa lalu, masih tidak bisa melupakan kesalahan Ben
bertahun-tahun lalu? Bukankah sudah tiba saatnya melupakan itu semua dan membuka
lembaran baru dengan Ben yang selama beberapa minggu ini sudah mencoba menembus
kesalahannya?
Kalau saja dia berani memberi Ben kesempatan, dia mungkin sudah dalam proses
merencanakan pernikahan dengan laki-laki yang dicintainya, tapi yang ada, dia kini duduk di
meja kantornya, memikirkan betapa berantakan love-life-nya. Tapi betapa pun dia ingin
member Ben kesempatan kedua, dia tahu dia tidak bisa membiarkan Ben masuk lagi ke
dalam hatinya. Karena apa jaminannya bahwa Ben tidak akan mengalami episode freak-outnya
dan meninggalkannya lagi? Dia tidak yakin bisa survive kalau itu terjadi. Ini bukan lagi
hanya masalah cinta dan perasaan, ini self-preservation.
Bunyi intercom membuyarkan pikirannya. “Bu Jana, ada Erga di telepon line dua.”
Mendengar ini Jana langsung waswas. Anak-anak tidak pernah meneleponnya di kantor.
Jana langsung mengangkat telepon dan menekan tombol untuk menyambungkan panggilan,
Jeda sedetik dia mendengar suara Erga. “Bunda?”
“Erga, apa kamu nggak pa-pa?”
“Aku nggak pa-pa, Bunda.”
“Raka?”
“Raka juga nggak pa-pa.”
Jana mengembuskan napas lega. “Jadi kenapa kamu telepon Bunda, Sayang?”
“Bunda, hari ini boleh nggak aku sama Erga nggak ke rumah Mbah?”
“Apa kamu mau ke rumah Oom Ben?”
“Nggak, Bunda. Aku sama Erga mau langsung pulang ke rumah aja. Oom Ben bilang dia bisa
nemenin kami sampe Bunda pulang. Boleh, Bunda?”
Jana ingin berteriak “NGGAK BOLEEEHHH!!!” sudah cukup parah Ben berada di rumahnya
beberapa hari yang lalu dan masuk ke kamar tidurnya. Dia tidak bisa membayangkan apa
yang akan dilakukan Ben kalau ditinggalkan sendiri tanpa pengawasannya. Tapi
ketidaksetujuannya pada ide ini bukan hanya karena itu. Semenjak dia ngibrit setelah Ben
menumpahkan isi hatinya beberapa hari yang lalu, dia berusaha sebisa mungkin
menghindarinya. Dan meskipun Ben memang tidak pernah menyinggung kejadian itu sama
sekali, dia tahu dari tatapannya bahwa Ben jelas-jelas sudah tersinggung dan sakit hati
karena reaksi dinginnya. Selama ini dia memang bisa menghindari Ben dengan selalu
memastikan ada orang lain bersama mereka, entah itu Mami dan Papi atau Mama dan Papa
Ben, tapi dia tidak akan bisa melakukan itu kalau dia menyetujui rencana Raka, yang
memberi Ben kesempatan untuk memojokkannya kalau dia mau setelah anak-anak pergi
tidur.
“Jadi boleh nggak, Bunda?”
Desakan Raka membuatnya sadar bahwa dia masih menunggu jawaban darinya. Dia tahu
bahwa dengan Erga dan Raka sudah ada di rumah waktu dia pulang, maka itu akan
menghemat waktunya, dengan begitu untuk pertama kalinya selama tiga bulan ini dia
mungkin bisa sampai di rumah sebelum malam tiba. Dan anak-anak tidak akan terlalu lelah
karena mereka tidak harus travel dari sekolah ke rumah Ben, kemudian dari rumah Ben ke
rumahnya.
“Oke,” ucap Jana akhirnya. “Tapi bilang sama Oom Ben, kalian harus mampir ke kantor
Bunda untuk ngambil kunci rumah, oke?”
***
Ketika Jana sampai di rumah sore itu, dia menemukan rumahnya yang biasanya sepi
kelihatan hidup. Suara tawa Erga dan Raka serta aroma makanan yang membuatnya ngiler
menyambutnya ketika dia membuka pintu.
“Hellooo? Ada orang di rumah?”
Sedetik kemudian Raka muncul dari arah dapur sambil berlari dan berteriak, “Bundaaa!!”
Jana langsung berlutut untuk menyambut pelukan Raka. Setelah dia memberikan ciuman
beberapa kali pada pipinya, Jana melepaskannya untuk memeluk dan mencium Erga yang
sudah mendekatinya dengan langkah lebih tenang daripada Raka beberapa menit yang lalu.
“Gimana hari kalian?”
“Seru, Bunda,” ucap Raka, yang nonstop menceritakan petualangan mereka dengan “Oom
Ben” hari ini.
Jana tidak tahu bagaimana Raka bisa begitu antusias di ajak pergi ke supermarket oleh Ben,
karena biasanya anak-anak paling rewel kalau diajak pergi ke sana olehnya. Mungkin itu
karena dia tidak memperbolehkan mereka membeli setiap jajanan yang mereka mau, yang
untuk anak berumur tujuh tahun berarti isi seluruh supermarket.
“Ayo, Bunda ke dapur sekarang. Oom Ben lagi bikini… apa makanan yang Oom Ben lagi
bikin, Erga?” Tanya Raka.
“Oh Melet,” jawab Erga.
Ketika Jana sadar beberapa detik kemudian bahwa yang dimaksud Erga adalah omelette,
alias telur dadar, dia tertawa terbahak-bahak. Membuat wajah Erga memerah.
“Aduh, sori, Sayang. Bun-bunda bukan nge-ngetawain kamu. Hihihi… sumpah!!! Tapi kamu
lucu banget,” ucap Jana di antara tawanya.
Pada saat itu Ben keluar dari dapur sambil membawa dua piring makan dengan serbet putih
disampirkan di bahu, membuatnya kelihatan menggemaskan setengah mati. Kemudian Ben
menebarkan senyum sumringahnya dan Jana tidak ingat alasan kenapa dia menghindarinya
selama beberapa hari ini. Ben betul-betul kelihatan nyaman menjadi bapak rumah tangga
sejati yang menyambut sang istri pulang kerja.
Wow, I can get used to this, ucap Jana dalam hati. Say What???!!! Itu pikiran gila datang dari
mana coba? Slow down, Jana. Jangan mikirin yang nggak-nggak Cuma gara-gara kamu
ngeliat Ben dengan serbet di bahu. Stay cool.
“Hey you,” ucap Ben dan meletakkan piring di atas meja sebelum mendekatinya dan
memberikan ciuman pada pipinya. “How’s your day?” tanyanya
Aww crap!!! Gimana dia bisa tetap “cool” kalau Ben bertingkah laku seperti dia betul-betul
peduli dengan harinya?
“It’s good,” balas Jana dengan suara seperti tikus kejepit.
“You okay?” Tanya Ben dan menatapnya heran.
“Ya, good,” jawab Jana cepat sambil pura-pura tersenyum.
Melihat Ben mengangkat alisnya tidak percaya, Jana buru-buru mengalihkan pembicaraan.
“Aku denger kamu bikin omelette?”
“Yep. Aku juga bikin nasi goring. Mudah-mudahan kamu laper karena aku bikin banyak
benget.”
Sejujurnya Jana lebih memilih makan pasir daripada makan masakan Ben karena seingatnya
Ben sama sekali nggak bisa masak. Dia memiliki kecenderungan memasukkan apa saja ke
dalam masakanya, pas atau nggak. Tapi melihat keantusiasan pada wajah Ben, dia nggak
tega.
“Laper banget,” ucapnya dengan harapan dia nggak akan keracunan makanan setelah ini
***
Tiga jam kemudian Jana menemukan dirinya selonjoran di sofa dengan perut nyaris
meledak. Dia tidak pernah merasa sekenyang ini. Itu mungkin karena dia tidak pernah
makan sebanyak ini. Ketakutannya akan rasa makanan Ben tidak terbukti karena dia tidak
pernah merasakan nasi goring dan omelette seenak itu sepanjang hidupnya. Dan dia tidak
mengatakan ini hanya karena lapar, atau karena Ben yang memasaknya, tapi karena
masakan itu betul-betul enak. Dia tidak tahu bagaimana Ben bisa membuat makanan yang
begitu membosankan seperti nasi goreng dan telur dadar menjadi special, tapi dia tahu dia
tidak akan keberatan kalau harus memakan menu itu setiap hari.
Dia menoleh ketika mendengar langkah mendekat. “Mereka udah tidur?” tanyanya.
Selesai makan malam, Ben memintanya untuk relaks dan memerintahkan Erga dan Raka
mencuci piring. Sebagai hadiah atas kerja keras mereka, Ben naik ke atas untuk
membacakan beberapa bab terakhir buku Harry Potter sebelum mereka tidur.
“Yeah,” jawab Ben sambil tersenyum puas dan mengambil tempat duduk di sebelah Jana di
sofa.
Kenyamanan yang mereka miliki selama beberapa jam ini perlahan-lahan menghilang,
membawa kembali ketegangan hubungan mereka, membuat Jana resah. Dia tahu dia tidak
bisa membiarkan keadaan ini berlarut-larut dan bahwa Ben berhak menerima kata maaf dan
penjelasan atas tindakannya yang kekanak-kanakan selama beberapa hari ini. Dan tidak ada
waktu yang lebih baik untuk melakukannya daripada sekarang.
Jana menarik napas dalam-dalam dan berkata, “I’m sorry.”
Tatapan Ben yang tadinya terfokus pada TV langsung beralih padanya. Ekspresinya tidak
terbaca. Jana memutar tubuhnya untuk betul-betul mengahadap Ben dan Ben melakukan
hal yang sama.
“Aku minta maaf karena udah bertingkah laku… bitchy selama beberapa hari ini. Kamu sama
sekali nggak berhak diperlakukan seperti itu. Terutama setelah kamu bilang…” Jana sedikit
tersedak, tidak bisa mengulangi kata-kata yang Ben ucapkan padanya. “Apa yang kamu
bilang. Aku minta maaf karena nggak bisa ngucapin kata-kata itu balik, Ben. Sejujurnya, aku
nggak tahu apa aku pernah bisa mengucapkannya lagi ke kamu,” ucap Jana akhirnya.
Untuk mencintai Ben dalam hati dan mengucapkannya adalah dua hal berbeda. Jana melihat
mata Ben melebar, tapi dia tidak mengatakan apa-apa, jadi dia melanjutkan.
“Nggak peduli berapa kali aku coba untuk ngelupain kejadian delapan tahun lalu, aku nggak
bisa. Hatiku masih sakit sampe sekarang. Dan aku tahu aku seharusnya nggak ngerasa
seperti ini, terutama karena selama beberapa minggu ini kamu awesome banget dengan
Raka dan Erga. Kamu udah nyoba sedaya upaya untuk nunjukin kalo kamu beda, dan aku
hargai itu, more than anything. Aku Cuma mau kamu tahu aku nggak akan pernah
menghalangi kamu kalo kamu ma u terus berhubungan dengan Erga dan Raka, tapi aku rasa
hubungan kita nggak akan pernah bisa lebih daripada teman.”
Ben memutar tubuhnya kembali menghadap TV sebelum mengistirahatkan kedua sikunya di
atas lutut, lalu menunduk. Dia tidak mengatakan apa-apa selama beberapa menit, wajah
dan postur tubuhnya kelihatan seperti orang yang sudah kalah berantem, meninggalkannya
babak-belur luar-dalam. Jana betul-betul nggak tega melihatnya seperti ini. Andaikan dia
bisa menarik kata-katanya kembali, tapi dia tahu kalau dia melakukan itu maka dia sudah
bersikap tidak adil terhadap dirinya dan juga Ben. Dia tidak mau membuat Ben
mengharapkan sesuatu darinya yang tidak bisa dia berikan.
Ketika Jana berkedip, Ben sudah memutar tubuhnya menghadapnya kembali dan Jana
menunggu apa yang akan dikatakannya.
“Kamu nggak perlu minta maaf. Aku ngerti kenapa kamu ngerasa seperti itu. Makasih
karena udah jujur sama aku. Makasih juga karena udah ngebolehin aku jadi bagian hidup
Raka dan Erga. Aku terima tawaran kamu untuk jadi teman,” ucap Ben dengan nada tenang.
Dan Jana merasa seperti baru saja kehilangan sesuatu yang penting di dalam hidupnya, tapi
tidak tahu apa. Dia masih memikirkan tentang ini ketika Ben bangun dari sofa untuk pamit.
“Aku lebih baik pulang. Udah malem, nggak enak sama tetangga kamu.”
Jana hanya bia mengangguk dan mengikuti Ben ke pintu.
“Omong-omong, gimana menurut kamu tentang arrangement ini?” Tanya Ben
“Arrangement apa?”
“Aku bawa pulang anak-anak langsung ke sini daripada ke rumah aku atau mami kamu?”
“Um… It’s good.”
Ben tersenyum. “Apa kamu oke kalo kita selingi kunjungan ke rumah mami kamu atau
mama aku dengan arrangement ini, then?”
“Oke.”
Ben kelihatan terkejut dengan jawabannya. “Oke?” tanyanya untuk mengonfirmasi.
“Oke.”
“Oke, kalo gitu,” balas Ben sambil tersenyum puas. “Besok pagi mungkin kamu bisa kasih
pinjam kunci rumah supaya aku bisa bikin duplikatnya? Jadi aku nggak usah bergantung
sama kamu untuk masuk rumah, gimana?”
“Er… oke,” ucap Jana, memahami logika Ben
“Excellent.”
Dan sebelum Jana bisa mengatakan apa-apa lagi, Ben sudah mencium pipinya dan masuk ke
dalam mobil. Detik selanjutnya dia sudah menghilang dari hadapannya, meninggalkan Jana
bertanya-tanya apa yang baru saja terjadi?
***
Teman? TEMAN?! Teman, nenek moyang lo gundul! Setelah beberapa hari Ben masih tidak
percaya bahwa Jana sudah mengatakan dia hanya menginginkan mereka jadi teman. Dia
lebih tidak percaya lagi bahwa bukannya mengamuk dan memaksa Jana mengakui
perasaannya daripada kebohongan yang keluar dari mulutnya, dia justru menerima tawaran
ini dengan tangan terbuka. Dasar idiot! Dia nggak akan pernah bisa hanya berteman dengan
Jana. Nggak dulu, apalagi sekarang. Dia terlalu mencintainya untuk melepaskannya begitu
saja. Pepatah yang mengatakan “If you love someone, you gotta let them go” jelas-jelas di
ucapkan oleh seorang banci yang tidak pernah merasakan jatuh cinta.
Ben tahu Jana masih paranoid dia akan menyakitinya, sesuatu yang tidak bisa dia salahkan
mengingat apa yang sudah dilakukannya. Tapi tidak bisakah dia melihat bahwa Ben tidak
akan mengulangi kesalahan itu? Bahwa dia lebih baik mati daripada menyakitinya lagi? Ya,
Jana memang memperbolehkannya berhubungan dengan Raka dan Erga, sesuatu yang dia
inginkan lebih dari apa pun, tapi itu tidak cukup. Dia juga menginginkan Jana di dalam
kehidupannya. Dan ini bukan hanya karena Jana adalah wanita paling cantik, seksi dengan
bentuk tubuh yang membuatnya ngiler, tapi juga karena mereka berdua memiliki daya tarik
luar biasa satu sama lain dan itu bukan tentang daya tarik seksual saja, yang dia harus akui
mereka miliki dengan empat kartu As.
Jana memang keras kepala dan teguh akan pendiriannya, membuat Ben sering ingin
mencekiknya, tapi begitu juga dirinya, dan dia yakin Jana membayangkan memancung
kepala Ben lebih dari sekali semenjak mereka bertemu. Tapi inilah yang membuatnya
semakin menginginkan Jana. Dia tidak mau pendamping hidup yang hanya akan menuruti
semua keinginannya tanpa memberikan input, yang tujuan hidupnya adalah memompa
egonya sebagai seorang laki-laki. Dia bisa mati bosan dengan kehidupan seperti ini. Tapi
Jana? Seperti yang dia ketahui beberapa minggu ini, tidak akan segan-segan mengemukakan
pendapatnya dan memaki-makinya kalau dia mencoba menginjak-injak haknya. Hidupnya
tidak akan pernah membosankan dengan Jana.
Dia tidak pernah berada dalam posisi ini dan tidak tahu harus bagaimana. Hanya ada dua
reaksi perempuan padanya, mengejar-ngejar kayak stalker, atau membencinya setengah
mati karena dia nggak bisa commit. Dia tidak pernah hanya “Berteman” dengan kaum
wanita. Tapi sepertinya dia tidak ada pilihan. Kalau pertemanan yang Jana inginkan darinya,
pertemananlah yang akan dia berikan padanya. Dia akan menjadi teman yang sangat baik,
bertanggung jawab, dan bisa dipercaya hingga Jana tidak bisa membayangkan hidupnya

tanpa Ben lagi.


Ditry Little Secret - Bab 19

No comments:

Post a Comment