Serena berlari, tanpa sadar melepaskan diri dari pelukan
Damian, dia berlari penuh air mata, ke kamar perawatan Rafi, kerinduannya membuncah, rasa
syukurnya tak
tertahankan.
Ketika sampai
di
depan pintu perawatan nafasnya terengah, dia berhenti karena pintu itu masih di
tutup rapat, suster
Ana tergopoh-gopoh mengejarnya,
"Serena, jangan masuk dulu,
dokter baru menstabilkan kondisinya."
Penantian itu terasa begitu lama, sampai kemudian Serena diijinkan masuk, hanya lima menit untuk sekedar menengok Rafi, setelah itu dokter harus
mengevaluasi
kondisinya Rafi lagi.
Dadanya sesak tak tertahankan ketika mata itu balas menatapnya,
mata yang selama ini terpejam, tertidur dalam damai, membuat Serena
menanti, mata itu sekarang terbuka,
hidup, dan balas menatapnya,
"Rafi,"
suara Serena serak oleh emosi, dan tangisnya meledak, dia menghampiri tepi
ranjang, ke arah
Rafi yang masih terbaring, pucat dengan alat-alat penunjang kehidupan yang
masih menopangnya, tapi hidup
dan
membuka mata.
Serena meraih tangan Rafi dan menciumnya,
lalu menangis. "Rafi."
Banyak yang ingin Serena ungkapkan, dia ingin mengucap syukur karena Rafi akhirnya bangun, dia ingin merajuk karena Rafi memilih waktu yang begitu lama
untuk terbangun, dia ingin menangis kuat-kuat, tapi semua emosi menyebabkan
suaranya tercekat di
tenggorokan.
Air mata tampak menetes dari pipi Rafi, lelaki itu mencoba berbicara, tetapi tampak begitu susah payah,
“Stttt...Kau tidak boleh bicara dulu,” gumam Serena lembut, mencegah Rafi
berusaha terlalu keras,
“mereka
memasang selang di tenggorokanmu, untuk
makanan, kau koma selama kurang lebih dua tahun."
Mata Rafi menatap
Serena, tampak tersiksa,
dan
dengan lembut Serena mengusap
air mata di pipi Rafi,
“Nanti, setelah mereka yakin kondisimu membaik, mereka akan melepas selang itu dan kau akan bisa berbicara lagi, tapi sekarang, kau
cukup mengangguk atau menggeleng
saja ya, sekarang...” Serena menelan ludah, menahan isak tangis yang
dalam, “Sekarang
kita harus mensyukuri karena kau akhirnya terbangun, ya?”
Rafi menganggukkan kepalanya, dan seulas senyum
dengan
susah payah
muncul
dari bibirnya,
“Sekarang istirahatlah dulu,
dokter akan mengecek kondisimu lagi” bisik Serena lembut ketika melihat isyarat dari dokter yang menunggui mereka.
Ketika Serena akan
beranjak, genggaman Rafi di tangannya
menguat, Dengan lembut Serena menoleh dan memberikan senyuman penuh cinta kepada Rafi,
“Aku tidak akan kemana-mana, aku
harus menyingkir karena dokter
akan memeriksamu lagi, tapi aku tidak akan kemana-mana,
aku akan berada di dekat
sini
sehingga saat kau butuh nanti aku akan langsung
datang.”
Pegangan Rafi mengendor, lelaki itu
mau mengerti. Dengan lembut Serena
mengecup dahi Rafi dan melangkah
menjauh keluar ruangan perawatan. Air
matanya mengucur dengan derasnya ketika
dia
melangkah menghampiri suster Ana.
Suster Ana masih berdiri di sana dan Serena
langsung berlari ke
arahnya, menangis keras-keras.
“Dia sadar
suster...dia akhirnya sadar...aku masih
tak percaya, selama ini aku hampir kehilangan harapan. Mulai berpikir
kalau Rafi memang tidak
mau bangun, mulai berpikir kalau semua perjuanganku ini sia-sia... Tapi sekarang...”,
Serena terisak, “Aku tak percaya
bahwa pada akhirnya dia
sadar... dia kembali
dari tidur
panjangnya, dia ada di sini untuk
aku...“
Dengan lembut Suster
Ana mengelus rambut Serena,
“Ini semua karena
perjuanganmu
Serena, Tuhan melihat keyakinanmu maka
ia mengabulkannya.” mata suster
Ana juga berkaca-kaca, terharu melihat
pasangan yang sudah hampir menjadi legenda karena kekuatan
cintanya di
rumah sakit ini, akhirnya akan berujung
bahagia.
Tapi kemudian, suter Ana menyadari kehadiran Damian di
ujung ruangan, masih bersandar di pintu lorong ruang perawatan,
dengan wajah tanpa ekspresi.
Dengan lembut dilepaskannya Serena dari
pelukannya,
“Eh mungkin aku harus
pergi dulu Serena, mungkin masih ada hal-hal yang ingin kalian bicarakan?“
suster Ana mengedikkan bahunya
ke arah Damian,
Baru saat itulah sejak pemberitahuan
suster Ana tadi, Serena menyadari kehadiran Damian di
ruangan itu. Pipinya
langsung memerah mengingat pernyataan cinta
Damian, sesaat sebelumnya.
Tapi dia sungguh
tidak bisa berkata apa-apa.
Setelah Suster Ana
meninggalkan ruangan
itu, suasana menjadi
canggung, dalam keheningan yang tidak menyenangkan.
“Dia sadar.” gumam
Damian akhirnya, memecah keheningan.
Serena menganggukkan
kepalanya, belum mampu bersuara. Damian tampak berfikir,
“Kau bahagia?” tanyanya kemudian,
lembut.
Serena mengernyitkan keningnya,
Damian telah berubah, menjadi
sedikit lebih
manusiawi, menjadi
sedikit mudah disentuh.
Damian yang dulu tidak akan
mungkin menanyakan
itu
padanya. Damian yang dulu pasti akan
langsung memaksa membawanya
pulang tanpa peduli perasaan Serena.
“Ya, aku bahagia.” seulas senyum kecil muncul di bibir Serena, membayangkan
Rafi.
Damian mengernyit melihat senyuman
itu. Senyuman itu bagaikan pisau yang
menusuk hatinya, senyuman yang diberikan Serena ketika
membayangkan lelaki lain, ketika membayangkan Rafi.
“Bagus,” gumamnya datar, kemudian
menatap Serena lembut, “mungkin kita
harus melakukan
pengaturan kembali dengan perkembangan yang mendadak ini, tetapi aku tidak mau mengganggumu dulu, kau pasti ingin fokus dulu dengan
kondisi Rafi... jadi kupikir aku akan kembali lagi saja nanti.”
“Terima kasih Damian.” akhirnya Serena bisa berkata-kata, pelan. Damian tersenyum miring,
“Aku meminta maaf, dan kau malah menjawabnya dengan ucapan terima kasih,
Serena yang aneh.”
dengan
hati-hati Damian
mendekat,
lalu
setelah
yakin
bahwa Serena tak akan
menjauh, dia merengkuh Serena ke dalam pelukannya,
“Ingat kata-kataku tadi.”
bisiknya lembut,
lalu
menunduk
dan memberikan
Serena sebuah ciuman yang singkat tetapi
menggetarkan kepada Serena.
Dan pergilah Damian, meninggalkan Serena yang masih berdiri terpaku, memegangi bibirnya
yang terasa hangat,
bekas ciuman Damian.
***
"Dia sadar."
Damian menyesap
minumannya sambil berdiri terpaku menatap ke pemandangan dari jendela lantai atas kantornya.
Vanessa, yang masih bersama
Freddy hanya diam terpaku. Damian sudah
menceritakan
semuanya kepada mereka tadi, tentang sadarnya Rafi dari
komanya. Dan sekarang lelaki itu hanya terdiam dan mengulang-ulang kata 'dia
sadar' 'dia sadar' sambil menatap
keluar.
Vanessa menarik napas mulai tak sabar,
sedangkan Freddy hanya mengetuk- ketukkan tanggannya di lutut. Damian
masih belum menunjukkan tanda-tanda
memaafkannya jadi dia memilih diam dan tidak mengatakan apa-apa.
"Kurasa karena
perkembangan baru
yang tidak terduga ini, kau akhirnya
memutuskan untuk melepaskan Serena?"
Pertanyaan Vanessa itu membuat Damian mendadak memutar tubuhnya dengan tajam
menghadap Vanessa dan menatapnya dengan mata menyala-nyala.
"Dia belum memilih," gumam Damian
setengah menggeram. "detik terakhir
sebelumnya, dia menerimaku dalam pelukannya, membalas pelukanku
dan aku yakin akan menerima ajakanku untuk pulang bersamaku."
"Sudahlah Damian, sekarang kan
tunangannya yang setia ditungguinya selama
dua
tahun sudah sadar, kau tidak bisa......" tanpa
sadar
Freddy bersuara
memberikan pendapat seperti kebiasaannya sebelumnya. Tapi langsung berhenti mendadak ketika menerima tatapan tajam penuh
permusuhan dari
Damian, "Aku....aku hanya mencoba memaparkan kenyataan di depanmu." suara
Freddy hilang tertelan karena tatapan Damian makin tajam.
Vanessa menghela napas
sekali
lagi,
"Damian, Freddy benar, sadarnya Rafi ini bukankah
merupakan tujuan
hidup Serena selama ini? Biarkan
mereka berbahagia Damian, mereka pantas
mendapatkannya setelah tahun-tahun penuh
penantian dan ketidakpastian yang
menyiksa."
"Tidak!" Damian tetap bersikeras,
"aku tidak bisa menyerah begitu saja dan
membiarkan Serena salah memilih. Dia mencintaiku.
Perasaannya pada Rafi mungkin hanya kasihan."
"Kenapa kau tidak bisa berpikir kalau perasaannya kepadamulah yang mungkin hanya
perasaan sesaat karena keadaan yang dipaksakan? Kau pernah dengar
apa
itu Stockholm Syndrome?" sela Vanessa jengkel.
Damian tercenung, tentu saja
dia
tahu apa itu Stockholm Syndrome, dan menyakitkan kalau menyadari bahwa perasaan Serena
kepadanya mungkin ditumbuhkan oleh situasi keterpaksaan. Dengan gusar
diusapnya rambutnya,
"Aku akan menanyakan
langsung padanya. Nanti. Setelah kondisi tunangannya lebih baik."
Vanessa tidak berkata-kata.
Dan
Freddy hanya diam,
tak tahu harus bicara apa lagi.
***
A Romantic Story About Serena - Chapter 14
No comments:
Post a Comment