Tuesday, September 1, 2015

Ayat - Ayat Cinta - Bab 10









10. Sepucuk Surat Cinta

Ini malam Sabtu. Besok pagi aku harus pergi. Memasukkan proposal tesis ke
kampus. Menemui Alicia dan Aisha di National Library. Dan mengirimkan naskah
terjemahan ke redaksi sebuah penerbit di Jakarta melalui email. Perjalanan yang
agak melelahkan kelihatannya. Semua telah siap, kecuali naskah terjemahan. Belum
selesai di edit. Aku ingin besok pagi semuanya berjalan seperti rencana. Sekali
melakukan perjalanan banyak yang diselesaikan. Malam ini mau tidak mau aku harus
sedikit keras pada diriku sendiri. Aku harus kerja lembut mengedit hasil terjemahanku
sampai benar-benar matang.
Untuk persiapan lembur ini, aku telah menyiapkan dopping andalan. Madu
murni, susu kambing murni yang dibelikan oleh Hamdi dari para penggembala
kambing yang biasa lewat di Wadi Hof, dan telur ayam kampung. Agar suasana segar
aku membuka jendela dan pintu kamar terbuka lebar-lebar. Pelan-pelan kusetel
nasyid Athfal Filistin. Semangat bocah-bocah cilik Palestina yang membara dengan
celoteh mereka yang menggemaskan menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan
intifadhah membuat diriku bersemangat dan tidak mengantuk. Aku sudah minta izin
teman-teman untuk membunyikan nasyid ini sampai tengah malam. Aku minta
mereka menutup pintu kamar masing-masing agar tidak terganggu tidurnya.
Ternyata mereka malah asyik meminjam film Ashabul Kahfi dari seorang
teman di Nasr City. Dan menontonnya di kamar Rudi. Mereka memerlukan waktu 16
jam untuk menonton film yang dibuat Iran dan Lebanon itu. Sebab film Ashabul Kahfi
adalah film yang diputar bersambung oleh stasiun TV Lebanon selama bulan
Ramadhan tahun kemarin. Hanya yang memiliki parabola yang bisa menontonnya.
Malam ini mereka menyediakan waktu khusus untuk menontonnya. Aku belum
pernah menontonnya, sebetulnya sangat ingin. Tapi apakah semua keinginan harus
dipenuhi? Komentar teman-teman yang sudah menontonnya, film Ashabul Kahfi luar
biasa indahnya, mampu menambah keimanan dan memperhalus jiwa. Lain kali
semoga ada kesempatan menontonnya. Malam ini adalah malam kerja.
Malam ini, sementara teman-teman terbang ke zaman Ashabul Kahfi, mereka
berdialog dengan pemuda-pemuda pilihan itu, aku malah berlayar di lautan kata-kata
yang disusun Ibnu Qayyim. Aku harus membaca dengan teliti dan mengedit tulisan
sebanyak 357 halaman. Tengah malam aku kelelahan. Aku istirahat dengan
melakukan shalat. Ketika sujud kepala terasa enak. Darah mengalir ke kepala.
112
Syaraf-syarafnya menjadi lebih segar. Kudengar teman-teman bertasbih atas apa
yang mereka lihat di film itu. Aku melemaskan otot-otot dengan menelentangkan
badan di atas kasur. Menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan.
Aku bangkit hendak meneruskan pekerjaan. Tak sengaja aku melihat sepucuk surat
permintaan mengisi pelatihan terjemah dari sebuah kelompok studi. Aku jadi teringat
dengan sepucuk surat dari Noura yang masih berada di saku baju koko yang
tergantung di dalam almari. Aku belum membacanya. Segera kuambil surat itu dan
kubaca.
Kepada
Fahri bin Abdillah, seorang mahasiswa
dari Indonesia yang lembut hatinya dan berbudi mulia
Assalamu’alaikum warahmatullah wa barakatuh.
Kepadamu kukirimkan salam terindah, salam sejahtera para penghuni surga.
Salam yang harumnya melebihi kesturi, sejuknya melebihi embun pagi. Salam hangat
sehangat sinar mentari waktu dhuha. Salam suci sesuci air telaga Kautsar yang jika
direguk akan menghilangkan dahaga selama-lamanya. Salam penghormatan, kasih
dan cinta yang tiada pernah pudar dan berubah dalam segala musim dan peristiwa.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Entah dari mana aku mulai dan menyusun kata-kata untuk mengungkapkan
segala sedu sedan dan perasaan yang ada di dalam dada. Saat kau baca suratku ini
anggaplah aku ada dihadapanmu dan menangis sambil mencium telapak kakimu
karena rasa terima kasihku padamu yang tiada taranya.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Sejak aku kehilangan rasa aman dan kasih sayang serta merasa sendirian
tiada memiliki siapa-siapa kecuali Allah di dalam dada, kaulah orang yang pertama
datang memberikan rasa simpatimu dan kasih sayangmu. Aku tahu kau telah
menitikkan air mata untukku ketika orang-orang tidak menitikkan air mata untukku.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Ketika orang-orang di sekitarku nyaris hilang kepekaan mereka dan masa
bodoh dengan apa yang menimpa pada diriku karena mereka diselimuti rasa bosan
dan jengkel atas kejadian yang sering berulang menimpa diriku, kau tidak hilang rasa
pedulimu. Aku tidak memintamu untuk mengakui hal itu. Karena orang ikhlas tidak
113
akan pernah mau mengingat kebajikan yang telah dilakukannya. Aku hanya ingin
mengungkapkan apa yang saat ini kudera dalam relung jiwa.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Malam itu aku mengira aku akan jadi gelandangan dan tidak memiliki
siapa-siapa. Aku nyaris putus asa. Aku nyaris mau mengetuk pintu neraka dan
menjual segala kehormatan diriku karena aku tiada kuat lagi menahan derita. Ketika
setan nyaris membalik keteguhan imanku, datanglah Maria menghibur dengan segala
kelembutan hatinya. Ia datang bagaikan malaikat Jibril menurunkan hujan pada
ladang-ladang yang sedang sekarat menanti kematian. Di kamar Maria aku terharu
akan ketulusan hatinya dan keberaniannya. Aku ingin mencium telapak kakinya atas
elusan lembut tangannya pada punggungku yang sakit tiada tara. Namun apa yang
terjadi Fahri?
Maria malah menangis dan memelukku erat-erat. Dengan jujur ia menceritakan
semuanya. Ia sama sekali tidak berani turun dan tidak berniat turun malam itu. Ia telah
menutup kedua telinganya dengan segala keributan yang ditimbulkan oleh ayahku
yang kejam itu. Dan datanglah permintaanmu melalui sms kepada Maria agar
berkenan turun menyeka air mata dukaku. Maria tidak mau. Kau terus memaksanya.
Maria tetap tidak mau. Kau mengatakan pada Maria: ‘Kumohon tuturlah dan usaplah
air mata. Aku menangis jika ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon.
Andaikan aku halal baginya tentu aku akan turun mengusap air matanya dan
membawanya ke tempat yang jauh dari linangan air mata selama-lamanya. Maria
tetap tidak mau.” Dia menjawab: “Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak
bisa.” Kemudian dengan nama Isa Al Masih kau memaksa Maria, kau katakan,
“Kumohon, demi rasa cintamu pada Al Masih.” Lalu Maria turun dan kau mengawasi
dari jendela. Aku tahu semua karena Maria membeberkan semua. Ia memperlihatkan
semua kata-katamu yang masih tersimpan dalam handphone-nya. Maria tidak mau
aku cium kakinya. Sebab menurut dia sebenarnya yang pantas aku cium kakinya dan
kubasahi dengan air mata haruku atas kemuliaan hatinya adalah kau. Sejak itu aku
tidak lagi merasa sendiri. Aku merasa ada orang yang menyayangiku. Aku tidak
sendirian di muka bumi ini.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Anggaplah saat ini aku sedang mencium kedua telapak kakimu dengan air
mata haruku. Kalau kau berkenan dan Tuhan mengizinkan aku ingin jadi abdi dan
114
budakmu dengan penuh rasa cinta. Menjadi abdi dan budak bagi orang shaleh yang
takut kepada Allah tiada jauh berbeda rasanya dengan menjadi puteri di istana raja.
Orang shaleh selalu memanusiakan manusia dan tidak akan menzhaliminya. Saat ini
aku masih dirundung kecemasan dan ketakutan jika ayahku mencariku dan akhirnya
menemukanku. Aku takut dijadikan santapan serigala.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Sebenarnya aku merasa tiada pantas sedikit pun menuliskan ini semua. Tapi
rasa hormat dan cintaku padamu yang tiap detik semakin membesar di dalam dada
terus memaksanya dan aku tiada mampu menahannya. Aku sebenarnya merasa
tiada pantas mencintaimu tapi apa yang bisa dibuat oleh makhluk dhaif seperti diriku.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Dalam hatiku, keinginanku sekarang ini adalah aku ingin halal bagimu. Islam
memang telah menghapus perbudakan, tapi demi rasa cintaku padamu yang tiada
terkira dalamnya terhunjam di dada aku ingin menjadi budakmu. Budak yang halal
bagimu, yang bisa kau seka air matanya, kau belai rambutnya dan kau kecup
keningnya. Aku tiada berani berharap lebih dari itu. Sangat tidak pantas bagi gadis
miskin yang nista seperti diriku berharap menjadi isterimu. Aku merasa dengan itu aku
akan menemukan hidup baru yang jauh dari cambukan, makian, kecemasan,
ketakutan dan kehinaan. Yang ada dalam benakku adalah meninggalkan Mesir. Aku
sangat mencintai Mesir tanah kelahiranku. Tapi aku merasa tidak bisa hidup tenang
dalam satu bumi dengan orang-orang yang sangat membenciku dan selalu
menginginkan kesengsaraan, kehancuran dan kehinaan diriku. Meskipun saat ini aku
berada di tempat yang tenang dan aman di tengah keluarga Syaikh Ahmad, jauh dari
ayah dan dua kakakku yang kejam, tapi aku masih merasa selalu diintai bahaya. Aku
takut mereka akan menemukan diriku. Kau tentu tahu di Mesir ini angin dan tembok
bisa berbicara.
Wahai orang yang lembut hatinya,
Apakah aku salah menulis ini semua? Segala yang saat ini menderu di dalam
dada dan jiwa. Sudah lama aku selalu menanggung nestapa. Hatiku selalu kelam oleh
penderitaan. Aku merasa kau datang dengan seberkas cahaya kasih sayang. Belum
pernah aku merasakan rasa cinta pada seseorang sekuat rasa cintaku pada dirimu.
Aku tidak ingin mengganggu dirimu dengan kenistaan katakataku yang tertoreh dalam
lembaran kertas ini. Jika ada yang bernuansa dosa semoga Allah mengampuninya.
115
Aku sudah siap seandainya aku harus terbakar oleh panasnya api cinta yang pernah
membakar Laila dan Majnun. Biarlah aku jadi Laila yang mati karena kobaran
cintanya, namun aku tidak berharap kau jadi Majnun. Kau orang baik, orang baik
selalu disertai Allah.
Doakan Allah mengampuni diriku. Maafkan atas kelancanganku.
Wassalamu’alaikum,
Yang dirundung nestapa,
Noura
Tak terasa mataku basah. Bukan karena inilah untuk pertama kalinya aku
menerima surat cinta yang menyala dari seorang gadis. Bukan karena kata-kata
Noura yang mengutarakan apa dirasakannya terhadapku. Aku menangis karena
betapa selama ini Noura menderita tekanan batin yang luar biasa. Ia sangat
ketakutan, merasa tidak memiliki tempat yang aman. Ia merasa berada dalam
kegelapan yang berkepanjangan. Tanpa cahaya cinta dan kasih dari keluarganya. Ia
merasa tidak ada yang peduli padanya. Ia telah kehilangan kepercayaan dirinya
sebagai manusia merdeka tanpa belenggu nestapa. Sesungguhnya tekanan psikis
yang menderanya selama ini lebih berat dari siksaan fisik yang ia terima. Maka ketika
ada sedikit saja cahaya yang masuk ke dalam hatinya, ada rasa simpati yang
diberikan orang lain kepadanya, ia merasa cahaya dan rasa simpati itu adalah
segalanya baginya. Ia langsung memegangnya erat-erat dan tidak mau kehilangan
cahaya itu, tidak mau kehilangan simpati itu dan ia sangat percaya dan menemukan
hidupnya pada diri orang yang ia rasa telah memberikan cahaya dan rasa simpati.
Aku menyeka air mata kulipat kertas surat itu dan kumasukkan ke dalam
amplopnya. Setelah shalat shubuh aku harus menyampaikan hal ini pada Syaikh
Ahmad. Gadis itu perlu terus diberi semangat hidup dan dikokohkan ruhaninya. Gadis
itu perlu diyakinkan bahwa dia akan mendapatkan rasa aman dan kasih sayang
selama berada di tengah-tengah orang yang beriman. Aku mengambil air wudhu
untuk menenangkan hati dan pikiran. Aku harus kembali menyelesaikan pekerjaan.
Ketika azan shubuh berkumandang seluruh terjemahan telah selesai aku edit.
Langsung kupecah menjadi empat file. Kumasukkan ke dalam disket. Mataku terasa
berat dan perih. Seperti ada kerikil mengganjal di sana. Aku belum memicingkan mata
sama sekali. Aku bangkit kuajak teman-teman untuk turun ke masjid.



Ayat - Ayat Cinta - Bab 11

No comments:

Post a Comment