11. Dijenguk Sahabat Nabi
Kepada Syaikh Ahmad aku berikan surat Noura untuk beliau baca.
Jamaah
shalat shubuh sudah banyak yang pulang. Kecuali beberapa
kakek-kakek yang
beri’tikaf dan membaca Al-Qur’an menunggu sampai waktu dhuha tiba.
Aku diajak
Syaikh Ahmad masuk ke dalam kamar imam. Aku memohon kepada beliau
untuk
memperlakukan gadis itu dengan lebih baik dan bijak. Aku memohon
kepada beliau
agar gadis itu jangan dicela atas apa yang ditulis dan
dilakukannya. Gadis itu memang
sedikit berbohong ketika mengatakan surat itu ucapan terima kasih
semata. Gadis itu
perlu dikokohkan semangat hidupnya dan diyakinkan dia tidak akan
mendapatkan
perlakuan buruk lagi. Dia akan aman di Mesir. Syaikh Ahmad membaca
surat itu dan
menitikkan air mata. “Akan aku minta kepada Ummu Aiman untuk
mencurahkan
perhatian yang lebih padanya. Dia memang memerlukan rasa aman dan
kasih sayang
yang selama ini hilang. Dan dia sepertinya belum merasa yakin dia
akan
mendapatkan rasa aman dan kasih sayang di sini.” Syaikh Ahmad
berjanji akan
menyelesaikan masalah Noura sebaikbaiknya dan meminta diriku agar
tidak
terganggu dan konsentrasi pada tesis. Dan surat Noura itu aku
berikan pada Syaikh.
Aku tidak mau menyimpannya. Baru aku pulang.
Sampai di rumah aku baca Al-Qur’an satu halaman. Aku ingin
memejamkan
mata setengah jam saja. Aku pesan pada Saiful agar membangunkan
aku sampai aku
benar-benar bangun pada pukul setengah tujuh.
Pukul setengah tujuh aku dibangunkan. Kerikil di mata belum
sepenuhnya
hilang. Aku mandi. Sarapan belum jadi. Aku mempersiapkan segalanya
untuk pergi.
Jawaban untuk Alicia. Proposal tesis. Dan disket berisi naskah
terjemahan. Karena
perjalanan panjang aku harus berangkat pagi. Di metro aku
tidak dapat tempat duduk.
Metro penuh
oleh orang-orang yang berangkat kerja. Turun di Tahrir aku langsung
mencari Eltramco menuju Hayyu Sabe. Tujuanku adalah @lfenia.
Warnet yang
dikelola teman-teman mahasiswa dari Indonesia. Pukul delapan aku
sampai di sana.
Bertemu Furqon, penjaga warnet yang sudah seperti saudara sendiri.
Furqon
memelukku dan berkata, “Pucat sekali sampean Mas. Begadang ya?”
Aku menganggukkan kepala. Furqon mempersilakan aku memilih sendiri
tempat yang kuinginkan. Hanya ada tiga orang yang sedang berlayar
di dunia maya.
Aku memilih yang paling dekat dari tempatku berdiri. Membuka
Yahoomail. Mengirim
naskah terjemahan dengan attachment. Membuka beberapa message di
mailist
117
Mutarjim, Qahwaji, dan Indonesia Cinta Damai. Melihat Ahram, Time,
Republika,
Media Indonesia, Suara Merdeka dan Islam-online. Satu jam aku di
@lfenia. Furqan
menyuguhkan segelas teh Arousa. Teh paling merakyat di Mesir. Jika
dibuat kental
dan minum masih dalam keadaan agak panas pelan-pelan. Sruput demi
sruput. Teh
Arousa mampu meringankan kepala yang berat dan menyegarkan pikiran.
Dari
@lfenia aku langsung naik bis 926 menuju kampus Al Azhar di Maydan
Husein.
Kuserahkan proposal tesiskepada Syuun Thullab Dirasat Ulya Fakultas
Ushuluddin.
Aku merasa aku akan terlambat sampai di National Library. Aku
kontak Aisha
memberitahukan posisi keberadaanku dan meminta mereka menunggu
jika aku
terlambat.
Benar aku terlambat sepuluh menit. Aku minta maaf. Kukeluarkan
jawaban
atas pertanyaan Alicia yang telah kujilid.
“Semua pertanyaan tentang perempuan dalam Islam saya jawab dalam
empat
puluh halaman. Pertanyaan lainnya saya jawab dengan menerjemahkan
buku yang
ditulis oleh Prof.Dr. Abdul Wadud Shalabi.”
Alicia dan Aisha berdecak kaget dan gembira atas keseriusanku. Aku
jelaskan
siapa sebenarnya yang menerjemahkan buku Prof. Shalabi ke dalam
bahasa Inggris.
Sahamku dalam terjemahan itu hanyalah membaca ulang dan
mengoreksinya serta
menerjemahkan hadits dan melengkapi terjemahan AlQur’an yang
ditinggalkan Maria.
Korektor akhir atas semuanya adalah Syaikh Ahmad Taqiyyuddin. Lalu
kami
berdiskusi selama dua jam setengah. Saat berdiskusi aku merasa
badanku terasa
meriang sekali. Kepalaku berat tapi aku tahan dan aku
kuat-kuatkan. Alicia minta data
diriku dan alamat lengkapku. Dua hari lagi rencananya ia akan
kembali ke Amerika.
Aisha berkata suatu saat nanti akan mengajak diriku untuk
berdiskusi lagi. Kami
berpisah. Di luar gedung terik panas benar-benar menggila. Aku
naik metro. Sampai
di Maadi setengah tiga.Aku belum shalat. Terpaksa aku turun untuk
shalat di masjid
yang ada di luar mahattah.
Aku meneruskan perjalanan. Ubun-ubun kepalaku terasa sangat nyeri.
Di Tura
El-Esmen badai panas bergulung menebar debu ke dalam metro.
Sangat tidak
nyaman. Turun di Hadayek Helwan aku merasa tidak kuat untuk
berjalan ke
apartemen. Aku panggil taksi. Kepalaku nyeri sekali. Tubuh seperti
remuk. Aku lupa
belum sarapan sejak pagi. Sampai di halaman apartemen aku sempat
melihat jam
tangan. Pukul tiga seperempat. Kepalaku seperti ditusuk tombak
berkarat. Sangat
sakit. Begitu membuka pintu rumah aku merasa tidak kuat
melangkahkan kaki.
118
Kepala terasa seperti digencet palu godam. Lalu aku tidak tahu apa
yang terjadi.
Mataku menangkap kilatan cahaya putih lalu gelap.
* * *
Dalam keremangan gelap aku melihat ada cahaya. Perlahan aku
membuka
mata. Aku melihat langit-langit berwarna putih. Bukan
langit-langit kamarku.
Langit-langit kamarku biru muda. Kepalaku masih berat.
“Alhamdulillah. Kau sudah tersadar Mas,” suara Saiful
serak. Aku memandang
wajahnya.
“A..aku di...di mana?” lidahku terasa kelu sekali.
“Di rumah sakit Mas,” lirih Saiful.
“Kenapa?”
“Sudah lah Mas istirahat dulu. Jangan memikirkan apa-apa dulu.”
Kepalaku terasa nyeri kembali. Aku berusaha berpikir,
mengingat-ingat apa
yang terjadi padaku sehingga ada di rumah sakit ini. Perjalanan
melelahkan,
kepanasan dengan perut kosong. Membuka pintu dengan kepala sakit
luar biasa
seperti dihantam palu godam. Lalu gelap. Saiful menatapku dengan
mata berkaca.
“Jam be..berapa?” tanyaku padanya.
“Setengah tiga malam Mas.”
Aku teringat belum shalat Ashar, Maghrib dan Isya. Aku ingin
bangkit tapi
seluruh tubuhku terasa lumpuh. Kepalaku tiba-tiba terasa sakit
sekali.
“Aduuh! Astaghfirullah!” aku menahan sakit tiada terkira.
“Kenapa Mas?”
Semuanya kembali terasa gelap. Aku berlayar dalam gelap dan
keheningan.
Mengarungi dunia yang tiada aku tahu namanya. Aku mendengar suara magic
Syaikh
Utsman Abdul Fattah. Fahri, baca surat Al Anbiya! Kubaca surat Al
Anbiya. Teruskan
Surat Al Hajj, pakai qiraah Imam Warasy.82 Aku membaca dengan
qiraah Warasy
sampai selesai. Semuanya gelap kembali. Aku tidak mendengar apa
tidak melihat
apa-apa. Aku kembali mendengar suara Syaikh Utsman, beliau membaca
surat Al
82 Imam Warasy, seorang Imam Qiraah yang terkenal, mengambil
qiraahnya dari Imam Nafi bin
Abdurrahman Al-Madani yang mengambil qiraah dari Imam Abu Ja’far
Al-Qari dan tujuh puluh tabiin.
Dan mereka semua mengambil qiraah dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah
dari Ubay bin Kaab dari
Rasulullah Saw.
119
Furqan dengan qiraah Imam Hamzah aku mendengar dengan seksama
kefasihan
tajwidnya. Sampai ayat enam puluh lima beliau membaca dengan
menangis
tersedu-sedu. Aku ikut menangis. Beliau tiada kuasa untuk
melanjutkannya. Aku
membacanya dan melanjutkannya dengan qiraah yang sama. Selesai.
Syaikh
Utsman meminta aku meneruskan satu surat lagi. Aku memenuhi titah
beliau, kubaca
surat Asy Syuara. Sampai pada ayat seratus delapan puluh empat
daun telingaku
menangkap suara isak tangis sayupsayup. Aku merasa ada sentuhan
halus di pipiku.
Aku mengerjapkan mataku.
“Fahri, kau sudah sadar Fahri. Kau bangun Fahri. Ini aku,” suara
halus
perempuan. Aku coba membuka mata lebih lebar. Semakin terang. Aku
melihat wajah
putih bersih. Dia duduk di kursi dekat dengan dadaku
“Ma..Maria?!” aku memanggil namanya, tapi cuma bibirku yang kurasa
bergerak tanpa suara.
“Ya aku Maria,” ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
.“Astaghfirullah!” lirihku.
“Ada apa Fahri?”
“Ma..mana Saiful?”
“Sedang keluar, dia kusuruh sarapan.”
“Jam berapa?”
“Jam delapan pagi.”
Maria tiada berkedip memandangi diriku yang terbujur tiada berdaya
seperti
bayi. Matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah dan pipinya basah.
“Kenapa kau kemari, Maria?”
“Aku ingin tahu keadaanmu. Aku mencemaskanmu.”
“Kau menangis Maria?”
“Kau membuatku menangis Fahri. Kau mengigau terus dengan bibir
bergetar
membaca ayat-ayat suci. Wajahmu pucat. Air matamu meleleh tiada
henti. Melihat
keadaanmu itu apa aku tidak menangis,” serak Maria sambil tangan
kanannya
bergerak hendak menyentuh pipiku yang kurasa basah.
“Jangan Maria tolong, ja..jangan sentuh!”
120
“Maaf, aku lupa. Keadaan haru sering membuat orang lupa.”
Aku melihat di samping kiriku ada tiang besi putih, ada tabung
infus tergantung
di sana. Di bawah tabung ada selang kecil mengalirkan air infus ke
dalam nadi tangan
kiriku. Air infus terus menetes seperti embun di musim penghujan. Aku
kembali
merasakan nyeri dalam tempurung kepalaku. Seperti ada ratusan paku
menancap.
Aku berusaha menahan dengan memejamkan mata dan otot rahang
menegang. Tak
kuat juga aku mengaduh, meskipun lirih.
“Ada apa Fahri, apa yang kau rasakan?” suara Maria serak.
“Kepalaku nyeri sekali.”
“Biar kupanggilkan petugas,” telingaku menangkap suara langkah
kaki Maria.
Tak lama kemudian ia datang dengan seorang dokter lelaki. Dokter
itu memasang
menempelkan tangannya di keningku. Memeriksa tekanan darahku.
Memasang
termometer sebesar pena di ketiakku. Dan dengan suara yang lembut
menanyai apa
yang kurasakan serta membesarkan hatiku. Ia mengambil termometer
dan
melihatnya. Lalu menuliskan sesuatu di dalam berkas yang di
bawanya. Kemudian
menyuntikkan sesuatu lewat jarum selang infus yang menancap di
tangan kiriku.
“Suntikan untuk meredakan rasa sakit. Kau akan cepat sembuh,” kata
dokter
itu. Maria mengamati dengan seksama apa yang dilakukan dokter itu
padaku. Ia
berdiri di samping ranjang. Rambutnya yang hitam terkucir rapi.
Setelah mendapat
suntikan itu rasa sakit di kepalaku terasa mulai berkurang. Saiful
datang tepat saat
dokter setengah baya yang mengenalkan dirinya bernama Ramzi Shakir
itu hendak
pergi. Saiful menyalami dokter Ramzi dan berbincang sebentar
dengannya. Maria
duduk di kursi di samping ranjang. Saiful mendekat. Ia mengucapkan
salam dan
tersenyum.
“Maria, boleh aku bicara empat mata dengan Saiful?” lirihku pada
Maria.
Maria mengangguk dan melangkah keluar. Ia tidak membawa serta tas
kecilnya.
“Saif, kenapa kau tinggalkan aku sendirian dengan Maria? Kenapa
dia yang
menunggui aku? Dia bukan mahramku.” Aku memaksakan diri untuk
bersuara agak
keras. Saiful sepertinya tahu kalau aku marah dan tidak berkenan.
“Maafkan saya Mas. Keadaannya darurat. Aku belum tidur sama sekali
semalam dan perutku perih sekali. Kebetulan Maria datang,”
jawabnya.
121
“Teman-teman yang lain mana?”
Saiful lalu menceritakan kejadian itu.
“Saat Mas pulang dan terjatuh tak sadarkan diri di pintu, yang ada
di rumah
cuma saya seorang. Saya langsung mengontak Mishbah yang saat itu
ada di Wisma
agar pulang. Sedangkan Hamdi dan Rudi, hari itu sedang dalam
perjalanan ikut
rihlah83 ke
Luxor yang diadakan Majlis A’la. Mereka tidak mungkin dihubungi. Saya
bingung, saya naik ke atas. Untung saat itu Yousef dan Maria ada.
Maria langsung
menelpon mamanya, Madame Nahed, yang sedang kerja di Rumah
Sakit Maadi.
Madame Nahed
meminta pada Maria agar seketika itu juga membawa Mas Fahri ke
rumah sakit. Madame Nahed mengurusi semuanya dan memilihkan
kamar kelas satu.
Dia juga yang memilihkan dokter. Madame Nahed tidak bisa
langsung menanganimu
sebab dia dokter spesialis anak. Mas tak sadarkan diri dalam waktu
yang lama sekali.
Mas baru sadar jam setengah tiga malam. Setelah itu tak sadarkan
diri lagi. Mishbah
sampai di rumah sakit jam lima sore ikut menunggui sampai jam satu
malam. Saya
dan Mishbah sepakat membuat jadwal. Malam itu saya minta Mishbah
istirahat di
rumah, karena dia terlihat sangat kelelahan. Dan saya minta dia
datang pukul
sembilan pagi untuk gantian jaga. Pukul setengah delapan tadi
Maria datang tepat
ketika saya merasakan perut ini sedemikian perih karena sejak sore
kemarin belum
kemasukan apa-apa. Melihat wajah saya pucat Maria minta saya
keluar keluar untuk
makan dan membersihkan badan. Jadilah Maria menjaga Mas
sendirian.”
Mendengar cerita itu aku maklum adanya. Saiful berjanji akan
menjaga diriku
sebaik-baiknya bergantian dengan Mishbah. Dan tidak akan
membiarkan diriku
dijaga oleh orang lain.
Maria mengetuk pintu minta izin masuk. Aku minta Saiful untuk
mempersilakan
dia masuk. Maria datang dengan menenteng kantong plastik putih. Ia
duduk dan
mengeluarkan isinya; satu botol air mineral, satu kotak susu
Juhayna isi satu kilo, satu
kotak ashir mangga, sebungkus roti tawar, satu kaleng
vitrac rasa strawberry, satu
kaleng cokelat, sekotak keju president, dan satu kotak tissue meja.
Ia menatanya di
atas meja yang masih kosong tidak ada apa-apa. Maria menawariku
makan atau
minum. Aku sama sekali tidak berselera. Ia mengambil selembar roti
tawar,
mengoleskan keju dan cokelat dan menutupnya dengan selembar roti
tawar di
atasnya dan menyerahkan pada Saiful. Saiful tidak bisa menolaknya.
Maria kembali
83 rekreasi.
122
mengambil roti tawar. Kali ini untuk dirinya. Lalu ia mengambil
dua gelas dan bertanya
pada Saiful mau minum apa. Saiful menjawab, air putih saja. Maria
menuangkan air
mineral ke dalam gelas dan menyerahkan pada Saiful. Ia sendiri
menuangkan ashir
mangga.
Kudengar mereka berdua berbincang sambil makan roti. Saiful
mengucapkan
rasa terima kasih atas kebaikan Maria. Dengan sangat hati-hati ia
menjelaskan
masalah mahram kepada Maria. Dengan bahasa halus ia meminta agar
jika bisa
Maria datang bersama ayah atau adiknya. Jadi seandainya berbincang
atau berada
dalam satu ruangan seperti itu ada mahram yang menemaninya. Bukan
karena tidak
percaya pada Maria tapi demi kedamaian jiwa. Aku diam saja. Sebab
perlahan aku
kembali merasakan kepalaku mulai bersenutsenut. Aku masih bisa
mendengar Saiful
menyitir beberapa sabda Rasul yang memberikan tuntunan cara
berinteraksi pria
dengan wanita. Batasan boleh dan tidaknya.
Aku juga mendengar pertanyaan Maria tentang boleh tidaknya
perempuan
menjenguk pria yang dikenalnya yang sakit. Aku mendengar Saiful
menjawab boleh,
mendasarkan jawabannya bahwa Imam Bukhari dalam kitab shahihnya
secara
khusus menulis “Bab Perempuan Membesuk Lelaki”. Beliau mengatakan,
“Ummu
Darda’ menjenguk seorang lelaki ahli masjid dari kalangan Anshar.”
Dalam sebuah
riwayat juga disebutkan bahwa ketika Ka’ab bin Malik Al Anshari
sakit keras dan dekat
dengan kematiannya, Ummu Mubasyir binti Al Barra bin Ma’rur Al
Anshariyyah
menjenguknya. Maka tidak ada masalah seorang perempuan menjenguk
saudaranya
yang lelaki selama masih menjaga adab kesopanan yang diajarkan
Rasulullah.
Setelah itu aku tidak mendengar lagi apa yang mereka bicarakan.
Aku kembali
merasakan nyeri yang luar biasa dalam tempurung kepalaku. Aku
mengaduh. Lalu
semuanya terasa gelap.
* * *
Ketika aku sadar, aku tidak menemukan Saiful dan Maria. Yang ada
di sisiku
adalah Mishbah dan beberapa teman dari Nasr City yang kukenal
baik. Ada Mas
Khalid, Kang Kaji, Mas Junaedi, Sofwan, Iswan, Khalil, Bimo dan
Chakim. Mereka
semua tersenyum padaku meskipun aku menangkap guratan sedih dalam
wajah
mereka. Mereka mendekat satu persatu dan memelukku pelan sambil
berbisik,
123
“Syafakallah syifaan ajilan, syifaan la yughadiru ba’dahu
saqaman.”84
Kutanyakan pada Mishbah jam berapa sekarang. Mishbah menjawab jam
satu
siang. Apakah ini hari Ahad? Mishbah menjawab iya. Aku minta pada
Mishbah untuk
menghubungi Syaikh Utsman. Rabu lalu aku sudah tidak datang. Aku
minta Mishbah
menjelaskan kondisiku pada beliau dan memohon agar beliau
memberikan doanya.
Mishbah keluar. Aku mencoba mengangkat tanganku. Tidak bisa juga.
Rasanya
seperti lumpuh. Aku meneteskan air mata. Aku belum berani bertanya
sakit apa aku
sebenarnya.
Aku minta pada Mishbah dan teman-teman agar tidak mengabarkan
sakitku ini
ke Indonesia. Aku merasa ingin buang air kecil. Aku katakan itu
pada Mas Khalid. Mas
Khalid mengambilkan pispot. Teman-teman yang lain keluar. Mas
Khalid
memasukkan pispot ke balik selimutku. Tangannya meraba tanpa
membuka auratku
dan berusaha aku bisa buang air kecil di dalam pispot. Aku tidak
bisa membayangkan
kalau dalam keadaan seperti ini yang ada di sampingku hanyalah
Maria seperti tadi
pagi. Apakah aku harus buang air kecil begitu saja di atas kasur
seperti waktu aku
masih bayi dulu, ataukah aku akan meminta tolong padanya untuk
memasangkan
pispot. Selesai buang air kecil, aku minta pada Mas Khalid mentayamumi
aku.85
Tanganku sama sekali tidak bisa digerakkan. Lalu aku shalat dengan
menggunakan
isyarat mata dan tubuh terlentang tiada berdaya seperti seorang
balita.
Teman-teman menemani sampai jam besuk habis. Tinggal Mishbah
seorang
yang tetap menunggui diriku. Mishbah memberi tahu habis maghrib, insya
Allah,
Syaikh Utsman Abdul Fattah akan datang. Aku meneteskan air mata,
diriku telah
menyusahkan banyak orang. Mishbah mengusap air mata yang meleleh
dipipiku
dengan tissue yang dibeli Maria, baunya wangi. Sambil menghiburku
bahwa
semuanya akan kembali seperti sedia kala, aku akan sembuh dan
sehat kembali serta
bisa main bola lagi. Saiful datang membawa bantal. Ia bilang sejak
sekarang ia dan
Mishbah akan menjagaku berdua. Tidur dan istirahat bergantian di
dalam kamar kelas
satu ini. Memang di kamar yang tidak terlalu luas ini hanya aku
seorang pasiennya.
Aku tidak tahu bagaimana nanti membayar ongkosnya. Kepalaku terasa
berat lalu
nyeri dan semuanya kembali terasa gelap.
Dalam gelap aku tidak tahu berada di alam apa. Tiba-tiba aku
berjumpa
dengan orang yang kurus dan bercahaya wajahnya, orang yang belum
pernah aku
84 Semoga Allah menyembuhkanmu secepatnya, dengan kesembuhan yang
tiada sakit setelahnya.
85 Tayamum adalah bersuci dengan menggunakan debu sebagai ganti
wudhu.
124
berjumpa dengannya. Dia mengenalkan dirinya sebagai Abdullah bin
Mas’ud. Aku
tersentak kaget. Abdullah bin Mas’ud adalah satu-satunya sahabat,
yang Baginda
Nabi ingin mendengar bacaan Al-Qur’an darinya. Abdullah bin Mas’ud
adalah Guru
Besar Tafsir dan Qiraah di kota Kufah. Imam-imam besar dari
kalangan tabiin banyak
yang belajar membaca Al-Qur’an darinya. Abdullah bin Mas’ud
tersenyum padaku
serta merta aku mencium tangannya, ia menyambutku dan memeluk
diriku. Aku bisa
berdiri, aku tidak lumpuh. Ibnu Mas’ud membisikkan syafakallah ke
telingaku. Aku
mencium bau harum dari jubah dan tubuhnya.
Beliau melepaskan pelukannya dan memintaku membaca Al Baqarah. Aku
membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali dia membetulkan
bacaanku. Aku
membaca sampai akhir Al Baqarah. Abdullah bin Mas’ud memintaku
berhenti.
Abdullah bin Mas’ud mencium keningku dan hendak pergi. Aku
menahannya. Aku
katakan aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Beliau tersenyum dan
menyilakan
aku bertanya.
Aku tanyakan padanya, “Apakah benar riwayat yang mengatakan Anda
tidak
mengakui mushaf Utsmani?”
Abdullah bin Mas’ud tersenyum padaku dan berkata dengan suara yang
sangat berwibawa,
“Yang tidak mengakui mushaf Utsmani dan tidak suka dengannya
adalah
orang-orang munafik dan orang-orang yang memusuhi agama Allah.
Mereka
mencatut namaku untuk membela tujuan-tujuan mereka yang jahat. Apa
yang ada di
dalam mushaf Utsmani dari Al Fatihah sampai An Naas adalah wahyu
yang
diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada Baginda Nabi.
Tertulis utuh dan
sempurna. Tidak berkurang dan tidak bertambah meskipun cuma satu
huruf. Dan apa
yang ada dalam mushaf Utsmani itulah yang aku ajarkan pada para
tabiin dan mereka
mengajarkan pada murid-muridnya. Begitu seterusnya hingga sampai
kepadamu dan
kepada jutaan umat Muhammad di seluruh penjuru dunia. AlQur’an
terjaga
keasliannya. Memang akan selalu ada orang-orang jahat yang
berusaha meragukan
kebenaran dan merusak kesucian Al-Qur’an. Namun ketahuilah usaha
mereka akan
sia-sia. Sebab Allah sendiri yang akan menjaga keutuhan dan
kesuciannya sampai
hari akhir. Dan orang-orang pilihan Allah di dunia ini adalah
mereka yang disebut Ahlul
Quran.
Orang-orang yang hatinya selalu terpatri pada Al-Qur’an, mengimani
Al-Qur’an, dan berusaha mengajarkan dan mengamalkan isi Al-Qur’an
dengan penuh
keikhlasan.”
125
Sahabat nabi, Abdullah bin Mas’ud tersenyum. Aku pun tersenyum.
Aku ingin
ikut dengannya, tapi beliau tidak memperbolehkannya. Aku lalu
titip padanya salam
sejahtera, rasa cinta dan rasa rindu tiada terkira untuk Baginda
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Sahabat nabi itu lalu meninggalkan diriku. Semakin lama semakin jauh.
Mengecil. Menjadi titik. Dan hilang. Aku merasa kehilangan dan
sedih. Mataku basah.
Ayat - Ayat Cinta - Bab 12

No comments:
Post a Comment