21. Di San Stefano, Alexandria
Selesai pelatihan kami mempersiap segala sesuatu untuk pergi ke
Alexandria.
Dengan cermat Aisha mendata semua keperluan yang harus dibawa.
Termasuk
laktopnya. Selama satu minggu di sana ia berencana menulis
biografi ibunya. Ia
pernah ke Alexandria bersama ibunya. Jadwal di Alexandria telah
tersusun baik. Di
antaranya adalah pergi ke perpustakaan Universitas Alexandria
untuk mencari
tambahan referensi dan menemui Syaikh Zakaria Orabi, seorang imam
masjid yang
menurut keterangan Syaikh Utsman pernah berjumpa dengan Syaikh
Badiuz Zaman
Said An-Nursi.
Dengan Nissan Terrano kami sampai di kota Alexandria. Kota
kebanggaan
rakyat Mesir. Aku tidak hafal betul route kota budaya ini. Setelah
bertanya beberapa
kali akhirnya kami sampai di San Stefano Hotel. Sebenarnya aku
ingin naik bis saja.
Tapi Aisha memaksa menggunakan mobil pribadi. Ketika aku sedikit
ragu akan
keputusannya. Ia meyakinkan diriku dengan berkata:
“Di Jerman aku sering keluar kota dengan mobil pribadi. Aku bahkan
pernah
menempuh jarak Munchen-Hamburg dengan mobil sendiri. Kau jangan
kuatir, insya
Allah selamat.
Apalagi Cairo-Alexandria cuma 177 km, jalannya pun lebar dan lurus,
dengan kecepatan santai tiga-empat jam sampai!”
Karena dia merasa yakin sekali semuanya akan baik-baik saja. Dia
juga ingin
sekali berkeliling Alexandria dengan mobil sendiri maka aku pun
menyetujuinya.
Untuk menginap sebenarnya sudah aku tawarkan padanya menginap di
rumah
khusus tamu milik mahasiswi Malaysia, tapi Aisha tidak mau. Aisha
Aisha ingin
menginap di hotel San Stefano dan di kamar yang ia dan ibunya dulu
pernah
menginap. Sudah jauh-jauh hari ia pesan kamar itu. Ia ingin
bernostalgia sambil
menulis biografi ibunya. Itulah untuk pertama kalinya aku menginap
di hotel
berbintang. Sudah empat kali aku ke Alexandria dan tidak pernah
menginap di hotel.
Dua kali ikut mukhayyam 106 musim panas yang diadakan oleh
Universitas Al Azhar.
Dan yang dua kali bersama teman-teman Malaysia dan menginap di
rumah khusus
tamu milik organisasi mahasiswi Malaysia di Alexandria.
Hotel San Stefano terletak tepat di garis pantai laut Mediterania.
Balkon kami
kami menghadap ke laut. Malam pertama di San Stefano Aisha
berbisik,
106 Perkemahan.
210
“Sayang, Dhab Mashrinya dicoba yuk!”
Aku tersenyum. Aisha selalu berterus terang. Apakah karena dia
bukan
perempuan Jawa? Tapi keterusterangannya membuat aku senang. Aku
teringat
perkataan Sayyidina Muhammad Al Baqir, “Wanita yang terbaik di
antara kamu
adalah yang membuang perisai malu ketika ia membuka baju untuk
suaminya, dan
memasang perisai malu ketika ia berpakaian lagi!” Dan Aisha adalah wanita seperti
itu.
“Dhab Mashrinya tidak kubawa?”
“Kenapa?”
“Aku takut menjelma jadi kadal.”
Aisha tertawa geli.
Di Alexandria kami melewati hari-hari indah. Tidak terlalu kalah
indahnya
dengan hari-hari di tepi sungai Nil. Tapi tepi sungai Nil tetaplah
lebih terkesan, karena
kami menghabiskan malam paling indah sepanjang hayat di sana. Satu
minggu telah
berlalu, tapi Aisha ingin menambah satu minggu lagi untuk
menuntaskan biografi
ibunya. Ternyata dengan memandang laut yang indah Aisha merasa
pikirannya lebih
jernih. Banyak kenangan yang bersama ibunya yang terus berkelabat
di kepalanya. Ia
sudah menulis tiga ratus halaman dan biografi itu belum juga
selesai. Aku merasa
tidak ada masalah menambah hari lagi. Sementara dia sibuk dengan
biografi ibunya,
aku sibuk talaqqi kitab hadits Shahih Bukhari di Masjid Imam Abdul
Halim Mahmud
yang diajar oleh Syaikh Zainuddin El-Maula.
Suatu malam ada sms masuk ke handphone-ku. Dari Yousef .
Kubuka:
“Maria sakit, mama minta agar memberi tahu kamu.”
Aku tersenyum. Madame Nahed masih menganggap aku bagian
dari
keluarganya. Puterinya sakit langsung memberi kabar. Aku tidak
membalas apaapa.
Aku hanya berdoa dalam hati semoga Maria segera sembuh. Dan nanti
jika sudah
kembali ke Cairo, aku akan mengajak Aisha mengunjungi mereka,
sekalian
mengunjungi teman-teman seperjuangan di Hadayek Helwan.
Setelah dua minggu di Alexandria, waktu pulang pun tiba. Dari
mengaji pada
Syaikh Zainuddin aku mendapatkan pengetahuan tentang fiqhul
hadits yang sangat
berharga. Dari Syaikh Zakaria Orabi aku mendapatkan kisah
perjalanan hidup Said
An-Nursi, juga beberapa lembar teks khutbah Jum’atnya yang ditulis
tangan oleh
211
Syaikh Zakaria. Dan Aisha berhasil menyelesaikan biografi ibunya.
Tertulis dalam
bahasa Jerman sebanyak 545 halaman satu spasi, Microsoft Word,
Times New
Roman, font 12. Sehari menjelang pulang ke Cairo kami jalan-jalan
ke kawasan
El-Manshiya yang merupakan pusat kota Alexandria dan disebut juga
Alexandria
lama. Di El-Manshiya itulah tepatnya kota Alexandria kuno berada.
Puing-puing
peninggalan Romawi masih ada di sana. Misalnya dapat di lihat
bekasnya di
Graeco-Roman Museum dan Achaeological and Roman Amphitheatre. Kami
juga
belanja di sana, tak lupa kami membeli dua jaket untuk Hosam dan
Magdi, dua
penjaga keamanan apartemen kami. Sekadar sebagai hadiah dan
pengikat jiwa.
Terakhir kami berziarah ke makam Luqman Al Hakim yang namanya
disebut
dalam Al-Qur’an dan dijadikan nama surat ketiga puluh satu. Makam
Luqman
berdampingan dengan makam Nabi Daniyal. Berada di goa bawah tanah
masjid Nabi
Daniyal, tak jauh dari terminal utama Alexandria. Selama menatap
makam Luqman air
mataku meleleh teringat nasihat Luqman pada anaknya:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar".
"Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi, dan
berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah
akan
mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi
Maha
Mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan
yang baik
dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah
terhadap apa
yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal
yang
diwajibkan (oleh Allah).107 I
Luqman seperti masih hidup dan menasihati diriku dengan suaranya
yang
penuh wibawa dan mengetarkan jiwa. Jika aku punya anak kelak, aku
ingin
mendidiknya seperti Luqman mendidik anaknya. Aku ingin
menasihatinya seperti
Luqman menasihati anaknya. Aku ingin bersikap bijaksana padanya
seperti Luqman
bersikap bijaksana pada anaknya. Ya Tuhan, kabulkan.
107 Surat Luqman: 13,16, dan 17.
212
Ayat - Ayat Cinta - Bab 20

No comments:
Post a Comment