22. Penangkapan
Dalam perjalanan pulang entah kenapa aku merasakan kecemasan yang
menyusup begitu saja dalam jiwa. Selama melewati jalan lurus yang
membelah lautan
padang pasir aku terus berdoa agar diberi keselamatan sampai
tujuan. Kupandang
lekat-lekat wajah Aisha yang sedang konsentrasi mengemudikan
kendaraan. Dalam
hati aku berkata:
Aku cemas bila kehilangan kau
Aku cemas pada kecemasanku108
Aisha terus mengebut dengan tenang. 90 km/jam. Semua kendaraan
berjalan
cepat. Tak ada yang lambat. Bus West Delta menyalib dengan
kecepatan gila.
Memasuki Giza, awal masuk kota Kairo dari arah Alexandria, kami
mampir di sebuah
restoran untuk makan malam dan sedikit membeli oleh-oleh buat Si
Hosam dan
Magdi. Dua penjaga apartemen yang dalam waktu singkat sudah sangat
akrab
dengan kami. Tepat pukul sembilan malam kami tiba di gerbang
apartemen. Dua
malam sebelum Ramadhan tiba. Rencana berangkat umrah awal Ramadhan
terpaksa diundur satu minggu. Baru masuk rumah sms dari Yousef
datang,
mengabarkan kondisi Maria semakin memburuk dan terpaksa harus
dirawat di rumah
sakit Maadi. Kondisi kami sangat lelah. Tidak mungkin langsung
meluncur ke Maadi.
Aku membalas dengan mengabarkan baru tiba dari Alexandria dan
insya Allah besok
pagi akan datang menjenguk.
Selesai membersihkan badan dengan air hangat kami shalat
berjamaah.
Selesai shalat aku turun ke bawah membawa oleh-oleh untuk Hosam
dan Magdi. Dua
bungkus ayam panggang dan dua jaket baru. Mereka senang sekali
menerimanya.
Aku kembali naik dan mengajak Aisha istirahat. Ketika mata baru
saja akan terlelap,
Aisha terbangun dan berlari ke kamar mandi. Ia muntahmuntah.
Kubuntuti dia.
Kupijit-pijit tengkuknya. Mukanya pucat. Dalam pikiranku dia masuk
angin dan
kelelahan. Ia telah bekerja keras, memforsir tenaga dan pikirannya
untuk menulis
biografi ibunya selama di Alexandria. Ia juga harus konsentrasi
selama tiga jam
mengendarai mobil. Aku merasa sangat kasihan pada isteriku. Aku
berniat aku harus
bisa menyetir agar isteriku tidak kelelahan. Kugosok punggungnya
dengan minyak
kayu putih. Telapak tangan, kaki, perut dan lehernya kuolesi
minyak kayu putih.
108 Petikah puisi berjudul “Sajak” karya Penyair Amerika, John
Cornford, diterjemahkan oleh Chairil
Anwar.
213
Kubuatkan ramuan obat andalanku jika lelah dan meriang. Segelas
madu hangat
diberi habbah barakah. Rasulullah pernah memberi tahu bahwa
habbah barakah bisa
menjadi obat segala penyakit. Setelah meminum ramuan itu Aisya
kuajak tidur.
Pagi hari ia tampak segar. Pukul sembilan saat aku bersiap
mengajaknya ke
rumah sakit Maadi. Tiba-tiba dia kembali muntah-muntah. Aku
bingung. Aku takut ia
terkena penyakit yang orang Jawa bilang masuk angin kasep, yaitu
masuk angin yang
bertumpuk-tumpuk dan parah. Aku urung ke Maadi, dengan taksi
kubawa Aisha ke
klinik terdekat. Seorang dokter berjilbab memeriksanya. Hampir
setengah jam
lamanya Aisha berada dalam kamar periksa dengan dokter berjilbab.
Ketika
keduanya keluar, dokter berjilbab itu tersenyum, “Selamat! Setelah
kami periksa air
seninya dan kami lanjutkan dengan USG, isteri anda positif hamil!”
Wajah Aisha cerah. Kepadaku ia mengerlingkan mata kanannya. Aku
merasakan kebahagiaan luar biasa. Begitu sampai di flat Aisha
berkata dengan wajah
cerah,
“Melodi cinta yang kau mainkan sungguh ampuh suamiku. Dan memang
saat
malam pertama dan malam-malam indah setelah itu adalah saat aku
sedang berada
dalam masa subur. Allah telah mengatur sedemikian indahnya. Segala
puji bagi-Nya
yang telah memberikan anugerahNya yang agung ini pada kita
berdua.”
Aku tersenyum dan langsung mencium pipinya yang bersih. Aisha
menggeliat
manja. Ia lalu mengangkat telpon memberi tahu bibinya, Sarah. Ia
juga memberi tahu
Akbar Ali, pamannya di Turki. Aku melihat kalender. Tak terasa
kami telah hidup
bersama sejak malam pertama itu selama satu bulan lebih. Hari-hari
indah selalu
berlalu begitu saja tanpa terasa. Rasanya aku baru sehari bersama
Aisha.
Untuk menghayati keagungan nikmat yang telah Tuhan berikan, kuajak
Aisha
sujud syukur dan shalat dhuha. Kepadanya aku berpesan untuk tidak
banyak
beraktifitas keluar rumah. Menjelang zhuhur aku bersiap untuk
menjenguk Maria yang
sakit. Aisha kuminta di rumah. Dia pesan dibelikan buah pir dan korma.
Tiba-tiba ada
orang membunyikan bel dengan kasar sekali. Aku bergegas membuka
pintu dibuntuti
Aisha yang penasaran siapa yang membunyikan bel seperti orang gila
itu. Begitu
pintu kubuka. Tiga orang polisi berbadan kekar menerobos masuk
tanpa permisi dan
menghardik,
“Kau yang bernama Fahri Abdullah?!”
“Ya benar, ada apa?”
214
“Kami mendapatkan perintah untuk menangkapmu dan menyeretmu ke
penjara, ya Mugrim!”109 bentak polisi yang berkumis tebal.
“Kalian bawa surat penangkapan dan apa kesalahanku?”
“Ini suratnya, dan kesalahanmu lihat saja nanti di pengadilan!”
Aku membaca selembar kertas itu. Aku ditangkap atas tuduhan
memperkosa.
Bagaimana ini bisa terjadi.
“Ini tidak mungkin! Ini pasti ada kesalahan. Saya tidak mau
ditangkap!”
bantahku.
“Jangan macam-macam, atau kami gunakan kekerasan!” bentak polisi
Mesir.
Aku sangat geram pada sikapnya yang sangat jauh dari sopan dan
kelihatan sangat
angkut. Aisha cemas dan memegangi tanganku. Polisi Mesir itu
berkatakata dengan
suara keras seperti anjing menyalak.
“Ayo ikut kami!” tegas polisi kurus hitam sambil memegang
erat-erat tangan
kananku. Aku menarik tanganku tapi polisi hitam mencengkeramnya
kuatkuat dan
memasang borgol. Tangan kiriku dipegang Aisha, dia menangis.
“Ada apa ini Fahri, ada apa!?” tanya Aisha dengan muka pucat.
Polisi berkumis menarik tangan kiriku dari pegangan Aisha dan
memaksa
memborgolku.
“Sebentar Kapten biarkan aku sedikit bicara pada isteriku!?”
ucapku dengan
suara tegas.
“Boleh. Dua menit saja!” kata Si Kumis.
Aku lalu menjelaskan pada Aisha, hal seperti ini sering terjadi di
Mesir. Polisi
Mesir tidak memakai azas praduga tak bersalah. Tapi praduga
bersalah. Jika dicurigai
langsung ditangkap akan dibebaskan kalau terbukti tidak bersalah.
Aku berpesan
pada Aisha untuk bersabar dan langsung menghubungi Paman Eqbal,
teman-teman
PPMI, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia. Surat penangkapannya
kuminta
untuk aku berikan kepada Aisha. Tujuanku agar nanti mudah dilacak
keberadaanku.
Tapi polisi itu tidak memperbolehkannya. Aku pun pasrah digelandang
tiga polisi itu.
Kulihat Aisha terisak-isak. Aku dibawa turun melalui lift. Di
halaman mobil kerangkeng
besi menungguku. Sebelum masuk mobil kerangkeng aku sempat
mendongakkan
109 Wahai penjahat.
215
kepala ke arah jendela flat lantai 7. Di sana kulihat wajah Aisha
yang basah air mata.
Aku tidak tahu akan dibawa ke mana. Dalam beberapa jam saja
kegembiraan yang
aku rasakan berubah menjadi kesedihan dan kecemasan. Kota Cairo
yang indah
tiba-tiba terasa seperti sarang monster yang menakutkan.
Ayat - Ayat Cinta - Bab 23
No comments:
Post a Comment