Bab 1
Let me know that
I’ve done wrong
When I’ve known
this all along
I go around a
time or two
Just to waste my
time with you
Sekali lagi Ben memfokuskan
perhatiannya pada layar laptop di hadapannya, tapi dia
mengalami masalah berkonsentrasi.
Bintik-bintik keringat mulai bermunculan pada
keningnya dan kaus yang
dikenakannya sudah lembap dan lengket ke punggung. Tubuhnya
yang lebih dari sepuluh tahun ini
sudah terbiasa dengan suhu lebih dingin, mengalami
masalah menyesuaikan diri dengan
Jakarta yang panasnya setengah mampus. Dia bisa saja
masuk ke dalam rumah dan
menyalakan AC, tapi dia menolak menjadi orang seperti itu.
Yaitu orang Indonesia sok bule
yang nggak tahan sama Indonesia padahal besar di
Indonesia. Akhirnya dia
memaksakan diri tetap duduk di teras belakang dan memohon
kepada Tuhan agar meniupkan angin
untuknya.
Lima menit kemudian Ben menyerah
setelah sadar keringatnya sudah menetes ke keyboard
laptop. Ugh, gross!!! Buru-buru
dilapnya keyboard itu dengan bagian bawah kausnya
sebelum menutup laptop dan mendorongnya
ke tengah meja. Diusapnya kedua matanya
sambil mendesah panjang. Dia baru
berada di Jakarta selama seminggu, yang berarti bahwa
masih ada tiga minggu lagi
sebelum harus kembali ke Amerika. Itu berarti tiga minggu penuh
dengan kepanasan, keringat yang
sampai menetes ke mana-mana, dan mandi tiga kali sehari
supaya nggak mabok dengan bau
keringat sendiri.
“why, oh, why I here?” gumam Ben
sambil menggunakan lengan kaus yang dikenakannya
untuk menyeka keringat yang
mengalir ke pelipis.
Oh right, because I’m an idiot,
omel Ben dalam hati.
Seorang idiot yang masih stuck
sama cewek yang sudah tidak di temui selama delapan
tahun. Cewek yang sudah dihamili.
Dan bukannya bertanggung jawab dengan menikahinya,
dia malah meminta cewek itu
menggugurkan kandungannya, Cuma karena dia nggak siap
menjadi seorang ayah. Yeah, bukan
saja dia seorang idiot, tapi juga seorang “chicken” yang
lari dari tanggung jawab. Dia
masih ingat betul kejadian sore itu, ketika Jana datang ke
apartemennya untuk memberitahukan
kehamilannya, yang kini dia sadari merupakan
kejadian terpenting dalam
hidupnya. And he screwed that up, bad
“You can’t be pregnant,” ucapnya
tidak percaya
“Hellooo… emangnya kamu piker apa
yang bakal kejadian kalo kita have sex tanpa
kondom?”
Dia tidak menghiraukan nada sinis
Jana, dan bertanya, “How far along are you?”
“Lima minggu”
Dia melakukan perhitungan di
dalam kepalanya untuk mengingat tanggal yang tepat kapan
benih bayi itu ditanamkan dalam
rahim Jana. Ketika dia mendapatkannya, dia langsung
berkata dengan nada menuduh,
“Tapi kamu bilang malam itu nggak pa-pa. kalo tubuh kamu
lagi nggak fertile.”
“Jelas-jelas hitungan aku salah,
karena sekarang aku hamil. Lagian juga hitungan itu kan
nggak bisa dijadiin jaminan
seratus persen.”
“Whaaattt???!!! Kamu seharusnya
bilang ke aku!!!”
Jana menyedekapkan
tangannya,tidak sabar. “Kamu kan lebih berpengalaman daripada aku
tentang hal-hal beginian, jadi
seharusnya kamu yang lebih tau.”
Ben mengangkat kedua tangannya
dan menjalin jemarinya di belakang kepala. “Goooddd,
aku nggak percaya kamu ngebiarin
ini kejadian,” geram Ben sambil mondar-mandir di depan
Jana.
“Ngebiar… Wait a second, are you
blaming this on me???!!!”
Suara Jana langsung melengking
begitu dia memahami tuduhan itu. “ Apa kamu pikir
perempuan bisa hamil sendiri?”
Untuk beberapa menit Ben tidak
menjawab pertanyaan Jana, hanya mondar-mandir
bingung. Segala macam skenario
hidup berkelebatan di kepalanya. Dalam Sembilan bulan,
dia akan masuk kantor sambil
mendorong kereta bayi. Tatapan menghakimi yang diberikan
rekan-rekan kerja kepadanya
karena sudah punya anak pada usia muda padahal baru mulai
kerja membuatnya panas-dingin.
Dia baru berumur 22 tahun, for crying out loud. Masih
seorang mahasiswa di universitas
dengan masa depan terbentang cerah di hadapannya.
Masih ada banyak hal yang ingin
dia lakukan sebelum dia settle down, seperti bungee
jumping di Hoover Dam, snorkeling
di Great Barrier Reef, backpacking keliling Eropa, dan
hal-hal lainnya yang hanya bisa
dilakukan seseorang kalau mereka nggak punya anak.
Lebih dari itu semua, dia tidak
bisa membayangkan betapa marah dan kecewanya Papa dan
Mama begitu mereka tahu bahwa
anak laki-laki meraka satu-satunya, harapan penerus nma
keluarga yang sudah dikirim
jauh-jauh ke Amerika untuk mendapatkan pendidikan terbaik,
bukannya pulang ke tanah air
dengan ijazah, justru dengan seorang pacar yang sedang
mengandung. DAMN IT!!! This can’t
be happening to me.
Ini sama sekali nggak ada dalam
rencananya. Dia seharusnya lulus kuliah dengan cum laude,
bekerja sebagai konsultan manajemen
di salah satu kantor paling bonafide di Amerika dan
baru setelah kariernya mapan, dia
akan memikirkan pernikahan. Dia bisa melihat masa
depannya satu per satu terlepas
dari genggaman dan itu membuatnya panik.
Hanya ada satu solusi untuk ini
semua. Bayi dan mencapai cita-cita tidak bisa hadir dalam
hidupnya pada saat bersamaan. Dan
karena dia tidak mungkin mengesampingkan masa
depannya, maka satu-satunya jalan
adalah untuk men-delete si “little fucker” yang
memutuskan bahwa dia ingin hadir
sekarang, bukannya sepuluh tahun lagi, dan
menghancurkan kehidupannya. Dia
hanya harus meyakinkan Jana agar menyetujui
rencananya ini.
Ben berhenti mondar-mandir dan
menatap Jana. “Jan,kamu harus gugurkan kandungan
kamu,” ucapnya.
Jana tidak langsung membalas,
hanya menatapnya dengan mata terbelalak saking kagetnya.
Ben berlutut dihadapannya dan
merangkum wajahnya dengan dedua tangan.
“ Aku nggak akan bisa kerja dan
mengurus bayi pada saat bersamaan. Dan kamu tahu
sendiri kalo bayi itu perlu
biaya. Biaya yang kita sama sekali nggak punya,” bujuk Ben.
Jana menggigit bibirnya dan
berkata pelan, “Kita bisa… bilang ke mami dan papiku.”
“Dan diomeli abis-abisan sama
mereka?” potong Ben ketus.
“come on, Jan, kamu nggak mungkin
senaif itu, kan? Mereka akan menggoreng kamu hiduphidup
kalo mereka tahu kamu hamil di
luar nikah. Kamu bahkan nggak pernah cerita ke
mereja tentang aku.”
Dia kembali berdiri, memaksa Jana
mendongak agar mata mereka bertemu. Jana kelihatan
siap menangis dan Ben, yang
seumur hidupnya nggak pernah menyakiti cewek, ingin
mengguncang bahu Jana agar dia
fokus pada dilema yang mereka sedang hadapi daripada
tenggelam dalam emosi yang nggak
akan membantu sama sekali. God, help me!!!
Dia mencoba mengatur pernapasan
dan emosinya sebelum berkata-kata lagi. “Ini jalan
terbaik untuk kita berdua. Kita
terlalu muda untuk punya anak. Aku nggak siap jadi ayah,
Jan. dan aku yakin kalo kamu
punya waktu untuk mikir, kamu akan sadar kalo kamu juga
belum siap jadi ibu. Kamu harus
pikirin cita-cita kamu yang nggak akan jadi prioritas lagi
dengan adanya anak ini.”
“Tapi aku cinta sama anak ini,
Ben. Ini anak kita. Hasil hubungan kita,” rengek Jana.
Dan kesabaran Ben yang memang
sudah tipis, habis sama sekali mendengar rengekan ini.
Tanpa bisa mengontrol diri lagi,
dia mulai meneriaki Jana. “Gimana kamu bisa cinta sama
dia???!!!
Kalian bahkan belum ketemu. Aduh,
Jan bisa nggak sih kamu buka mata kamu? Ini…” Ben
menunjuk perut Jana, “Cuma
kecelakaan. Our fuck-up yang seharusnya nggak pernah
kejadian!”
“I can’t believe you just called
our baby that!” teriak Jana.
“But it is a fuck-up. You and the
baby are fuck-ups yang sekarang sedang berusaha
menghancurkan hidupku!!!” Ben
balas berteriak tidak kalah kerasnya.
Ben tahu omelannya sudah kelewat
kasar ketika Jana langsung bangun dari sofa dan dengan
tergesa-gesa meraih ranselnya
sebelum menuju pintu keluar.
“Jan…” Ben berusaha menarik
lengan Jana
“Don’t touch me!” teriak Jana
sambil mengibaskan sentuhan Ben san membuka pintu
apartemen.
Udara dingin langsung menerpa,
tapi Jana sepertinya tidak menyadarinya, karena dia tidak
menggigil sama sekali.
“Baby, I’m sorry… I didn’t mean
it.” Ben sekali lagi meraih lengan Jana, yang kini
menyentakkannya.
“Yes, you did.”
“Jana, please….”
Jana langsung berbalik lalu
mendesis sambil menunjuk wajah Ben dengan jari telunjuknya.
“Kamu pikir we’re fuck-ups? You
know what? Fuck you, Ben. FUCK… YOU!”
Ben hanya bisa menatap Jana
dengan mulut menganga. Inilah pertama kalinya dia
mendengar Jana menyumpah. Jana
adalah jenis cewek pemalu dan selalu bertutur kata
lembut. Satu kata yang tepat
untuk menggambarkannya ketika dia pertama kali bertemu
dengannya adalah “innocent”.
Itulah kualitas yang membuatnya tertarik dengannya, tapi
lihatlah dia sekarang, menyumpah
kiri-kanan. God, dia seharusnya tidak pernah
menyentuhnya. Dia tahu dari awal
bahwa dia, cowok yang dikenal sebagai “man-whore”
kampus karena sudah tidur dengan
hamper setengah populasi murid perempuan, tidak
berhak mendekati Jana, tapi itu
tidak menghentikannya dari menginginkan gadis itu. Dan
lihatlah apa yang terjadi
sekarang.
Belum sempat Ben menyela, Jana
sudah meneriakkan, “ We are done, Ben. Aku nggak mau
lihat muka kamu lagi.”
Dan itulah kata-kata terakhir
kali dia berbicara sambil bertatap muka dengan Jana. Berkalikali
dia berpikir bahwa kalau saja dia
mengatasi masalah itu dengan lebih baik, maka Jana
mungkin masih berada di sisinya
sekarang. Bagaimana mungkin dia dengan mudahnya
menyalahkan Jana atas apa yang
terjadi? Dan dia sudah memanggil Jana dan bayi mereka
“fuck-ups. Bagaimana mungkin dia
bisa mengucapkan itu kepada orang yang dia cintai
dengan sepenuh hatinya?
Satu pergerakan pada sudut
matanya menarik perhatiannya. “Ooommm Beeennn!!!” teriak
Erik, keponakannya yang berumur
empat tahun itu.
Erik berlari kencang ke arahnya
di atas dua kaki kecil,gendut, dan pendek. Tanpa undangan
dia langsung loncat ke
pangkuannya, seakan-akan tubuhnya trampoline. Ketika kaki Erik
dengan tidak sengaja menginjak
testikelnya, Ben langsung berteriak kesakitan. Detik
selanjutnya dia melihat Mama dan
Eva, kakaknya, setengah berlari menujunya.
“Ben?” Tanya Mama khawatir,
sedangkan Eva menatapnya dengan sedikit bingung.
Melihat oomnya meringis, Erik
bertanya, “Oom Ben kenapa?” dengan nada prihatin.
Ben mengangkat tubuh Erik dan
mendudukkannya di kursi sebelah dan dia langsung
menangkup testikelnya dengan dua
tangan sambil membungkukkan tubuhnya. Dia
mendengar Eva bertanya apa yang
telah terjadi, tapi dia hanya bisa mengangkat jari
telunjuknya meminta satu menit.
“He stepped… on… my balls,” jelas
Ben akhirnya dengan sedikit terputus-putus.
Mama dan Eva langsung meledak
tertawa dan Erik celingukan bingung. “Kok malah
diketawain sih? Sakit,
tahu,”gerutu Ben yang setelah lima menit testikelnya masih nyutnyutan.
Bukannya mengasihani, tawa Mama
dan Eva justru semakin keras.
“ Apa ini rebut-ribut siang-siang
begini?” sebuah suara berat terdengar.
Melihat mbah kakungnya, Erik
langsung berlari menuju beliau sambil berteriak,
“Mbaaahhh,” dengan sangat
antusias.
Ketika dia sudah cukup dekat,
Erik melompat dengan kepercayaan vahwa mbahnya akan
menangkapnya, dan beliau memang
melakukanny, lalu memutar-mutar cucu satu-satunya
itu hingga kedua kaki Erik
melayang seperti ontang-anting.
“Pa, hati-hati, inget umur, nanti
punggungnya sakit lagi lho kalo ngangkat yang berat-berat,”
Mama mencoba mengingatkan
suaminya.
“Ver, aku ini belum setua itu,”
balas Papa, tapi dia berhenti memutar-mutar Erik dan
memutuskan untuk memeluk sambil
memandikan berpuluh-puluh ciuman pada wajah
cucunya.
Melihat Papa begitu relaks dengan
keluaganya, nggak aka nada yang percaya bahwa beliau
adalah pengacara kawakan
Indonesia yang cukup disegani, bahkan ditakuti oleh banyak
orang.
“Hihihi… geli. Mbah belum cukur,”
ucap Erik sambil cekikikan dan mencoba menghindari
ciuman Papa.
Puas telah menyiksa cucunya, Papa
menurunkannya. Melihat Erik berjalan ke arahnya, Ben
segera berdiri. Testikelnya tidak
akan bisa tahan kalau harus disiksa dua kali dalam satu hari
ini. Melihat oomnya tidak lagi
duduk, oleh karena itu tidak bisa dijadikan trampoline lagi,
Erik menuju mbah putrinya.
“Mbah, tebak, aku ngpain
kemaren?” ucap Erik sambil menarik tangan kanan mbahnya dan
perlahan-lahan berjalan masuk ke
dalam rumah.
Mama kelihatan berpikir sejenak
lalu berkata, “Pipis di celana?”
“Nggaaak,” teriak Erik sambil
tergelak. “ Aku udah nggak pernah pipis di celana lagi.”
“Oh ya? Wah, pinter ya cucu
Mbah.”
Papa mengikuti istri dan cucunya
itu setelah menerima ciuman dari Eva, yang kemudian
mendekati Ben untuk mencium
pipinya. Ben pun melakukan hal yang sama kepadanya.
“God, you’re so sweaty, Ben,”
ucap Eva sambil mengerutkan hidungnya.
“Yeah I know. Aku perlu ganti
baju dulu sebelum makan siang,” jawab Ben.
“Kayaknya mendingan mandi deh.
Aku bisa pingsan nyium bau keringat kamu.”
“I smell that bad?” Tanya Ben
dengan wajah penuh horor dan dia menaikkan lengannya
untuk mencium ketiaknya.
“Yes. Dan bisa nggak sih kamu
nggak cium-cium ketiak kamu di depan aku? Bisa pingsan
aku,” balas Eva hanya untuk
menggoda adiknya yang langsung permisi ke dalam rumah, dan
menghilang menuju kamar tidurnya
di lantai atas.
Sebetulnya aroma tubuh Ben
baik-baik saja, seperti Polo Sport, cologne yang telah dia
gunakan semenjak SMA, Eva hanya
suka mengganggu adiknya ini setiap kali ada
kesempatan. Setengah jam kemudian
Ben muncul dengan kaus baru dan wajah fresh. Harus
Eva akui bahwa Ben adalah adiknya
dan dia merasa berkewajiban memujinya. Tidak sama
sekali. Selama ini dia sudah
mendapat konfirmasi dari banyak orang tentang betapa
gantengnya adiknya ini. Semenjak
SMP dan garis-garis wajahnya lebih menonjol, Ben harus
belajar menghadapi perhatian
cewek yang berhamburan. Kepribadian ramah dan gampang
diajak bicara juga menambahkan
suatu aura yang membuat semua orang lain ingin dekat
dengannya.
Semua itu berubah ketika dia SMA
dan nama Papa sebagai pengacara menjulang. Menurut
Mama, Ben jadi lebih pendiam dan
sangat berhati-hati dalam bergaul karena takut orang
hanya akan mau bergaul dengannya
karena dia anaknya Oscar Barata. Sifat
ketidakpercayaan Ben terhadap
orang sedikit lebih relaks dan happy di sana. Untuk pertama
kalinya Eva menemukan keramahan
Ben waktu SMP kembali lagi. Jadi masih juga belum
menikah? Seingat Eva, dia bahkan
tidak pernah mengenalkan seorang pacar pun kepada
keluarganya. Merasa agak sedikit
khawatir, dia akhirnya menanyakan hal ini kepadanya
beberapa tahun yang lalu waktu
dia mengunjungi Ben di Chicago.
“So tell me, anything interesting
going on in your life?” Tanya Eva sambil mengaduk-aduk
campuran lettuce, paprika, dan
beberapa buah olive dengan dua spatula kayu.
“Nggak ada yang menarik, just
normal. As usual,” balas Ben sambil membalik dada ayam
tanpa kulit diatas panggangan.
Eva melirik adiknya yang berusaha
sebisa mungkin tidak menatapnya. Semenjak tiba lebih
dari dua minggu yang lalu,Eva
mendapati perubahan pada diri Ben. Dia jauh lebih serius,
bahkan terlalu serius. Jadwal
harian Ben penuh dengan kerja, kerja, dan kerja lagi. Bahkan
pada akhir minggu Eva
menemukannya duduk di sofa ruang tamu dengan TV yang
volumenya di-mute dan tatapannya
menempel pada laptop dipangkuannya.
“Omong-omong, aku udah di sini
dua minggu kok masih belum dikenalin sama pacar kamu
sih?” pancing Eva sambil
memercikkan merica ke salad.
Ben mendengus.”Don’t have one.”
“Oh, come on, how is that
possible? Kamu kan ganteng, punya kerjaan yang mapan, lagi.
Apa lagi yang kurang coba? Unless
you’re gay.”
Eva yakin Ben nggak gay, karena
dia menemukan majalah playboy di kamar tidurnya ketika
dia masuk ke sana beberapa hari
yang lalu untuk membersihkannya, tapi bisa saja kan dia
salah. Banyak laki-laki gay yang
nggak kelihatan gay sama sekali.
Dengan sangat hati-hati, Eva
berbisik, ”Are you gay? Karena kalo kamu emang gay, kamu
tahu kan kamu selalu bisa bilang
ke aku? Aku nggak punya masalah sama sekali dengan
orientasi seksual kamu, Whatever
that is. Kamu bisa suka perempuan atau laki-laki, atau
dua-duanya, aku nggak peduli, aku
akan tetap support kamu.”
“Aku nggak gay!!!” teriak Ben
dengan penuh ketersinggungan.
“Jadi kenapa kamu masih juga
belum punya istri?”
“Karena aku belum ketemu yang
cocok, oke?”
“But, you are meeting women
right?”
“What’s with all the questions?”
Ben balik bertanya sambil membuka lemari es dan
menuangkan air putih ke dalam dua
gelas sebelum menawarkan satu kepada Eva.
“Aku perhatiin kegiatan kamu
sehari-hari Cuma kerja melulu, nggak ada yang lain.” Eva
meminum seteguk air putihnya.
“Itu karena aku lagi ada proyek
besar yang harus aku kelarin. Kalo aku berhasil, aku bakal
naik jabatan di kantor.”
“Tapi apa perlu kamu sampe
terobsesi begitu? Dan biasanya Cuma ada dua alasan kenapa
orang terobsesi sama kerjaan
mereka. Pertama, karena mereka mencoba membuktikan
sesuatu, dan yang kedua, karena
mereka mencoba melarikan diri dari sesuatu.”
Sejenak Ben kelihatan memikirkan
kata-kata Eva, kemudian berkata, “Aku masuk ke dalam
kategori yang mana?”
“Yang kedua,” jawab Eva pasti.
Ben mendengus. “Trust me, aku
nggak sedang melarikan diri dari apa pun.”
“I think you are. I mean, just
look at you…”
“What’s wrong with me?”
“Everything. Kapan terakhir kali
kamu in a committed relationship dengan seseorang
perempuan?”
Tanpa pikir panjang Ben menjawab,
“Sekitar setahun yang lalu.”
“Really?” Eva betul-betul
terkejut mendengarnya. Ben mengangguk lalu menenggak habis
air putihnya. “What happened?”
lanjut Eva.
“Dia mutusin kalo dia udah bosen
nunggu sampe aku ngelamar. Beberapa bulan yang lalu
aku diundang ke pesta
pernikahannya dengan seorang pengusaha dari Alabama.”
“That’s fast,” gumam Eva.
“No, not really. Kalo emang udah
ketemu yang cocok, kenapa harus nunggu lagi?”
“Udah berapa lama kamu pacaran
sama dia?”
“Beberapa bulan.” Ben mengangkat
dada ayam yang sudah matang dari bakaran dan
meletakkannya ke atas dua piring
makan.
“Kenapa kamu nggak pernah cerita
tentang dia ke aku?” Eva mengangkat baskom besar
berisi salad mereka dan berjalan
menuju meja makan.
“Karena aku nggak ada rencana
untuk nikahin dia,” jawab Ben sambil mengangkat dua
piring yang penuh dengan makan
malam mereka dan mengikuti Eva.
“Apa kamu pernah ketemu perempuan
yang kamu mau kenalin ke keluarga kamu?” Eva
duduk di kursi makan dan
menghadap Ben yang kelihatan sedang berkonsentrasi. Eva pikir
dia akan berkata “Ya”, Tapi yang
keluar justru, “Nggak.”
Eva mengerutkan dahinya mengingat
pembicaraan itu. Dia selalu ingin tahu siapa yang
terlintas di kepala Ben pada saat
itu, sebelum dia memutuskan mengatakan”Nggak”.
Pikirannya buyar pada detik itu
karena Ben sudah berdiri di hadapannya, membuatnya sadar
bahwa rambut Ben agak basah.
Tanpa bisa mengontrol diri dia sudah cekikikan. Ben
langsung mengerutkan dahi dan
ketika sadar bahwa Eva sudah mengerjainya dengan
berbohong mengenai bau badannya,
dia mendesis, “I will make you pay for this.”
“Oh, come on Ben, don’t be mad.
Aku Cuma bercanda, aku nggak nyangka kamu bakalan
keramas segala,” ucap Eva sambil
berjalan cepat mengejar Ben yang sudah berjalan melewatinya.
No comments:
Post a Comment