Bab 2
When we live such
fragile lives
It’s the best
way to survive
“Bunda akan hitung sampe tiga,
kalo kalian belum turun juga, kalian bakalan jalan kaki ke
sekolah!” teriak Jana dari bawah
tangga yang disusul teriakan-teriakan panik.
“Tunggu!!! Lho kok… kaus kaki aku
di mana? Erga!!! Kamu ambil kaus kakiku, ya?” teriak Raka.
“Nggak kok. Aku udah ada,” jawab
Erga.
“Satu…,” teriak Jana.
“Aggghhh…. Tunggu!!! Kaus kaki
Raka ilaaa…ng,” teriak Raka lagi. Jana mendengar langkah kecil berlari masuk kembali ke
dalam kamar tidur.
“Pake yang lain aja kenapa sih?”
Jana mendengar Erga sedikit mengomel.
“Aku nggak mau pake yang lain.
Itu kaus kaki yang aku suka,” jawab Raka.
“Sama aja. Sama-sama putih kok,”
balas Erga.
“Lain,” Raka tetap bersikeras.
“Dua…,” teriak Jana lagi sambil
melirik jam tangannya. Sekarang sudah pukul 06.35. dia
mendongak ketika mendengar ada
langkah halus sedang menuruni tangga. Erga terlihat rapi
dengan seragam sekolahnya.
“Raka mana?” Tanya Jana.
“Bentar lagi turun, lagi pake
kaus kaki,” ucap Erga lalu berjalan menuju lemari sepatu.
“Rakaaa!!! Panggil Jana.
“Bentar… bentar…,” Raka menjawab
sebelum kemudian tubuh kecilnya berlari menuruni
tangga. Lain dengan Erga, Raka
masih terlihat berantakan. Rambutnya tidak disisir dengan
rapi, kemejanya sudah dimasukkan
ke dalam celananya dengan asal dan kerahnya naik di
bagian belakang.
“Dasinya mana?” Tanya Jana sambil
menurunkan kerah kemeja Raka.
Raka langsung melirik Erga yang
mengangguk kepalanya. “Ada di Erga,” jawab Raka.
Jana mencoba melarikan
jari-jarinya pada rambut Raka agar lebih rapi, tapi rambut keriting
itu menolak bekerja sama, sebelum
melepaskan Raka berlari ke arah lemari sepatu.
“Lampu udah mati semua?” Tanya
Jana.
“Dah,” jawab Erga dan Raka
bersamaan.
“AC?” Tanya Jana lagi.
“Dah,” jawab Raka sambil
mengenakan sepatunya.
“Yakin?” Tanya Jana. Raka
mengangguk semangat.
“Ya udah, ayo berangkat. Kita
udah telat ini,” ucap Jana dan mematikan lampu ruang tamu.
Dia membuka pintu depan dan
menunggu dengan sedikit tidak sabar hingga Raka selesai
mengikat tali sepatunya.
Pukul 06.45 Erga dan Raka lari
melewatinya sambil berteriak, “Aku duduk depan,” pada saat bersamaan.
“Aku duduk depan, kamu kemaren
udah duduk di depan,” omel Erga.
“Tapi aku kemaren kan sakit, jadi
Bunda kasih aku duduk depan,” sangkal Raka.
“Kamu ngalah dong sekali-sekali.
Minggir, sekarang giliran aku.” Erga mencoba mendorong
Raka yang sedang mengadang di
depan pintu penumpang mobil.
Jana hanya bisa geleng-geleng
kepala melihat kelakuan mereka. Setelah mengunci pintu
rumah dan dia pun menaiki mobil
dan menghidupkan mesin. Dia menurunkan kaca jendela
bangku penumpang dan berteriak,”
Bunda nggak peduli siapa yang duduk depan, tapi kalo
kalian nggak masuk sekarang juga,
Bunda berangkat sendiri.”
Dari kaca spion kiri Jana melihat
Erga menundukkan kepalanya dan membuka pintu
belakang, sedangkan Raka membuka
pintu depan dengan senyum penuh kemenangan. Mau
tidak mau dia tersenyum melihat
anak-anaknya ini. Meskipun mereka adalah anak kembar
dengan wajah sama persis, tingkah
laku mereka seperti bumi dan langit. Keduannya
memang memliki kepandaian jauh di
atas rata-rata, tetapi secara emosi Erga jauh lebih
dewasa daripada Raka. Sehingga
walaupun kadang-kadang Erga kelihatan sudah kehabisan
kesabarannya mengahadapi Raka,
akhirnya dia selalu mengalah juga. Untungnya mereka
masih berumur tujuh tahun jadi
masih ada beberapa tahun lagi sebelum mereka mulai
pacaran. Jana berharap mereka
setidak-tidaknya akan memiliki selera yang jauh berbeda,
sehingga tidak akan bertengkar
rebutan cewek. Dia betul-betul tidak tahu bagaimana cara
menengahi pertengkaran seperti
itu.
Jana mengucap syukur karena lalu
lintas cukup lancer untuk hari Rabu, sehingga mereka
bisa sampai di sekolah sebelum
bel berbunyi. “Belajar yang tekun, ya,” ucap Jana sambil
mencium pipi Raka dan Erga.
“Jangan bandel. Bunda nggak mau dipanggil sama Kepala
Sekolah lagi gara-gara kalian
disetrap. Oke?”
“Oke, Bunda,” jawab Erga dan Raka
bersamaan. Lalu mereka turun dari mobil dan berjalan
memasuki area sekolah sambil
bergandengan tangan. Anak-anaknya tidak pernah berhenti
membuatnya terkesima, satu menit
bertengkar sudah seperti perang dunia ketiga, tapi
menit selanjutnya mereka sudah
adem-ayem seakan-akan pertengkaran tidak pernah
terjadi.
Setelah satu lambaian tangan
kepada mereka, Jana membawa mobilnya kembali ke jalan
raya. Hari ini jadwalnya
superpadat. Ada proyek pembangunan mall baru di kawasan
Mangga Dua dan Bos sudah
merongrongnya agar segera menyelesaikan desain bangunan.
Kalau saja Minah, pengasuh
anak-anaknya tidak memutuskan menikah dengan sopir Jana
sebulan yang lalu, dan dua-duanya
balik ke Jawa, Jana yakin pekerjannya tidak akan
terbengkalai seperti sekarang.
Dia betul-betul tidak bisa berpikir dikelilingi oleh dua anak
berumur tujuh tahun yang
bandelnya ngalah-ngalahin Dennis the menace. Satu hari setelah
Minah pergi, dia dipanggil ke
sekolah karena Raja baru saja membuat salah satu temannya
babak-belur. Ketika dia melihat
Raka yang tidak lebam sama sekali meskipun wajahnya agak
sedikit merah dan temannya dengan
seragam agak robek dan hidung disumbat tisu karena
mimisan, hal pertama yang
terlintas di kepalanya adalah: sejak kapan anaknya jadi preman
sekolah?
Ketika Jana Tanya kenapa dia
ngegebukin temannya, Raka hanya menjawab, “Abis Mark
bilang Erga banci, soalnya Erga
nggak mau bales pukulannya. Banci itu bad word kan,
Bunda? Mark nggak boleh kan pake
kata itu?” dengan jawaban seperti itu Jana tidak bisa
memarahinya, apalagi karena dia
hanya mau membela harag diri kembarannya.
Lain waktu Jana di telepon oleh
Asti, ibunya Bowin, salah satu teman Raka dan Erga, yang
mengundang mereka ke acara ulang
tahunnya. Asti berteriak histeris di telepon dan
memintanya segera menjemput
anak-anak dari rumahnya saat itu juga. Jana terpaksa
meninggalkan rapat dengan
kontraktor dan datang secepat mungkin ke tempat kejadian.
Dia baru saja turun dari mobil
ketika melihat beberapa anak yang basah dari ujung rambut
hingga ujung kaki dan diselubungi
busa berwarna putih, berhamburan keluar dari rumah
Asti. Buru-buru dia masuk ke
dalam rumah dan mengikuti jejak-jejak basah menuju kolam
renang di halaman belakang.
“Jeng Jana, akhirnya sampai
juga,” teriak Asti masih histeris.
Jana mencoba tidak menghiraukan
cara Asti menyapanya. Dia paling benci dipanggil “Jeng”,
karena terkesan seperti ibu-ibu
pejabat dengan sasakan supertinggi dan kalau bicara
biasanya menggunakan bahasa Jawa
halus atau bahasa Belanda.
“Erga sama Raka baik-baik aja,
kan?” Tanya Jana khawatir.
“Mereka sih nggak pa-pa, kolam
renang saya yang bermasalah,” balas Asti sambil
menggiringnya ke halaman
belakang.
Langkah Jana langsung terhenti
ketika melihat kolam renang berukuran kecil dan lebih
cocok disebut kiddy pool(tapi
Asti, yang bangga sekali karena punya kolam di halaman
rumahnya menolak menyebutnya
kiddy pool), sudah berlimpah busa warna putih.
“Erga sama Raka numpahin detergen
ke dalam kolam,” jelas Asti. “Saya lagi pergi ke dapur
sebentar untuk ambil minuman,
waktu saya balik keadaan udah begini.”
“Seberapa banyak yang
ditumpahin?” Tanya Jana mencoba serius, padahal dalam hati dia
ingin ketawa. Dia tidak tahu dari
mana Raka dan Erga mendapat darah kebandelan mereka,
karena jelas-jelas dia tidak
pernah sebandel ini waktu SD.
“Cukup untuk membuat kolam renang
saya jadi begini,” jawab Asti sambil melambaikan
tangannya kea rah kolam renang
dengan putus asa.
Tanpa meminta penjelasan lebih
lanjut, Jana segera mencari Erga dan Raka lalu menggeret
mereka untuk meminta maaf kepada
Asti dan Bowin Karena telah merusak acara ulang
tahun itu.
“Saya minta maaf sekali soal ini.
Tolong saya dikirimi tagihan untuk membersihkan kolam
renang,” ucap Jana sambil
menyodorkan kartu namanya kepada Asti.
“Jeng Jana, mohon maaf lho, Jeng,
kalo saya lancing. Saya tahu anak-anak seumuran Raka
dan Erga memang suka bandel, tapi
kok sepertinya mereka bandelnya luar biasa, ya?”
Jana mencoba tersenyum ketika
mendengar komentar ini, meskipun dalam hati dia ingin
meneriaki Asti agar tidak
mengata-ngatai anak-anaknya. “Biasanya mereka nggak sebandel
ini, tapi babysitter mereka baru
berhenti dan saya belum dapat pengganti yang cocok untuk
mereka,” ucapnya semanis mungkin.
“Saya tahu Jeng sibuk, tapi apa
nggak bisa Jeng berhenti kerja untuk jagain mereka?”
meskipun nada Asti lembut, Jana
mendengar ada nada sinis di dalamnya.
“Asti, saya ini single parent.
Kalo saya berhenti kerja, itu berarti anak-anak saya nggak bisa
makan,” ucap Jana ketus.
“Oh, Jeng, saya minta maaf. Saya
nggak tahu.”
Asti adalah jenis orang yang
selalu mau tahu urusan orang lain, sehingga Jana hanya harus
menunggu lima detik sebelum Asti
menanyakan pertanyaan selanjutnya. “Ayah mereka ada
di mana?”
Jana mengembuskan napasnya
sebelum menjawab, “Ayahnya anak-anak sudah lama
meninggal.”
Suatu kebohongan besar, dia
bahkan tidak tahu keberadaan laki-laki yang sudah
menghamilinya itu. Mata Asti
langsung terbelalak, dan sebelum dia bisa bertanya-tanya lagi,
Jana langsung memotong, “Maaf,
saya harus buru-buru. Sekali lagi saya mohon maaf soal
ini, tolong saya ditelepon kalo
tagihannya udah sampai.”
Jana langsung meninggalkan Asti
yang masih kelihatan penasaran. Dia tahu bahwa
kehidupannya adalah suatu misteri
di antara para orangtua teman-teman anak-anaknya.
Kebanyakan dari mereka menyangka
dia pasti menikah muda karena di umurnya yang baru
27 tahun dia sudah punya anak
berumur tujuh tahun. Dia bahkan yakin bahwa beberapa
dari mereka menudingkan jari padanya
sebagai korban MBA alias Married by Accident.
Tetapi dia sudah hidup dengan
gossip-gosip itu semenjak kehamilannya dan dia sudah kebal.
Jana kembali menumpukan
perhatiannya ke jalan raya menuju Rasuna Said. Dia memasuki
area bangunan kantornya dan berhenti
di depan lobi. Joko langsung mengambil alih
posisinya di belakang setir.
“Selamat pagi, Mbak,” ucapnya.
“Pagi, Jok,” balas Jana dan
melangkah masuk ke bangunan kantor.
Jana memasuki ruang kerjanya
tepat pukul 08.30. dia meletakkan tas di atas meja dan tidak
lama kemudian Caca, asistennya,
melangkah masuk sambil membawa agendanya.
“Pagi, Bu,” ucapnya. Jana hanya
menggangguk dan duduk di kursi kerja.
“Ibu ada pertemuan dengan TO jam
09.30 untuk membicarakan tentang desain Mangga
Dua; jam 11.30 ada pertemuan
dengan Ibu Marlene tentang proyek di yogya. Saya udah
minta Joko supaya menjemput
anak-anak dari sekolah nanti, jadi ibu nggak usah khawatir
tentang itu. Dari jam 14.00
sampai 17.00 udah saya blok supaya nggak ada yang ganggu ibu
di kantor.”
Jana sudah terbiasa dengan
keefesienan Caca dalam mengatur jadwalnya sehingga dia
hanya perlu mengangguk sebagai
tanda setuju. Setelah Caca berlalu, Jana menyalakan
komputer di mejanya dan menunggu
hingga wajah Erga dan Raka menghiasi layar sebelum
menyerang outlook. Untungnya
tidak banyak e-mail yang harus dijawab. Pukul 09.25 dia
melangkah menuju ruang kerja TO,
alias Tjakra Oetomo, bosnya. Tubuh pak Tjakra yang
tinggi besar sedang berdiri
dihadapan beberapa maket gedung-gedung yang telah didesain
oleh para arsitek dan dibangun
oleh kontraktor di bawah pengawasannya.
“Pagi, Pap,” ucap Jana lalu
mencium pipinya.
“Pagi, saying,” sambut Papi dan
membalas ciuman Jana.
“Ayo kita lihat desain kamu untuk
Mangga Dua,” lanjutnya.
Mereka berjalan menuju sebuah
meja besar dan Jana membuka gulungan plan di
genggamannya untuk di periksa
oleh Papi, yang langsung mengeluarkan kacamata baca dari
kantong kemejanya. Setelah
menenggerkan kacamata pada batang hidunganya, Papi
membungkuk dengan pulpen merah di
tangan kanan. Jana sadar bahwa untuk orang
seumurannya, Papi masih kelihatan
superfit dan ganteng dengan gaya dandy ala Sean
Connery. Banyak orang mengatakan
Papi orangnya “sulit” dan “keras” karena selalu
menuntut yang terbaik dari semua
orang, tetapi selama ini orang selalu menuntut yang
terbaik dari semua orang, tetapi
selama ini orang selalu menoleransi sikapnya karena dia
adalah salah satu arsitek terbai
di Indonesia. Papi, seperti juga Eyang Kung, adalah
pemegang tujuh puluh persen saham
PT. Oetomo Jaya yang menguasai bisnis konstruksi
pembangunan gedung-gedung di area
Jawa dan Bali. Di dalam keluarga Oetomo hanya ada
dua jenis karier, yaitu
arsitektur dan teknik lanskap. Semenjak kecil Jana sudah di persiapkan
oleh keluarganya untuk bergabung
dengan perusahaan turun-temurun ini. Entah insiden
horor apa yang akan terjadi kalau
misalnya dia memutuskan berkarier di dunia lain.
Kemungkinan Papi akan langsung
kena stroke.
Beberapa menit kemudian, setelah
Papi puas dengan coretannya, beliau menegakkan
tubuh. Tangannya mendorong plan
yang ketika di bentangkan di atas meja setengah jam
lalu masih rapi dan bersih, dan
sekarang kelihatan seperti salah satu adegan film Texas
Chainsaw Massacre, ke arah Jana.
Itulah Papi, semua orang yang berpikir beliau orangnya
“sulit” dan “keras”, jelas-jelas
nggak pernah merasakan jadi anaknya. Kedua kata itu terlalu
lembut untuk menggambarkan sikap
Papi padanya. Di dalam kepala Jana, hanya ada satu
kata yang bisa menggambarkan
Papi, yaitu “Impossible”. Tidak peduli apa yang Jana sudah
capai di dalam hidupnya, Papi
tidak akan pernah puas. Sifat Papi itu semakin parah setelah
Jana pulang dari Amerika, tanpa
membawa ijazah dan hamil. Mungkin kalau dia membawa
laki-laki yang sudah
menghamilinya pulang, Papi dan Mami masih bisa menoleransinya.
Masalahnya Jana yang saat itu
patah hati dan suoer pissed-off dengan bajingansatu itu tidak
sudi mengucapkan namanya.
Percakapan yang dia miliki dengan
kedua orangtuanya delapan tahun lalu terlintas di
benaknya.
“Siapa yang menghamili kamu,
Jana?” teriak Papi.
“Cowok yang aku kenal di frat
party beberapa bulan yang lalu.” Jawab Jana yang disambut
pekikan, “Oh, lord, help us,”
dari Mami yang kini menatapnya seakan-akan dia memiliki
tanduk.
Sepertinya beliau tidak percaya
anaknya yang diajar untuk menghadiri misa di gereja setiap
minggu berkelakuan seperti
perempuan jalang.
“Namanya siapa?” Tanya Papi penuh
selidik.
“I don’t know,” jawab Jana.
“Kamu bahkan nggak tahu namanya?”
Papi sudah berteriak lagi dan Mami mencoba
menenangkannya.
Papi menghela napas dalam sebelum
berkata-kata lagi. “Apa dia tahu kamu hamil?”
tanyanya dengan lebih tenang.
“Pap, gimana dia bisa tahu? Aku
bahkan nggak pernah ketemu dia lagi setelah malam itu.”
Dalam hati Jana berharap dia
tidak akan disambar petir karena sudah membohongi
orangtua.
“Oh my God, Jana. Papi dan Mami
membesarkan kamu lebih baik dari ini. Mami nggak
percaya kamu bisa sebegini
teledornya dengan hidup kamu. Muka Papi dan Mami mau
dikemanain kalo tetangga sampe
tahu kamu hamil tanpa suami?” ucap Mami yang kelihatan
sudah siap menangis.
Sekarang giliran Papi mencoba
menenangkan Mami sambil memberikan tatapan penuh
tuduhan kepada Jana. Kalau saja
tatapan bisa membunuh, Jana pasti sudah mati berlumuran
darah. Setelah Mami lebih tenang,
Papi berkata, “Jana, kamu lihat kan kehamilan kamu ini
sudah membuat Mami stress? Apa
kamu nggak kasihan sama Mami? Kamu harus
menggugurkan kandungan kamu,
Jana.”
“Pap…”
“Sekarang, sebelum terlambat,”
potong Papi dengan nada meninggi.
“Papi…” Jana mencoba menyela tapi
tidak dihiraukan.
“Papi akan cari tahu klinik
aborsi yang bisa tutup mulut.”
“Aku nggak mau aborsi, aku mau
membesarkan bayi ini,” teriak Jana mulai histeris
“Dan apa rencana kamu untuk
ngasih makan bayi ini?”
“Aku bisa cari kerja.”
“Dan kerja jenis apa yang
kira-kira bisa kamu dapatkan hanya dengan ijazah SMA, hah?”
“I don’t know. Something.”
Papi mendengus keras. “Kalo kamu
pikir Papi akan ngebiarin kamu tinggal di rumah ini
sementara kamu punya anak haram
itu, kamu salah.”
“Aku nggak perlu bantuan Papi,
oke? Aku bisa berdiri sendiri.”
“No… you cannot. You are a
child!!!”
Dan Jana yang seumur hidupnya
selalu taat dan sopan pada orangtua, untuk pertama
kalinya meledak di hadapan
mereka. “Yes, I am a child, yang masih suka bikin kesalahan dan
perlu bimbingan orangtua. Aku
minta maaf karena udah ngecewain Papi, tapi keputusanku
sudah bulat, aku nggak mau
aborsi. Bayi ini nggak salah apa-apa, dan dia nggak seharusnya
jadi sasaran cuma gara-gara
kesalahan yang aku buat. Dia berhak hidup. Dan kalo Papi dan
Mami nggak bisa nerima kenyataan
itu hanya gara-gara malu sama tetangga, itu berarti Papi
dan Mami nggak berhak mengenal
anak ini.”
Dan dengan dramatis Jana
melangkah pergi, meninggalkan orangtuanya terbengongbengong.
Dia tidak bisa menghabiskan satu
detik lagi di bawah atap Papi kalau beliau tetap
memaksanya menggugurkan
kandungannya dan memanggil anaknya “anak haram”. Dia
tidak tahu kemana dia akan pergi
meminta bantuan. Putra, adiknya yang baru saja
menginjak bangku SMA masih
tinggal dengan orangtua mereka dan di bawah kontrol
mereka. Papi adalah anak tunggal,
sedangkan Tante Mika, adik Mami, tinggal di Jepang.
Untungnya dia tidak perlu pusing
lama-lama karena tanpa disangka-sangka, Papi menuruti
permintaannya.
Sampai sekarang dia masih tidak
percaya bahwa dia berani memberikan ultimatum seperti
itu kepada orangtuanya, tapi
setiap hari melihat Raka dan Erga, dia bersyukur telah
melakukannya. Dan dia rasa Papi
dan Mami juga merasakan hal yang sama karena mereka
lebih memanjakan cucu-cucu mereka
daripada dirinya.
“Masih banyak perbaikan yang
perlu kamu lakukan untuk desain itu.” Kata-kata Papi
menarik Jana dari masa lalu.
Jana tahu pertemuan mereka sudah
berakhir ketika Papi meninggalkannya membereskan
plan dan melangkah menuju
mejanya. Jana baru saja mengambil satu langkah menuju pintu
ketika Papi memanggilnya. “Jana,
ada sesuatu yang Papi perlu bicarakan dengan kamu.”
Hal pertama yang terlintas di
kepala Jana adalah: “Oh no, what did I do this time?” dari
pengalaman, tidak pernah ada hal
bagus yang mengikuti perintah itu. Dengan langkah ragu
Jana menuju meja Papi. Perhatian
Papi tertuju pada selembar kertas di hadapannya, yang
kelihatan seperti undangan. Jana
melirik amplop di atas meja, yang berlambangkan salah
satu yayasan yang menerima
sumbangan dari keluarga Oetomo setiap tahunnya.
“Ini undangan untuk acara
penggalangan dana minggu depan. Papi mau kamu menghadiri
acara ini.” Papi meletakkan
undangan yang tadi di bacanya di hadapan Jana, yang kini
menatap Papi dengan sedikit
mengerutkan dahi.
“Bukannya biasanya Papi yang
selalu datang sendiri ke acara ini?” tanyanya bingung.
“Biasanya memang begitu, tapi ada
bagusnya kamu mulai lebih aktif mewakili Papi ke acaraacara
seperti ini daripada ngedekem aja
di rumah kayak kura-kura.”
Jana hanya mengerlingkan matanya
kepada Papi sebelum berkata, “Pap, aku punya anak
kembar umur tujuh tahun.
Babysitter dan sopirku baru aja berhenti, kerjaanku seabrek, aku
nggak punya suami yang bisa
bantu, mana aku ada waktu?”
“Kamu kan bisa titipin Erga dan
Raka sama Mami dan Papi kalo kamu mau keluar,” Papi
bersikeras
Jana menatap Papi curiga, tidak
biasanya beliau sebegini ngotot menginginkannya muncul di
hadapan publik. “Bukannya Papi
bilang ke aku untuk nggak muncul di publik? Bahwa akan
mempermalukan keluarga kalo
melakukan itu?” Tanya Jana curiga.
“Itu kan delapan tahun yang lalu
waktu kamu hamil tanpa suami.” Balas Papi tenang.
“So what, sekarang aku single
mother. Masih tanpa suami di mana bedanya?”
Papi mengembuskan napas dan
berkata, “Papi Cuma nggal mau kamu kesepian. Erga dan
Raka juga udh semakin besar,
mereka perlu figure laki-laki dalam kehidupan mereka.”
Hah? Sejak kapan Papi jadi
sentimental begini? Jana menatap Papi tajam, kemudian
menyipitkan matanya untuk lebih
memastikan lagi. Laki-laki di hadapannya kelihatan seperti
Papi, tapi jelas-jelas tidak
bertingkah laku seperti Papi. Kalau dia ada waktu mungkin dia
akan menginvestigasi hal ini
lebih lanjut, tapi karena dia tidak ada waktu, akhirnya dia hanya
berkata, “Aku harus membicarakan
hal ini sama Erga dan Raka dulu, nanti Papi aku kasih
tahu.”
Tanpa menunggu balasan dari Papi,
Jana langsung ngacir keluar ruangan itu.
Bab 3
I’ll keep you,
my dirty little secret
Don’t tell
anyone or you’ll be just another regret
Hope that you
can keep it, my dirty little secret
Who has to know
Malam itu, setelah anak-anak
pergi tidur dan dia punya sedikit waktu untuk berpikir, jana
mengulang percakapan dengan Papi
tadi pagi. Terutama tentang menemukan figuran lakilaki
untuk Erga dan Raka. Akhir-akhir
ini dia memang sudah memiliki percakapan ini dengan
dirinya sendiri. Apakah dia telah
melakukan hal yang benar dengan menyembunyikan Raka
dan Erga dari Ben? Goooddd!!! Dia
masih tidak percaya bahwa dia bilang sudah
menggugurkan bayi mereka di
e-mail terakhir kepada Ben. Entah apa yang Ben akan lakukan
kalau dia sampai tahu Jana sudah
membohonginya? Bayangan Ben menggelutinya sebelum
membakarnya hidu-hidup terlintas
di kepalanya.
Mungkin memang tiba saatnya untuk
mulai dating lagi, meskipun prospek itu membuatnya
panas-dingin nggak karuan. Ben
adalah pacar pertama dan terakhirnya. Selanjutnya, dia
bahkan tidak tahu cara dating
yang benar. Apa yang dia alami dengan Ben bukanlah dating,
lebih seperti: mereka ketemu,
makan siang, besoknya Ben menemaninya ke mana-mana,
begitu juga dengan hari-hari
berikutnya, dan sebelum dia menyadari apa yang sedang
terjadi, mereka sudah pacaran.
Tanpa Jana sadari, dia mengusap dadanya yang masih terasa
sakit hingga sekarang mengingat
apa yang telah Ben lakukan padanya.
Kalau memang mau mencari figure
ayah untuk anak-anak dengan menikah lagi, dia harus
melakukannya secepat mungkin.
Karena Raka sudah pernah menanyakan keberadaan
ayahnya ketika dia berumur empat
tahun. Saking paniknya, bukannya menjawab pertanyaan
itu, dia justru berkata, “Raka,
habiskan makanan kamu.”
Keesokan harinya tentunya dia
langsung menelepon Mami dengan penuh kepanikan. Dan
Mami membantunya memformulasikan
jawaban yang mudah dimengerti oleh balita.
Awalnya dia tidak setuju dengan
jawaban itu, tapi ketika mendengar Mami mengomel, “Apa
kamu lebih memilih bilang ke
mereka kalo ayah mereka itu bajingan cap kodok ngorek yang
udh menghamili kamu dan tidak
bertanggung jawab?”, dia tidak punya pilihan. Untungnya
dia tidak perlu menggunakan
respons itu hingga beberapa bulan kemudian, ketika Erga
mencegatnya dengan pertanyaan
yang sama.
Jana mendudukkan Erga di
pangkuannya dan berbisik, “Erga dan Raka punya ayah kok. Tapi
dia udah nggak sama kita lagi.
Dia ada di surga, sama Tuhan dan malaikat-malaikatnya.”
“Ayah Erga orang baik dong ya,
karena kalo nggak kan nggak masuk surga?”
Kalau dibandingin sama serial
killer mungkin, omel Jana dalam hati, tapi dia berkata dengan
penuh senyum, “Paling baik di
seluruh dunia ini.”
Jana bersyukur pertanyaan itu
tidak pernah diajukan lagi oleh anak-anaknya, tapi dia tahu
dia sedang duduk di atas bom
waktu. Sebentar lagi mereka akan beranjak dewasa, dan
penjelasan yang pernah dia
berikan tidak akan cukup lagi. Dia tahu bahwa mereka berhak
mengetahui yang sebenarnya.
Mereka berhak mengenal Ben dan Ben mengenal mereka.
Ben… terakhir kali dia bertemu
dengannya adalah akhir april delapan tahun yang lalu.
Seperti apa dia sekarang? Apa dia
masih memiliki senyumnya yang mematikan? Senyuman
yang tidak bisa dia hindari,
terutama karena Erga dan Raka memiliki senyuman yang sama,
berikut lesung pipi di pipi kiri
mereka. Suatu persamaan yang langsung membuatnya
menangis tersedu-sedu ketika
pertama kali melihatnya. Seakan itu belum cukup parah
untuk dihadapi oleh ibu tunggal
yang masih patah hati, semakin lama dia menghabiskan
waktu dengan anak-anaknya,
semakin dia sadar bahwa mereka lebih mirip Ben daripada
dirinya. Mulai dari rambut ikal,
mata dalam, dan alis tebal. Seakan kemiripan wajah belum
cukup, aroma mereka juga
mengingatkannya pada Ben.
Memori akan hari pertamanya
berkenalan dengan Ben memenuhi ingatannya. Hari itu
adalah orientasi pelajar asing
lowa state. Dia bukanlah jenis orang yang bisa langsung
membuka pembicaraan dengan orang
lain, belum lagi karena dia harus menggunakan
bahasa inggis kerika
melakukannya. Pada dasarnya hari itu adalah hari paling menakutkan
sepanjang hidupnya. Dia
merindukan sobat-sobatnya yang terpaksa dia tinggalkan karena
Papi bersikeras adar dia
mendapatkan pendidikan di Amerika. Dia sebetulnya sudah
diterima di jurusan arsitektur di
universitas local yang menurutnya cukup bonafide, tetapi
Papi bersikeras agar dia
berangkat ke lowa. Dia menangis selama seminggu karenanya.
Akhirnya Mami yang tidak tega
melihatnya, menghampirinya dan menjelaskan semuanya.
“Otome,” ucap Mami sepelan
mungkin dan Jana tahu bahwa dia harus mendengarkan apa
pun yang akan dikatakan beliau,
karena Mami hamper tidak pernah menggunakan bahasa
Jepang, bahasanya Sobo, yaitu ibu
Mami yang memang orang Jepang.
“Mami minta kamu turuti kemauan
Papi, ya. Mami janji bahwa inilah yang terbaik untuk
kamu,” lanjut Mami pelan.
“Tapi, Mam… kenapa harus Amerika?
Aku nggak kenal siapa-siapa di sana, Mam,” balas Jana
diantara tangisnya.
“Kamu kan bisa cari teman baru di
sana. Bukannya Adriana ada di Amerika?” Mami
menyebutkan salah satu sobatnya.
“Tapi Adri di DC, Mam. Itu jauh
dari Lowa.” Jana mencoba mengontrol tangisnya. Dia sudah
mencabik-cabik tisu yang ada di
genggamannya sampai tidak berbentuk lagi.
Mami menarik napas dalam,
kemudian berkata, “Papi kamu ngotot mau kamu pergi ke
Amerika karena anak Oom Sofyan
kuliah disana.”
Dan pada saat itu Jana mengerti
apa yang dimaksud Mami. Papi yang superkompetitif, ingin
menunjukkan kepada Oom Sofyan,
saingan beratnya, bahwa anaknya pun bisa kuliah di
Amerika. Ya ampuuuunnn… dia tidak
menyangka bahwa ego Papi sebegitu besarnya
sehingga tidak menghiraukan
keinginan anaknya.
“Apa aku akan pernah bisa ngambil
keputusan sendiri, Mam?” Tanya Jana pada Mami yang
menatapnya terkejut.
“Kamu nih ngomong apa sih? Papi
dan Mami selalu ngebolehin kamu ngambil keputusan
sendiri,” bantah Mami.
“Oh ya? Coba Mami pikir… apa
pernah Papi dengerin apa yang aku mau?” tantang Jana.
Untuk beberapa detik Mami hanya
bisa terdiam, tapi beliau dibesarkan dengan budaya
Jepang yang keras, di mana
seorang perempuan tidak bisa menentang kata-kata kepala
keluarga. Mami bangkit dari sisi
Jana dan berjalan menuju pintu. “Kamu sekarang mungkin
nggak ngerti kenapa Papi mau kamu
pergi ke Amerika, tapi nanti waktu kamu lulus dan kerja
untuk Papi, kamu akan ngerti.”
Dan hanya dengan kata-kata itu Mami meninggalkan Jana
sendiri di kamarnya, menangisi
nasibnya.
Sebulan kemudian, Jana menemukan
dirinya di sebuah ruang pertemuan besar di kampus
lowa state. Dia berpapasan dengan
beberapa bule yang sepertinya sedang berbicara dalam
bahasa Jerman. Kemudian ada
seorang cewek yang sedang berbicara dalam bahasa
Inggristetapi dengan aksen Rusia
yang sangat kental sehingga tidak pasti apakah cewek itu
memang sedang berbicara dalam
bahasa Inggris.
“Hey, you look lost. Can I help
you whit anything?”
Jana menoleh kepada cewek yang
baru berbicara padanya dan harus menunduk karena
cewek itu ternyata jauh lebih
pendek darinya. Jana yakin tinggi cewek itu bahkan tidak
mencapai 150 sentimenter. Cewek
itu mengenakan kacamata minus cukup tebal sambil
menggenggam suatu papan dengan
beberapa kertas yang di jepit di atasnya. Jana melirik
stiker yang ditempelkan pada dada
kirinya, yang bertuliskan “Sabrina”.
“I’m Sabrina, by the way,” ucap
cewek itu sambil menunjuk stikernya. “What’s your name?”
“Saya… I mean I’m Jana Oetomo,”
ucap Jana dengan gugup.
“Jane?” Tanya Sabrina dengan nada
tidak pasti.
“No no… not Jane. It’s Jana.”
Dia baru tiba di Amerika beberapa
hari yang lalu dan dia sudah harus membetulkan
kesalahan penyebutan namanya
sekitar seratus kali. Dia betul-betul merindukan negeranya,
teman-temannya, dan orang-orang
yang akan langsung mengerti jika dia mengatakan
bahwa namanya Jana dengan huruf
“J” yang dibaca seperti “J” pada kata “Japan”, bukan “H”
pada kata “Hello”. Dia mulai
merasa jengkel pada orang-orang yang memanggilnya “Jane”
atau “Hana”. Sabrina melirik
papan yang ada di hadapannya. Mulutnya komat-kamit “Oh,
here you are. You’re the
Indonesia girl,” ucapnya setelah beberapa menit. “Welcome to
lowa State,” lanjutnya dengan
ceria, Jana hanya bisa mengangguk.
“We have an Indonesian guy who
volunteers to help. Let me see… he was here a second
ago,” Sabrina memutar kepalanya
ke kiri dan ke kanan, lalu tanpa Jana sangka-sangka gadis
itu mulai loncat-loncat di
hadapannya. Jana hanya menatap Sabrina sambil mencoba
menahan senyum. Jelas-jelas
pendapat orang Asia bahwa semua orang bule bertubuh tinggi
dan langsing sudah kaprah.
Dia berusaha untuk tidak menutup
telingannya ketika Sabrina berteriak keras, “Ben, Beee…
nnn. Come here, I need you.”
Beberapa detik kemudian dia
mendengar suara laki-laki di belakangnya berkata, “God, stop
waving at me like a crazy person,
Sabs. We’re in civilization for chrissake.”
Jana memutar seluruh tubuhnya
untuk bisa melihat cowok yang berdiri di belakannya dan
matanya jatuh pada dadanya. Dia
harus mundur selangkah untuk bisa melihat wajahnya
karena cowok itu tinggi sekali.
Dan ketika matanya akhirnya bisa menatap wajah cowok itu,
Jana hanya bisa menganga. Holy
mother of Jesus!!! Ini adalah cowok Indonesia paling
ganteng yang pernah dia lihat
dengan mata kepala sendiri sepanjang hidupnya. Koreksi, ini
adalah cowok paling ganteng yang
pernah dia lihat sepanjang hidupnya, TITIK! Cowok itu
sedang tersenyum, dan Jana bisa
melihat lesung pipi pada pipi kirinya. Anehnya, lesung pipi
itu tidak membuatnya kelihatan
seperti banci, justru membuatnya lebih maskulin.
“Ben, meet Jana, she’s from
Indonesia too,” ucap Sabrina tanpa menghiraukan nada sinis
Ben beberapa saat lalu dan dengan
bangganya memperkenalkan Jana.
Ben mengalihkan perhatiannya ke
Jana dan berkata, “Halo,” dengan ramah. Dia lalu
menyodorkan tangannya.
“Halo,” balas Jana yang otomatis
meraih tangan itu.
Dan sumpah mati, dia merasakan
aliran listrik ketika telapak tangan mereka bersentuhan.
Rasa aman dan nyaman langsung
menyelimutinya. Sesuatu yang sangat jarang terjadi
mengingat dia tidak pernah merasa
cukup nyaman dengan kaum cowok sampai bisa
menjalin hubungan dengan mereka.
Jangankan menjalin hubungan, berteman dengan
mereka saja dia tidak berani.
Oleh karena itu, dia langsung tahu bahwa Ben adalah
boyfriend material. Menurut Dara,
salah satu sobatnya yang jauh lebih berpengalaman
dengan hal-hal yang berhubungan
dengan cowok, hanya ada 3 jenis cowok di muka bumi ini.
Pertama, cowok yang hanya bisa
jadi temen karena meskipun mereka bisa membuat kita
merasa nyaman, bayangan mencium
mereka membuat kita menggelengkan kepala kuatkuat;
kedua, cowok yang Cuma bagus
untuk dilihatin karena selain tubuh dan wajah, tidak
ada lagi yang menarik tentang
mereka; ketika, cowok yang merupakan boyfriend material.
Mereka bukan saja ganteng nggak
ketolongan, tapi juga membuat kita merasa nyaman
dengan mereka.
Dan Ben is definitely boyfriend
material. Kesadaran ini membuat Jana terkesiap dan buruburu
menarik tangannya. Ben kelihatan
terkejut dengan reaksinya dan kini menatapnya
dalam, seakan sedang mencoba membaca
pikirannya. Takut bahwa Ben betul-betul akan
bisa membaca pikirannya, Jana
langsung menunduk.
“Okaaa…yyy, I’ll let you guys get
acquainted while I’ll go greet other students.”
Kata-kata Sabrina membuat Jana
mendongak siap protes, tapi Sabrina sudah menghilang
dari peredaran, meninggalkannya
sendiri dengan Ben.
“Kamu dari mana? Tanya Ben sambil
tersenyum.
Lesung pipi Ben membuatnya sulit
memikirkan jawaban pertanyaan itu. Jana menelan ludah
sebelum berkata, “Aku tadi dari
Eaton Hall. Aku tinggal di sana.”
Ben langsung menyeringai ketika
mendengar jawaban itu, membuat Jana sadar bahwa dia
sudah salah mengartikan
pertanyaannya. Buru-buru dia menutup mata saking malunya. “Itu
bukan maksud pertanyaan kamu,
ya?” tanyanya dengan hati-hati sambil membuka satu
matanya dan melihat Ben sedang
menggelengkan kepalanya.
Tapi setidak-tidaknya Ben masih
tersenyum, yang berarti dia tidak menganggapnya cewek
idiot. “Aku dari Jakarta,” ucap
Jana secepat mungkin.
Ben mengangguk dan bertanya lagi.
“Di sini rencananya mau ambil jurusan apa?”
“Arsitektur.”
“Oh ya?”
Jana tahu bahwa dia seharusnya
menanyakan hal yang sama kepada Ben, karena itulah
sopan santun, tapi otaknya
seperti sedang kena brain freeze. Untuk pertama kalinya Jana
mengerti ungkapan “Love at first
sight”, karena dia sedang mengalaminya dengan Ben.
LOVE AT FIRST SIGHT, nenek moyang
lo!!! Kalau saja dia tahu hubungannya dengan Ben
akan berakhir seperti itu, dia
tidak akan sudi mengenalnya. Tapi itulah masalahnya dengan
cinta. Cinta membuat kita buta
dan rela melakukan hal-hal yang biasanya tidak akan kita
lakukan. Kalau dipikir-pikir lagi
orang yang sedang jatuh cinta sudah seperti orang mabuk,
tapi efek samping mabuk masih
lebih mendingan. Setidak-tidaknya mereka hanya perlu
berurusan dengan kepala pusing
besok gara-gara hangover, tapi kalau putus cinta? Bah!
Efek sampingnya bukan hanya
kepala pusing, tapi hati remuk dan masalah mental yang
bahkan nggak bisa dibantu oleh
terapi seumur hidup.
Nggak, tidak peduli apa yang
terjadi, Ben tidak akan pernah tahu tentang keberadaan anakanaknya.
Dia akan mencari laki-laki yang
jauh lebih layak untuk menjadi seorang suami dan
ayah bagi anak-anaknya. Untung
saja tidak ada yang tahu identitas Ben, dan dengan paras
kebule-bulean kedua anaknya, Papi
dan Mami berkesimpulan bahwa ayah mereka adalah
seorang bule bejat yang sudah
menghamilinya. Dan Jana tidak pernah membetulkan
kesalahkaprahan itu. Entah apa
yang akan mereka pikirkan kalau sampai tahu bahwa bukan
bule bejat yang sudah
menghamilinya, tapi laki-laki Indonesia bejat. Ya, Ben adalah dirty
little secret-nya yang akan dia
simpan sampai mati.
Keesokan paginya Jana terbangun
dan memori tentang Ben kembali melandanya, kini
tentang apa yang terjadi setelah
mereka berkenalan. Sepanjang orientsi Ben tidak habishabisnya
menatapnya sampai dia salah
tingkah. Tatapan itu begitu intense, sampai cewek
Malaysia bernama Nurul yang duduk
di sebelahnya mengomentari, “Dia pakwa you ke?”
Jana betul-betul tidak tahu apa
yang dimaksud oleh Nurul. Banyak orang bilang Bahasa
Indonesia dan Melayu itu mirip,
tapi Jana bisa yakinkan bahwa itu tidak benar sama sekali.
Melihat kebingungan pada
wajahnya, Nurul berbisik, “Dia boyfriend you?”
“Oh, bukan. Saya baru kenal dia.”
“Mmmmhhh, kalau baru kenal, dia
macam stalker je kan? Asyik je dia tengok you.”
Membutuhkan waktu beberapa menit
bagi Jana untuk mencerna kata-kata Nurul, dan ketika
dia memahaminya, buru-buru dia
menutup mulutnya sebelum ada orang mendengar
cekikikannya. Untungnya pada
detik itu orientasi berakhir. Jana baru saja say goodbay pada
Nurul yang akan kembali ke
asramanya ketika sadar bahwa Ben sudah berdiri di ujung barus
kursinya, menunggunya. Dengan
sedikit tidak pasti Jana berjalan mendekatinya.
“Kamu ada rencana apa setelah
ini?” Tanya Ben.
“Cari makan siang, terus balik ke
Eaton,” jawab Jana.
“Oh, good. Aku juga mau makan
siang. Aku tahu tempat makan enak deket Eaton, kita bisa
makan siang sama-sama. Abis itu
aku bisa anter kamu pulang.”
Yang terlintas di kepala Jana
ketika mendengar ajakan ini adalah: “Hah??” yang diikuti
dengan, “Maksud lo??!!”
“A-aku…” Jana tergagap.
Pikirannya blank. Dia betul-betul
tidak tahu bagaimana menangani situasi ini. Oh, andaikan
dia Dara, dia pasti tahu respons
terbaik untuk situasi seperti ini. Santai, Jana, santai. Cowok
ini ramah aja sama elo karena sama-sama
orang Indonesia. Ini bukan date or anything like
that, ucap Jana dalam hati.
“C’mon it’s just lunch. Kamu toh
harus makan juga. Kenapa nggak makan sama aku aja?”
ucap Ben dengan nada sedikit
memohon.
OH… MY… GOD. It is a date. Seumur
hidupnya, tidak pernah ada cowok yang berani
mengajaknya nge-date. Beberapa
kali dia mendengar bahwa ada segelintir cowok yang
tertarik padanya, tapi tidak ada
dari mereka yang berani maju. Mereka terlalu takut dengan
dirinya yang dikenal sebagai
cewek paling pintar satu sekolah. Dan sekarang Ben sedang
mengajaknya nge-date, satu jam
setelah mereka berkenalan. Hanya ada dia kemungkinan,
cowok ini memang nekat atau
seperti yang Nurul bilang, seorang stalker.
“Aku janji kita nggak akan lama.
Paling sejam. Kita bisa makan burger. Kamu suka burger,
kan?”
Jana hanya mengangguk, masih
tidak bisa berkata-kata.
“So, makan burger sama aku,”
tandas Ben.
“I don’t think…”
Seperti membaca keraguannya, Ben
menghaluskan nada bicaranya dan berkata sambil
tersenyum, “Sumpah aku bukan stalker,
aku Cuma mau makan siang sama kamu.”
Wow, cowok ini benar-benar jujur
mengemukakan maksudnya, tanpa basa-basi. Jana
mendapati dirinya tidak bisa
menolak dan tanpa dia sadari sudah mengangguk.
“Awesome. Let me say goodbye to
these people and we can go,” ucap Ben dengan senyum
lebar.
Jana hanya perlu menunggu kurang
dari lima menit sebelum Ben muncul lagi di
hadapannya. “Yuk,” ucapnya dan
menggiring Jana ke luar ruangan.
Sepanjang perjalanan menuju Union
Drive yang biasanya hanya memakan waktu sepuluh
menit jalan kaki, hari ini molor
menjadi dua puluh menit gara-gara mereka harus berhenti
beberapa kali karena Ben
berpapasan dengan kenalannya. Ben tidak pernah menyapa
duluan, selalu mereka.
Kelihatannya dia cukup popular di kampus ini, karena orang-orang
itu keliahatan betul-betul senang
melihatnya. Semuanya memberikan tatapan ingin tahu
ketika melihatnya bersama cewek
tidak dikenal, tapi hanya beberapa dari mereka yang
dikenalkan Ben padanya. Beberapa
menit kemudian mereka sampai di Market place, salah
satu dari banyak tempat makan
dalam kampus.
“Apa kamu udah pernah makan
disini?” Tanya Ben sambil berjalan menuju konter burger.
“Udah, tapi belum pernah coba
burgernya.”
“Aku jamin kamu pasti suka.
Cheeseburger di sini yang paling enak di seluruh kampus..,”
Omongan Ben terpotong oleh
teriakan seorang wanita kulit hitam berukuran besar.
“Benjiii… you’re back!!!”
Wanita itu sedang tersenyum lebar
dan mempertontonkan deretan giginya yang putih. Ben
membalas sapaan itu dengan tidak
kalah ramahnya. Tidak lama kemudian mereka bertukar
cerita tentang liburan musim
panas. Whoa, bukan saja Ben memiliki banyak teman, tapi
mereka sepertinya datang dari
berbagai kalangan. Harus Jana akui dia cukup terkesan
melihatnya. Selain keluarga, Papi
dan Mami hanya memperbolehkannya bergaul dengan
teman-teman dari sekolah. Entah
apa yang akan terjadi kalau dia berani berteman dengan
orang dari kalangan yang mereka
nilai dibawah mereka.
“I guess you want that
cheeseburger with lost of fries then, huh?”
“Yes, Miss Rita. Can we have two
of those, please.”
Miss Rita terkekeh. “Boy, I don’t
know how many times I’ve told you just call me Rita.”
“Nawww, I like calling you Miss
Rita,” canda Ben.
Miss Rita memberikan pesanan
mereka sambil geleng-geleng kepala. “You two have a good
day now.”
Jana hanya mengangguk dan
mengikuti Ben yang sudah berjalan menuju konter minuman.
Mereka sama-sama mengambil
sebotol air putih sebelum menuju sebuah meja kosong.
“Aku sangka nama kamu Ben,” ucap
Jana setelah dia duduk
“Namaku memang Ben,” balas Ben
dengan wajah sedikit bingung.
“Jadi kenapa Miss Rita manggil
kamu Benji?”
Ben terkekeh sebelum berkata,
“Oh, itu nick name yang dikasih Miss Rita waktu aku kerja di
sini semester lalu.”
Jana langsung tersedak potongan
burger yang baru saja ditelannya dan untuk beberapa
menit dia terbatuk-batuk. Ben
langsung berdiri dan menepuk-nepuk punggungnya.
“Makannya pelan-pelan, Jan.”
Andaikan saja Ben tahu bahwa
alasan Jana tersedak adalah bukan karena dia makan terlalu
cepat, tapi karena pengakuan
tanpa malu-malu Ben bahwa dia pernah bekerja di kantin
sekolah. Mami dan Papi bisa
pingsan kalau dia membawa Ben pulang untuk dikenalkan
kepada mereka. Prospek ini
membuat Jana tersenyum dalam hati.
Dirty Little Secret - Bab 3
No comments:
Post a Comment