Bab 3
I’ll keep you,
my dirty little secret
Don’t tell
anyone or you’ll be just another regret
Hope that you
can keep it, my dirty little secret
Who has to know
Malam itu, setelah anak-anak
pergi tidur dan dia punya sedikit waktu untuk berpikir, jana
mengulang percakapan dengan Papi
tadi pagi. Terutama tentang menemukan figuran lakilaki
untuk Erga dan Raka. Akhir-akhir
ini dia memang sudah memiliki percakapan ini dengan
dirinya sendiri. Apakah dia telah
melakukan hal yang benar dengan menyembunyikan Raka
dan Erga dari Ben? Goooddd!!! Dia
masih tidak percaya bahwa dia bilang sudah
menggugurkan bayi mereka di
e-mail terakhir kepada Ben. Entah apa yang Ben akan lakukan
kalau dia sampai tahu Jana sudah
membohonginya? Bayangan Ben menggelutinya sebelum
membakarnya hidu-hidup terlintas
di kepalanya.
Mungkin memang tiba saatnya untuk
mulai dating lagi, meskipun prospek itu membuatnya
panas-dingin nggak karuan. Ben
adalah pacar pertama dan terakhirnya. Selanjutnya, dia
bahkan tidak tahu cara dating
yang benar. Apa yang dia alami dengan Ben bukanlah dating,
lebih seperti: mereka ketemu,
makan siang, besoknya Ben menemaninya ke mana-mana,
begitu juga dengan hari-hari
berikutnya, dan sebelum dia menyadari apa yang sedang
terjadi, mereka sudah pacaran.
Tanpa Jana sadari, dia mengusap dadanya yang masih terasa
sakit hingga sekarang mengingat
apa yang telah Ben lakukan padanya.
Kalau memang mau mencari figure
ayah untuk anak-anak dengan menikah lagi, dia harus
melakukannya secepat mungkin.
Karena Raka sudah pernah menanyakan keberadaan
ayahnya ketika dia berumur empat
tahun. Saking paniknya, bukannya menjawab pertanyaan
itu, dia justru berkata, “Raka,
habiskan makanan kamu.”
Keesokan harinya tentunya dia
langsung menelepon Mami dengan penuh kepanikan. Dan
Mami membantunya memformulasikan
jawaban yang mudah dimengerti oleh balita.
Awalnya dia tidak setuju dengan
jawaban itu, tapi ketika mendengar Mami mengomel, “Apa
kamu lebih memilih bilang ke
mereka kalo ayah mereka itu bajingan cap kodok ngorek yang
udh menghamili kamu dan tidak
bertanggung jawab?”, dia tidak punya pilihan. Untungnya
dia tidak perlu menggunakan
respons itu hingga beberapa bulan kemudian, ketika Erga
mencegatnya dengan pertanyaan
yang sama.
Jana mendudukkan Erga di
pangkuannya dan berbisik, “Erga dan Raka punya ayah kok. Tapi
dia udah nggak sama kita lagi.
Dia ada di surga, sama Tuhan dan malaikat-malaikatnya.”
“Ayah Erga orang baik dong ya,
karena kalo nggak kan nggak masuk surga?”
Kalau dibandingin sama serial
killer mungkin, omel Jana dalam hati, tapi dia berkata dengan
penuh senyum, “Paling baik di
seluruh dunia ini.”
Jana bersyukur pertanyaan itu
tidak pernah diajukan lagi oleh anak-anaknya, tapi dia tahu
dia sedang duduk di atas bom
waktu. Sebentar lagi mereka akan beranjak dewasa, dan
penjelasan yang pernah dia
berikan tidak akan cukup lagi. Dia tahu bahwa mereka berhak
mengetahui yang sebenarnya.
Mereka berhak mengenal Ben dan Ben mengenal mereka.
Ben… terakhir kali dia bertemu
dengannya adalah akhir april delapan tahun yang lalu.
Seperti apa dia sekarang? Apa dia
masih memiliki senyumnya yang mematikan? Senyuman
yang tidak bisa dia hindari,
terutama karena Erga dan Raka memiliki senyuman yang sama,
berikut lesung pipi di pipi kiri
mereka. Suatu persamaan yang langsung membuatnya
menangis tersedu-sedu ketika
pertama kali melihatnya. Seakan itu belum cukup parah
untuk dihadapi oleh ibu tunggal
yang masih patah hati, semakin lama dia menghabiskan
waktu dengan anak-anaknya,
semakin dia sadar bahwa mereka lebih mirip Ben daripada
dirinya. Mulai dari rambut ikal,
mata dalam, dan alis tebal. Seakan kemiripan wajah belum
cukup, aroma mereka juga
mengingatkannya pada Ben.
Memori akan hari pertamanya
berkenalan dengan Ben memenuhi ingatannya. Hari itu
adalah orientasi pelajar asing
lowa state. Dia bukanlah jenis orang yang bisa langsung
membuka pembicaraan dengan orang
lain, belum lagi karena dia harus menggunakan
bahasa inggis kerika
melakukannya. Pada dasarnya hari itu adalah hari paling menakutkan
sepanjang hidupnya. Dia
merindukan sobat-sobatnya yang terpaksa dia tinggalkan karena
Papi bersikeras adar dia
mendapatkan pendidikan di Amerika. Dia sebetulnya sudah
diterima di jurusan arsitektur di
universitas local yang menurutnya cukup bonafide, tetapi
Papi bersikeras agar dia
berangkat ke lowa. Dia menangis selama seminggu karenanya.
Akhirnya Mami yang tidak tega
melihatnya, menghampirinya dan menjelaskan semuanya.
“Otome,” ucap Mami sepelan
mungkin dan Jana tahu bahwa dia harus mendengarkan apa
pun yang akan dikatakan beliau,
karena Mami hamper tidak pernah menggunakan bahasa
Jepang, bahasanya Sobo, yaitu ibu
Mami yang memang orang Jepang.
“Mami minta kamu turuti kemauan
Papi, ya. Mami janji bahwa inilah yang terbaik untuk
kamu,” lanjut Mami pelan.
“Tapi, Mam… kenapa harus Amerika?
Aku nggak kenal siapa-siapa di sana, Mam,” balas Jana
diantara tangisnya.
“Kamu kan bisa cari teman baru di
sana. Bukannya Adriana ada di Amerika?” Mami
menyebutkan salah satu sobatnya.
“Tapi Adri di DC, Mam. Itu jauh
dari Lowa.” Jana mencoba mengontrol tangisnya. Dia sudah
mencabik-cabik tisu yang ada di
genggamannya sampai tidak berbentuk lagi.
Mami menarik napas dalam,
kemudian berkata, “Papi kamu ngotot mau kamu pergi ke
Amerika karena anak Oom Sofyan
kuliah disana.”
Dan pada saat itu Jana mengerti
apa yang dimaksud Mami. Papi yang superkompetitif, ingin
menunjukkan kepada Oom Sofyan,
saingan beratnya, bahwa anaknya pun bisa kuliah di
Amerika. Ya ampuuuunnn… dia tidak
menyangka bahwa ego Papi sebegitu besarnya
sehingga tidak menghiraukan
keinginan anaknya.
“Apa aku akan pernah bisa ngambil
keputusan sendiri, Mam?” Tanya Jana pada Mami yang
menatapnya terkejut.
“Kamu nih ngomong apa sih? Papi
dan Mami selalu ngebolehin kamu ngambil keputusan
sendiri,” bantah Mami.
“Oh ya? Coba Mami pikir… apa
pernah Papi dengerin apa yang aku mau?” tantang Jana.
Untuk beberapa detik Mami hanya
bisa terdiam, tapi beliau dibesarkan dengan budaya
Jepang yang keras, di mana
seorang perempuan tidak bisa menentang kata-kata kepala
keluarga. Mami bangkit dari sisi
Jana dan berjalan menuju pintu. “Kamu sekarang mungkin
nggak ngerti kenapa Papi mau kamu
pergi ke Amerika, tapi nanti waktu kamu lulus dan kerja
untuk Papi, kamu akan ngerti.”
Dan hanya dengan kata-kata itu Mami meninggalkan Jana
sendiri di kamarnya, menangisi
nasibnya.
Sebulan kemudian, Jana menemukan
dirinya di sebuah ruang pertemuan besar di kampus
lowa state. Dia berpapasan dengan
beberapa bule yang sepertinya sedang berbicara dalam
bahasa Jerman. Kemudian ada
seorang cewek yang sedang berbicara dalam bahasa
Inggristetapi dengan aksen Rusia
yang sangat kental sehingga tidak pasti apakah cewek itu
memang sedang berbicara dalam
bahasa Inggris.
“Hey, you look lost. Can I help
you whit anything?”
Jana menoleh kepada cewek yang
baru berbicara padanya dan harus menunduk karena
cewek itu ternyata jauh lebih
pendek darinya. Jana yakin tinggi cewek itu bahkan tidak
mencapai 150 sentimenter. Cewek
itu mengenakan kacamata minus cukup tebal sambil
menggenggam suatu papan dengan
beberapa kertas yang di jepit di atasnya. Jana melirik
stiker yang ditempelkan pada dada
kirinya, yang bertuliskan “Sabrina”.
“I’m Sabrina, by the way,” ucap
cewek itu sambil menunjuk stikernya. “What’s your name?”
“Saya… I mean I’m Jana Oetomo,”
ucap Jana dengan gugup.
“Jane?” Tanya Sabrina dengan nada
tidak pasti.
“No no… not Jane. It’s Jana.”
Dia baru tiba di Amerika beberapa
hari yang lalu dan dia sudah harus membetulkan
kesalahan penyebutan namanya
sekitar seratus kali. Dia betul-betul merindukan negeranya,
teman-temannya, dan orang-orang
yang akan langsung mengerti jika dia mengatakan
bahwa namanya Jana dengan huruf
“J” yang dibaca seperti “J” pada kata “Japan”, bukan “H”
pada kata “Hello”. Dia mulai
merasa jengkel pada orang-orang yang memanggilnya “Jane”
atau “Hana”. Sabrina melirik
papan yang ada di hadapannya. Mulutnya komat-kamit “Oh,
here you are. You’re the
Indonesia girl,” ucapnya setelah beberapa menit. “Welcome to
lowa State,” lanjutnya dengan
ceria, Jana hanya bisa mengangguk.
“We have an Indonesian guy who
volunteers to help. Let me see… he was here a second
ago,” Sabrina memutar kepalanya
ke kiri dan ke kanan, lalu tanpa Jana sangka-sangka gadis
itu mulai loncat-loncat di
hadapannya. Jana hanya menatap Sabrina sambil mencoba
menahan senyum. Jelas-jelas
pendapat orang Asia bahwa semua orang bule bertubuh tinggi
dan langsing sudah kaprah.
Dia berusaha untuk tidak menutup
telingannya ketika Sabrina berteriak keras, “Ben, Beee…
nnn. Come here, I need you.”
Beberapa detik kemudian dia
mendengar suara laki-laki di belakangnya berkata, “God, stop
waving at me like a crazy person,
Sabs. We’re in civilization for chrissake.”
Jana memutar seluruh tubuhnya
untuk bisa melihat cowok yang berdiri di belakannya dan
matanya jatuh pada dadanya. Dia
harus mundur selangkah untuk bisa melihat wajahnya
karena cowok itu tinggi sekali.
Dan ketika matanya akhirnya bisa menatap wajah cowok itu,
Jana hanya bisa menganga. Holy
mother of Jesus!!! Ini adalah cowok Indonesia paling
ganteng yang pernah dia lihat
dengan mata kepala sendiri sepanjang hidupnya. Koreksi, ini
adalah cowok paling ganteng yang
pernah dia lihat sepanjang hidupnya, TITIK! Cowok itu
sedang tersenyum, dan Jana bisa
melihat lesung pipi pada pipi kirinya. Anehnya, lesung pipi
itu tidak membuatnya kelihatan
seperti banci, justru membuatnya lebih maskulin.
“Ben, meet Jana, she’s from
Indonesia too,” ucap Sabrina tanpa menghiraukan nada sinis
Ben beberapa saat lalu dan dengan
bangganya memperkenalkan Jana.
Ben mengalihkan perhatiannya ke
Jana dan berkata, “Halo,” dengan ramah. Dia lalu
menyodorkan tangannya.
“Halo,” balas Jana yang otomatis
meraih tangan itu.
Dan sumpah mati, dia merasakan
aliran listrik ketika telapak tangan mereka bersentuhan.
Rasa aman dan nyaman langsung
menyelimutinya. Sesuatu yang sangat jarang terjadi
mengingat dia tidak pernah merasa
cukup nyaman dengan kaum cowok sampai bisa
menjalin hubungan dengan mereka.
Jangankan menjalin hubungan, berteman dengan
mereka saja dia tidak berani.
Oleh karena itu, dia langsung tahu bahwa Ben adalah
boyfriend material. Menurut Dara,
salah satu sobatnya yang jauh lebih berpengalaman
dengan hal-hal yang berhubungan
dengan cowok, hanya ada 3 jenis cowok di muka bumi ini.
Pertama, cowok yang hanya bisa
jadi temen karena meskipun mereka bisa membuat kita
merasa nyaman, bayangan mencium
mereka membuat kita menggelengkan kepala kuatkuat;
kedua, cowok yang Cuma bagus
untuk dilihatin karena selain tubuh dan wajah, tidak
ada lagi yang menarik tentang
mereka; ketika, cowok yang merupakan boyfriend material.
Mereka bukan saja ganteng nggak
ketolongan, tapi juga membuat kita merasa nyaman
dengan mereka.
Dan Ben is definitely boyfriend
material. Kesadaran ini membuat Jana terkesiap dan buruburu
menarik tangannya. Ben kelihatan
terkejut dengan reaksinya dan kini menatapnya
dalam, seakan sedang mencoba membaca
pikirannya. Takut bahwa Ben betul-betul akan
bisa membaca pikirannya, Jana
langsung menunduk.
“Okaaa…yyy, I’ll let you guys get
acquainted while I’ll go greet other students.”
Kata-kata Sabrina membuat Jana
mendongak siap protes, tapi Sabrina sudah menghilang
dari peredaran, meninggalkannya
sendiri dengan Ben.
“Kamu dari mana? Tanya Ben sambil
tersenyum.
Lesung pipi Ben membuatnya sulit
memikirkan jawaban pertanyaan itu. Jana menelan ludah
sebelum berkata, “Aku tadi dari
Eaton Hall. Aku tinggal di sana.”
Ben langsung menyeringai ketika
mendengar jawaban itu, membuat Jana sadar bahwa dia
sudah salah mengartikan
pertanyaannya. Buru-buru dia menutup mata saking malunya. “Itu
bukan maksud pertanyaan kamu,
ya?” tanyanya dengan hati-hati sambil membuka satu
matanya dan melihat Ben sedang
menggelengkan kepalanya.
Tapi setidak-tidaknya Ben masih
tersenyum, yang berarti dia tidak menganggapnya cewek
idiot. “Aku dari Jakarta,” ucap
Jana secepat mungkin.
Ben mengangguk dan bertanya lagi.
“Di sini rencananya mau ambil jurusan apa?”
“Arsitektur.”
“Oh ya?”
Jana tahu bahwa dia seharusnya
menanyakan hal yang sama kepada Ben, karena itulah
sopan santun, tapi otaknya
seperti sedang kena brain freeze. Untuk pertama kalinya Jana
mengerti ungkapan “Love at first
sight”, karena dia sedang mengalaminya dengan Ben.
LOVE AT FIRST SIGHT, nenek moyang
lo!!! Kalau saja dia tahu hubungannya dengan Ben
akan berakhir seperti itu, dia
tidak akan sudi mengenalnya. Tapi itulah masalahnya dengan
cinta. Cinta membuat kita buta
dan rela melakukan hal-hal yang biasanya tidak akan kita
lakukan. Kalau dipikir-pikir lagi
orang yang sedang jatuh cinta sudah seperti orang mabuk,
tapi efek samping mabuk masih
lebih mendingan. Setidak-tidaknya mereka hanya perlu
berurusan dengan kepala pusing
besok gara-gara hangover, tapi kalau putus cinta? Bah!
Efek sampingnya bukan hanya
kepala pusing, tapi hati remuk dan masalah mental yang
bahkan nggak bisa dibantu oleh
terapi seumur hidup.
Nggak, tidak peduli apa yang
terjadi, Ben tidak akan pernah tahu tentang keberadaan anakanaknya.
Dia akan mencari laki-laki yang
jauh lebih layak untuk menjadi seorang suami dan
ayah bagi anak-anaknya. Untung
saja tidak ada yang tahu identitas Ben, dan dengan paras
kebule-bulean kedua anaknya, Papi
dan Mami berkesimpulan bahwa ayah mereka adalah
seorang bule bejat yang sudah
menghamilinya. Dan Jana tidak pernah membetulkan
kesalahkaprahan itu. Entah apa
yang akan mereka pikirkan kalau sampai tahu bahwa bukan
bule bejat yang sudah
menghamilinya, tapi laki-laki Indonesia bejat. Ya, Ben adalah dirty
little secret-nya yang akan dia
simpan sampai mati.
Keesokan paginya Jana terbangun
dan memori tentang Ben kembali melandanya, kini
tentang apa yang terjadi setelah
mereka berkenalan. Sepanjang orientsi Ben tidak habishabisnya
menatapnya sampai dia salah
tingkah. Tatapan itu begitu intense, sampai cewek
Malaysia bernama Nurul yang duduk
di sebelahnya mengomentari, “Dia pakwa you ke?”
Jana betul-betul tidak tahu apa
yang dimaksud oleh Nurul. Banyak orang bilang Bahasa
Indonesia dan Melayu itu mirip,
tapi Jana bisa yakinkan bahwa itu tidak benar sama sekali.
Melihat kebingungan pada
wajahnya, Nurul berbisik, “Dia boyfriend you?”
“Oh, bukan. Saya baru kenal dia.”
“Mmmmhhh, kalau baru kenal, dia
macam stalker je kan? Asyik je dia tengok you.”
Membutuhkan waktu beberapa menit
bagi Jana untuk mencerna kata-kata Nurul, dan ketika
dia memahaminya, buru-buru dia
menutup mulutnya sebelum ada orang mendengar
cekikikannya. Untungnya pada
detik itu orientasi berakhir. Jana baru saja say goodbay pada
Nurul yang akan kembali ke
asramanya ketika sadar bahwa Ben sudah berdiri di ujung barus
kursinya, menunggunya. Dengan
sedikit tidak pasti Jana berjalan mendekatinya.
“Kamu ada rencana apa setelah
ini?” Tanya Ben.
“Cari makan siang, terus balik ke
Eaton,” jawab Jana.
“Oh, good. Aku juga mau makan
siang. Aku tahu tempat makan enak deket Eaton, kita bisa
makan siang sama-sama. Abis itu
aku bisa anter kamu pulang.”
Yang terlintas di kepala Jana
ketika mendengar ajakan ini adalah: “Hah??” yang diikuti
dengan, “Maksud lo??!!”
“A-aku…” Jana tergagap.
Pikirannya blank. Dia betul-betul
tidak tahu bagaimana menangani situasi ini. Oh, andaikan
dia Dara, dia pasti tahu respons
terbaik untuk situasi seperti ini. Santai, Jana, santai. Cowok
ini ramah aja sama elo karena sama-sama
orang Indonesia. Ini bukan date or anything like
that, ucap Jana dalam hati.
“C’mon it’s just lunch. Kamu toh
harus makan juga. Kenapa nggak makan sama aku aja?”
ucap Ben dengan nada sedikit
memohon.
OH… MY… GOD. It is a date. Seumur
hidupnya, tidak pernah ada cowok yang berani
mengajaknya nge-date. Beberapa
kali dia mendengar bahwa ada segelintir cowok yang
tertarik padanya, tapi tidak ada
dari mereka yang berani maju. Mereka terlalu takut dengan
dirinya yang dikenal sebagai
cewek paling pintar satu sekolah. Dan sekarang Ben sedang
mengajaknya nge-date, satu jam
setelah mereka berkenalan. Hanya ada dia kemungkinan,
cowok ini memang nekat atau
seperti yang Nurul bilang, seorang stalker.
“Aku janji kita nggak akan lama.
Paling sejam. Kita bisa makan burger. Kamu suka burger,
kan?”
Jana hanya mengangguk, masih
tidak bisa berkata-kata.
“So, makan burger sama aku,”
tandas Ben.
“I don’t think…”
Seperti membaca keraguannya, Ben
menghaluskan nada bicaranya dan berkata sambil
tersenyum, “Sumpah aku bukan stalker,
aku Cuma mau makan siang sama kamu.”
Wow, cowok ini benar-benar jujur
mengemukakan maksudnya, tanpa basa-basi. Jana
mendapati dirinya tidak bisa
menolak dan tanpa dia sadari sudah mengangguk.
“Awesome. Let me say goodbye to
these people and we can go,” ucap Ben dengan senyum
lebar.
Jana hanya perlu menunggu kurang
dari lima menit sebelum Ben muncul lagi di
hadapannya. “Yuk,” ucapnya dan
menggiring Jana ke luar ruangan.
Sepanjang perjalanan menuju Union
Drive yang biasanya hanya memakan waktu sepuluh
menit jalan kaki, hari ini molor
menjadi dua puluh menit gara-gara mereka harus berhenti
beberapa kali karena Ben
berpapasan dengan kenalannya. Ben tidak pernah menyapa
duluan, selalu mereka.
Kelihatannya dia cukup popular di kampus ini, karena orang-orang
itu keliahatan betul-betul senang
melihatnya. Semuanya memberikan tatapan ingin tahu
ketika melihatnya bersama cewek
tidak dikenal, tapi hanya beberapa dari mereka yang
dikenalkan Ben padanya. Beberapa
menit kemudian mereka sampai di Market place, salah
satu dari banyak tempat makan
dalam kampus.
“Apa kamu udah pernah makan
disini?” Tanya Ben sambil berjalan menuju konter burger.
“Udah, tapi belum pernah coba
burgernya.”
“Aku jamin kamu pasti suka.
Cheeseburger di sini yang paling enak di seluruh kampus..,”
Omongan Ben terpotong oleh
teriakan seorang wanita kulit hitam berukuran besar.
“Benjiii… you’re back!!!”
Wanita itu sedang tersenyum lebar
dan mempertontonkan deretan giginya yang putih. Ben
membalas sapaan itu dengan tidak
kalah ramahnya. Tidak lama kemudian mereka bertukar
cerita tentang liburan musim
panas. Whoa, bukan saja Ben memiliki banyak teman, tapi
mereka sepertinya datang dari
berbagai kalangan. Harus Jana akui dia cukup terkesan
melihatnya. Selain keluarga, Papi
dan Mami hanya memperbolehkannya bergaul dengan
teman-teman dari sekolah. Entah
apa yang akan terjadi kalau dia berani berteman dengan
orang dari kalangan yang mereka
nilai dibawah mereka.
“I guess you want that
cheeseburger with lost of fries then, huh?”
“Yes, Miss Rita. Can we have two
of those, please.”
Miss Rita terkekeh. “Boy, I don’t
know how many times I’ve told you just call me Rita.”
“Nawww, I like calling you Miss
Rita,” canda Ben.
Miss Rita memberikan pesanan
mereka sambil geleng-geleng kepala. “You two have a good
day now.”
Jana hanya mengangguk dan
mengikuti Ben yang sudah berjalan menuju konter minuman.
Mereka sama-sama mengambil
sebotol air putih sebelum menuju sebuah meja kosong.
“Aku sangka nama kamu Ben,” ucap
Jana setelah dia duduk
“Namaku memang Ben,” balas Ben
dengan wajah sedikit bingung.
“Jadi kenapa Miss Rita manggil
kamu Benji?”
Ben terkekeh sebelum berkata,
“Oh, itu nick name yang dikasih Miss Rita waktu aku kerja di
sini semester lalu.”
Jana langsung tersedak potongan
burger yang baru saja ditelannya dan untuk beberapa
menit dia terbatuk-batuk. Ben
langsung berdiri dan menepuk-nepuk punggungnya.
“Makannya pelan-pelan, Jan.”
Andaikan saja Ben tahu bahwa
alasan Jana tersedak adalah bukan karena dia makan terlalu
cepat, tapi karena pengakuan
tanpa malu-malu Ben bahwa dia pernah bekerja di kantin
sekolah. Mami dan Papi bisa
pingsan kalau dia membawa Ben pulang untuk dikenalkan
kepada mereka. Prospek ini
membuat Jana tersenyum dalam hati.
Dirty Little Secret - Bab 4
No comments:
Post a Comment