Bab 12
Cause I’ve relied on my illusions
To keep me warm at night
But I denied in my capacity to love
I am willing, to give up this fight
Kepala Jana berkecambuk dengan segala
sumpah serapah kepada dirinya sendiri, yang
selama seminggu ini sudah merasa
bersalah terhadap Ben. Dia sudah bertekad memperbaiki
kesalahannya yang telah menyembunyikan
Erga dan Raka dari Ben dengan memberikan Ben
kesempatan untuk betul-betul mengenal
anak-anaknya kalau dia mau. Membayangkan
ekspresi Raka dan Erga ketika mereka
tahu bahwa mereka memiliki seorang ayah yang mau
bertemu dengan mereka sempat membuatnya
terharu. Meskipun dia merasa sedikit takut
bahwa dia tidak lagi jadi orang nomor
satu yang paling disayangi oleh anak-anaknya dengan
kehadiran Ben, tapi dia rela
melakukannya dengan harapan anak-anaknya akan menjadi
seperti anak-anak lain yang memiliki ibu
dan ayah.
Dia bahkan sudah mempertimbangkan untuk
suatu hari menjalin rumah tangga dengan Ben
kalau pilihan ini dipersembahkan
padanya. Tapi apa yang dia dapatkan? Laki-laki itu bahkan
nggak tinggal di benua yang sama dengan
mereka!!! Kalau benua yang dia tinggali adalah
Australia, yang hanya memakan waktu
maksimal delapan jam terbang dari Jakarta, dia
mungkin masih bisa memikirkan suatu
arrangement di mana Ben akan datang mengunjungi
anak-anaknya setiap dua minggu sekali,
atau dia yang membawa Erga dan Raka
mengunjungi Ben. Tapi Ben tinggal di
benua yang paling jauh dari Jakarta. Kutub utara atau
selatan saja masih lebih dekat dengan
Jakarta daripada Amerika.
Dengan keterangan pekerjaannya, Jana
tahu Ben sudah cukup mapan di Chicago, bahkan
ada kemungkinan dia sudah punya green
card, atau lebih parah lagi kewarganegaraan
Amerika. Itu berarti dia di Jakarta
hanya untuk liburan, yang mengindikasikan bahwa cepat
atau lambat dia akan harus kembali ke
Amerika. Lalu apa yang akan terjadi dengan anakanaknya
setelah Ben pergi? Dia tidak meragukan
kemampuan Ben untuk membuat anakanaknya
menyayanginya kalau diberikan
kesempatan. Sumpah, Ben adalah tipe orang
dengan aura dan personality yang mudah
disukai siapa saja. Tapi seingatnya, Ben nggak
pernah punya teman baik. Dia lebih
senang loncat dari satu teman ke teman yang lain.
Sesuatu yang sepertinya tidak pernah
dipermasalahkan oleh orang-orang yang mengira diri
mereka tanpa Ben, karena Jana tidak
pernah bertemu orang yang tidak akan tersenyum
lebar kalau bertemu dengannya. Nggak
peduli mereka laki-laki atau perempuan.
Tapi anak-anaknya bukanlah teman-teman
sementara Ben yang bisa ditinggalkan begitu saja
kalau dia sudah menemukan teman baru.
Mereka nggak akan bisa mengerti kenapa seorang
laki-laki yang memperkenalkan diri
sebagai ayah mereka tiba-tiba menghilang begitu saja.
Kunjungan setiap beberapa bulan atau
kapan saja Ben ada waktu tidak akan cukup bagi
mereka. Anak-anaknya berhak memiliki
ayah full-time yang bisa mereka telepon kalau
mereka memerlukannya dan dia akan datang
dalam hitungan menit, bukannya dua puluh
jam. Mereka berhak memiliki ayah yang
menghabiskan setiap hari Sabtu-nya mengajari
mereka berenang, dan setiap malamnya
menyelimuti mereka. Dan kalau Ben tidak bisa
memberikan ini semua, lebih baik nggak
usah sama sekali.
Jana tidak tahu bagaimana dia bisa
sampai di depan gerbang sekolah anak-anak, tapi tanpa
dia sadari dia sudah mendorong
persneling dari “D” ke “P”, dan menunggu hingga Raka dan
Erga muncul. Merasa terlalu resah untuk
duduk, Jana turun dari mobil dan ketika matanya
terkunci pada Erga dan Raka, dia langsung
berlari menyambut dan memeluk mereka seerateratnya.
“Bunda, aku nggak bisa napas,” protes
Raka dengan suara agak terendam.
Jana tertawa dan melonggarkan
pelukannya, tapi dia menolak melepaskan mereka. Yang dia
inginkan adalah satu menit saja lagi
dengan anak-anaknya, di mana nggak ada pekerjaan
yang harus dia selesaikan, lalu lintas
padat yang harus dia lalui untuk mengantar mereka ke
rumah Mami, dan monster besar dan
menakutkan bernama Ben. Beberapa menit kemudian
Jana melepaskan pelukannya. Dia menatap anak-anaknya
dalam-dalam dan berkata, “Bunda
sayaaa…ng sekali sama kalian.”
“Aku juga sayang sama Bunda,” balas
Erga.
“Aku yang paling sayang sama Bunda,”
timpal Raka nggak mau kalah, yang menerima
pelototan dari Erga, membuat Jana
tertawa terbahak-bahak.
***
Ketika Jana sampai di rumah Mami, beliau
sedang berdiri di halaman depan, mengenakan
blus dan celana panjang putih katun dan
topi lebar, sibuk menyirami tanamannya. Jana baru
saja turun dari mobil dan melambaikan
tangannya kepada Mami sambil meneriakkan, “Hai,
Mam,” ketika sadar bahwa perhatian Mami
tidak tertuju padanya.
Dia belum sempat menoleh untuk mencari
tahu apa yang menarik perhatian Mami ketika
mendengar seseorang berteriak, “Hei,
kita belum selesai bicara!”
Terkejut, dia segera menoleh dan menemukan
Ben sedang bergegas ke arahnya dengan
wajah merah padam. Untuk beberapa detik
dia hanya bisa menganga. Otaknya tidak bisa
memproses apa yang sedang dilihatnya.
Samar-samar dia mendengar pintu mobil dibuka
dan ditutup, diikuti suara Erga dan Raka
sedang membicarakan sesuatu, meskipun dia tidak
tahu tentang apa. Kalau bukan karena
Raka yang mengatakan, “Halo, Oom Ben,” dia
mungkin menyangka bahwa dia sedang
berkhayal.
Beberapa pertanyaan yang berkelebatan di
dalam kepalanya adalah: bagaimana Ben bisa
ada di sini? Bagaimana dia bisa tahu
alamat rumah orangtuanya? Apa dia mengikuti dari
restoran tadi? Tapi saking kagetnya,
tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya
untuk mengemukakan semua pertanyaan ini.
Ben yang kelihatan terkejut oleh sapaan
Raka berhenti melangkah dan menatap Raka
dengan sesuatu yang mirip seperti
kebanggaan, ketakutan, dan kebingungan. Jana
menunggu detik ketika Ben akan lari
pontang-panting, tapi yang dia dapatkan justru Ben
melangkah mendekat dan berjongkok di
depan Raka.
“Halo,” sapa Ben. “Kamu pasti… Raka.”
Dari mana Ben bisa membedakan Erga dan
Raka, dia tidak tahu. Memang, ada kemungkinan
dia hanya menebak saja dan kebetulan
banget. Toh, hanya ada dua nama yang dia bisa pilih
dan kemungkinan dia benar adalah lima
puluh persen. Tapi, tetep saja, dia sedikit kagum.
Raka yang memang nggak pernah mengenal
kata malu-malu langsung membalas dengan
antusias. “Iya, kok Oom tahu?”
“Tahu dong,” balas Ben dan mengulurkan
tangannya untuk mengacak-acak rambut Raka
yang Oh my God menatap Ben seakan
laki-laki itu dewa.
Ben membalasnya dengan tertawa sebelum
mengalihkan perhatiannya kepada Erga, yang
berdiri ragu di belakang Raka. “Dan kamu
pasti Erga. Kembaran Raka,” ucapnya.
Dan sesuatu yang tidak pernah terjadi
sebelumnya selama tujuh tahun Jana membesarkan
Erga, kejadian. Erga mendekati Ben
dengan langkah pasti. Berhenti sekitar setengah meter
darinya untuk mengulurkan tangannya dan
mengatakan, “Erlangga Oetomo.”
Hilang sudah jejak anaknya yang pemalu
dan susahnya setengah mampus kalau diminta
berkenalan dengan orang baru. Yang ada
dihadapannya adalah… Jana bahkan nggak tahu
apa yang ada di hadapannya sekarang.
Rasa bangga di taburi sedikit kekecewaan karena
Ben, tanpa harus berusaha berhasil
menarik perhatian Erga, menyelimutinya.
Ben yang tidak kelihatan kaget sama
sekali segera meraih tangan Erga. “Ben Barata,”
ucapnya. Dia kemudian memutar tangan
kanan Erga dan mengomentari, “Jam tangan kamu
keren. Optimus Prime kan, ya?”
Senyum lebar menghiasi wajah Erga dan
dia mengangguk antusias. Satu lagi hal yang Jana
tahu disukai anak-anaknya selain
berenang adalah Transformers. Mulai dari kartunnya,
filmnya, hingga segala tetek-bengek yang
berhubungan dengannya. Pada ulang tahun
mereka yang ke-6, mereka menolak memakai
selimut Barney lagi dan meminta dibelikan
selimut bergambar tokoh-tokoh robot
Transformers.
“Raka punya Bumblebee,” ucap Erga kepada
Ben.
Raka langsung mengulurkan lengan
kanannya untuk memamerkan jamnya. Dan untuk
beberapa menit Ben menginspeksi jam
tangan Optimus Prime dan Bumblebee dengan
keantusiasan luar biasa.
Don’t freak out, don’t freak out, don’t
freak out, Jana mengucapkan mantra ini dalam diam
sementara menyaksikan kejadian di
hadapannya. Dan dia masih merasa cukup oke, sampai
Erga dan Raka menyandarkan tubuh mereka
ke Ben dengan kepercayaan penuh bahwa
tubuh Ben akan mampu menahan tubuh
mereka. Sekilas mata Ben melirik Jana, bukan
dengan penuh kemenangan karena dia bisa
membuat Raka dan Erga ngobrol dengannya,
tapi seperti menanyakan: “Is this okay?”
Tentu aja nggak oke!! Jana tidak mau
mengakuinya, tapi dia seriously freaking out. Apa dia
oke dengan semua ini? Dengan
anak-anaknya yang langsung lengket pada Ben? Bagi orang
yang tidak mengenal mereka dan melihat
interaksi mereka sekarang, mereka akan berpikir
bahwa Ben adalah ayah Erga dan Raka. Dan
mereka tidak salah karena connection yang
dimiliki Ben dengan Erga dan Raka adalah
pertalian yang hanya dimiliki orangtua dengan
anak mereka. Pertalian darah yang lebih
daripada hanya DNA. Melihat betapa nyamannya
Erga dan Raka dengan Ben, dan Ben dengan
mereka, membuatnya bertanya-tanya
bagaimana dia pernah berpikir untuk
memisahkan mereka. Tiga laki-laki terpenting di dalam
hidupnya. Ya, dia tahu apa yang baru
saja dia pikirkan. Dan betapa pun sulit baginya untuk
mengakuinya, tapi tidak bisa dipungkiri
lagi, Ben adalah orang penting di dalam hidupnya.
Jana mendapati Ben masih menatapnya dan
tanpa dia sadari, dia sudah mengangguk dan
Ben dengan luwesnya langsung mendudukkan
mereka pada kedua pahanya dan melingkari
pinggang mereka supaya tidak jatuh. Jana
melihat Ben menarik napas sambil menutup
matanya selama beberapa detik, seakan
mencoba mengingat aroma anak-anaknya,
sementara mereka ngomong ngalor-ngidul
ngetan-ngulon tentang Transformers. Apa Ben
sadar bahwa Erga dan Raka memiliki aroma
yang sama dengannya?
Jana meloncat kaget ketika ada tangan
menyentuh bahunya dan menemukan Mami sedang
menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Oh
shit!!! Dia lupa sama sekali bahwa mereka
sedang berada di perkarangan rumah Mami.
“Mam,” ucap Jana, sambil memutar otak
mencoba menjelaskan keadaan ini.
Beberapa hari yang lalu ketika Mami dan
Papi menginterogasinya tentang siapa Ben, dia
berkata Ben hanyalah teman lamanya.
Kerika Mami bertanya kenapa dia tidak pernah di
kenalkan ke keluarga, Jana berkata itu
baru pertama kalinya dia bertemu lagi setelah
bertahun-tahun ini, yang tentunya
membuat Mami bertanya-tanya kenapa kalau dia baru
saja bertemu lagi kok dia sudah ciuman
dengannya di tempat umum. Jana harus berbohong
dengan mengatakan bahwa ciuman Ben hanya
kecelakaan. Dia hanya mau mencium pipinya
tapi mendarat di bibirnya. Ya, dia tahu
alasannya ini banyak bolongnya, tapi Mami
sepertinya cukup puas untuk melepaskan
topic itu.
Tapi dari ekspresi wajah Mami sekarang,
yang jelas-jelas bisa melihat kesamaan wajah Ben
dengan Erga dan Raka, Jana tahu bahwa
dirty little secret-nya sudah tidak bisa
disembunyikan lagi. Satu-satunya hal
yang dia syukuri adalah bahwa Mami tidak berteriakteriak
memarahinya seperti orang gila, atau
lebih parah lagi mencekik Ben dengan slang
kebun.
***
Ben tidak tahu berapa lama dia sudah
berjongkok dengan anak-anaknya di pangkuannya.
Yang dia tahu adalah bahwa kakinya sudah
mati rasa, tapi dia menolak bangun dan
kehilangan kehangatan mereka. Dan dia
bukan membicarakan tentang suhu tubuh. Rasa
sayang yang dia rasakan untuk mereka
minggu lalu tidak ada bandingannya dengan apa
yang dia rasakan sekarang. Bahkan jauh
melewati rasa sayangnya terhadap Eva, Erik, Mama,
Papa, dan Jana. Dia menyayangi Erga dan
Raka lebih daripada apa pun juga di muka bumi
ini. Rasa proktektif yang tidak
tergambarkan meremas hatinya. Dia bersumpah akan
melindungi dan menjauhkan mereka dari
segala hal buruk di dunia ini.
Dia tersadar kembali dari segala rasa
haru yang sedang menyergapnya ketika mendengar
Jana menyebut namanya. Perlahan-lahan
dia mengedipkan matanya beberapa kali untuk
memfokuskannya pada wajah Jana yang
sekarang sedang tersenyum padanya. Inilah
pertama kalinya Ben melihatnya tersenyum
dan efeknya hampir membuatnya jatuh
terduduk.
“Aku harus balik ke kantor,” kata Jana.
Oke… dia tidak tahu maksud Jana dengan
kata-kata ini. Melihat kebingungannya, Jana
menambahkan, “Aku harus ninggalin Erga
dan Raka sama Mami.”
Pada saat itulah dia melihat wanita
setengah baya yang berdiri di sebelah Jana, yang kini
sedang menatapnya dengan mata
berkaca-kaca. Is this… no way. Ini ibunya Jana? Tidak
salah lagi, ini ibunya Jana. Dia
kelihatan seperti Jana versi lima puluh tahun dan orang
Jepang. Dan Ben jatuh terduduk membawa
Erga dan Raka bersamanya. Ben berusaha
bangun untuk memeriksa apakah
anak-anaknya sudah cedera karena keteledorannya, tapi
yang ada mereka malah tertawa-tawa dan
bergantian menindihnya seperti WWF
SmackDown. Samar-samar dia mendengar
suara Jana meminta Erga dan Raka untuk
berhenti, yang tidak dihiraukan sama
sekali oleh mereka.
Lima menit kemudian dan dia masih
mendapati dirinya ditindihi anak-anaknya, dia sadar
bahwa kemeja dua ratus dolarnya
kemungkinan sudah kotor kena tanah dan rumput dan
nggak akan bisa dipakai lagi setelah
ini. Tapi dia having too much fun untuk memedulikan
hal sepele seperti itu. Kemeja dia bisa
beli lagi, tapi main dengan anak-anaknya seperti ini
kemungkinan tidak akan pernah terjadi
lagi. Dia membalas serangan Erga dan Raka dengan
memiting mereka, membuat mereka
guling-guling nggak karuan di atas rumput, mencoba
menghindari serangannya. Anak-anaknya
memang berukuran besar untuk anak seumuran
mereka, tapi tidak sebanding dengan
dirinya. Dengan mudahnya dia menarik mereka ke
dalam pelukannya dan terus memiting
mereka.
“Stop… stop …. Hihihi…,” teriak Erga.
“Ampun… ampun… ARRRGGHHH!!! Nggak lagi…
nggak lagi,” teriak Raka.
Ben mengasihani mereka yang sudah minta
ampun dan melepaskan pitingannya. Dia baru
saja akan menarik napas panjang ketika
ditabrak dengan ganas oleh dua tubuh kecil yang
meneriakkan, “Seraaa…ng!!!” dan
membuatnya jatuh telentang di rumput. Lain dari
sebelumnya, di mana mereka akan
menindihnya seperti pyramid, kini mereka
menggabungkan serangan untuk balik
memitingnya. Alhasil selama semenit ke depan
mereka sibuk saling memiting sampai dia
merasakan semburan air cukup kencang yang
diarahkan pada wajahnya, membuatnya
berteriak, “Aaaaggghhh!!!”
Dan sepertinya bukan dia saja yang
terkena semburan air itu karena dia mendengar Erga
dan Raka berteriak, “Ujaaan, ujaaan,”
pada saat bersamaan.
Ben mencoba bangun dari posisinya agar
bisa menarik Erga dan Raka untuk berteduh. Dia
bingung sesaat ketika melihat langit
masih cerah, tidak ada setitik hujan pun. Baru pada saat
itu dia melihat ibu Jana memegang slang
dengan moncong menghadap mereka, siap
menyemprot lagi bila perlu. Ben tahu dia
seharusnya takut melihat wanita itu bertolak
pinggang dan melemparkan tatapan siap
membunuhnya, tapi yang ada dia malah mulai
cekikikan. Dan cekikikannya ini membuat
Erga dan Raka cekikikan juga. Cekikikan Ben
berubah menjadi tawa lepas ketika dia
mendengar Raka bertanya, “Ayo, Mbah Uti, semprot
lagi.”
“Iya, Mbah. Lebih kenceng ya,” timpal
Erga.
Ya Tuhan. Kalau ada orang pernah
meragukan bahwa Erga dan Raka adalah anak-anaknya,
mereka tidak akan meragukannya setelah
ini. Anak-anaknya adalah dia seratus persen,
berikut dengan keiblisannya jua. God, he
loves them to death. Di antara tawanya, dia melirik
Jana yang sekarang terkekeh sambil
memegangi perutnya. Hal ini membawa kehangatan
tersendiri pada hatinya.
Setidak-tidaknya dia tahu Jana masih memiliki sense of humor
seperti dulu. Mata mereka bertemu dan
sebuah pengertian muncul. Apa pun yang telah
atau akan terjadi diantara mereka
berdua, pada detik ini, dia, Erga, Raka, dan Jana adalah
satu kesatuan.
***
Tiba-tiba gugup oleh tatapan Ben yang
penuh arti itu, Jana berhenti teratwa dan
mengalihkan perhatiannya ke
anak-anaknya. “Raka, Erga, ayo masuk. Seragam kalian kotor
penuh tanah dan perlu dicuci. Kalian
juga perlu mandi, ada tanah di rambut kalian,” perintah
Jana.
“Tapi, Bunda…,” rengek Raka.
“Nggak pake tapi-tapi,” potong Jana.
Raka dan Erga langsung bangun dari
posisi mereka yang sudah menggunakan tubuh Ben
sebagai bantal. “ Oom Ben gimana?” Tanya
Erga.
“Oom Ben gimana, apa?”
“Oom Ben bajunya kotor. Rambutnya juga.
Apa Oom Ben harus mandi juga?”
“Ya, Oom Ben juga harus mandi.” Jawaban
ini membuat Ben menaikkan alisnya penuh
pertanyaan dan Jana menambahkan, “Di
rumahnya sendiri.”
Dan laki-laki itu berani-beraninya
memampangkan wajah cemberut, membuatnya ingin
ketawa. Damn him!
“Apa Oom Ben nggak bisa mandi di sini?”
timbrung Raka. Ketika pertanyaannya ini tidak
menerima jawaban, Raka mengalihkan
tatapannya ke Mami dan bertanya dengan nada
memohon, “Mbah, Oom Ben bisa kan mandi
di sini?”
Menyadari bahwa Mami kemungkinan akan
mengatakan “Iya”, Jana langsung memotong.
“Raka, Bunda yakin Oom Ben lebih suka
mandi di rumahnya sendiri. Udah, ayo say googbye
sama Oom Ben dan masuk ke dalam rumah.
Bunda masih harus balik ke kantor.”
Jana mengucapkan syukur ketika Raka
tidak berdebat lagi dengannya. Tapi sedetik
kemudian ketika dia melihat Raka memutar
tubuhnya untuk memeluk Ben, lebih tepatnya
kaki kanan Ben, satu-satunya tempat yang
bisa dicapai Raka ketika Ben sudah berdiri tegak,
Jana ingin menendang dirinya sendiri.
“Bye, Oom Ben,” ucap Raka.
Ben menunduk untuk mengangkat Raka dan
memeluknya erat, seolah tidak akan mau
melepaskannya lagi. Beberapa menit
kemudian, menyadari dia kemungkinan meremukkan
tulang rusuk Raka, dia melonggarkan
pelukannya. “Bye, buddy,” ucapnya pelan dan
mencium pipi Raka dengan bunyi “Ceplok”.
“Kapan-kapan ke sini lagi ya, Oom. Kita
bisa main tindih-tindihan lagi.”
“Oke,” ucap Ben sambil tersenyum lebar
dan menurunkan Raka.
Seakan tahu Erga sedikit lebih sensitive
daripada kembarannya, Ben tidak langsung
memeluknya, meskipun dari matanya Jana
bisa melihat itulah yang ingin dia lakukan. Ben
memilih menunggu sinyal dari Erga yang
perlahan-lahan berjalan ke arahnya.
“Bye, Erga,” ucap Ben pelan.
“Bye, Oom,” balas Erga dengan wajah
serius.
Dan tanpa memberikan pelukan atau ciuman
kepada Ben, Erga berlalu memasuki rumah.
Raka kelihatan ragu sesaat, sebelum
mengikutinya. Jana betul-betul ingin menangis melihat
wajah penih kehilangan yang dipaparkan
Ben sekarang. Dia baru saja akan berkata-kata
ketika didahului oleh Mami.
“Jadi kamu ayahnya Erga dan Raka?”
Jana langsung menggigit bibirnya. Uh oh.
Dia tidak tahu bagaimana percakapan antara
Mami dan Ben ini akan berakhir. Pada
detik itu Jana betul-betul mengasihani Ben. Mana
berlepotan lumpur, dipelototin seperti
seorang pemerkosa pula. Oleh sebab itu dia cukup
terkejut ketika Ben justru melangkah
pasti mendekati Mami dan mengulurkan tangannya.
“Ya, Tante. Saya Ben… Ben Barata.”
Whoa.. Ben ternyata jauh lebih bernyali
daripada yang yang dia pikir. Sejujurnya, kalau dia
jadi Ben, dia mungkin sudah ngibrit.
Mami menyipitkan mata, seakan mencoba
menilai Ben, sebelum berkata, “Apa kamu punya
hubungan dengan Oscar Barata?”
Oh, crap!!! Jana tahu betapa Ben tidak
suka kalau orang menilainya hanya karena nama
papanya. Itu sebabnya dia suka kuliah di
Amerika, di mana tidak ada orang yang mengenal
atau peduli dengan itu dan
memperlakukannya biasa-biasa saja. As if orang yang mengenal
Ben memperlakukannya seperti itu. Entah
kapan Ben sadar bahwa yang membuat orang
menempel padanya adalah karena dia,
bukan papanya.
Jana melihat Ben meringis dan dia
berpikir Ben akan menolak menjawab pertanyaan itu
ketika mendengarnya menjawab, “Itu papa
saya,”
Mata mami langsung melebar bak piringan
hitam, membuat Jana takut beliau sedang
mengalami serangan jantung. Setitik
pengenalan muncul pada matanya, disusul sesuatu
yang mirip… kebanggaan? What the hell?
Ketika Jana melihat Mami tersenyum,
kebingungannya berubah menjadi waswas.
Dan ketika detik selanjutnya Mami berjalan
mendekati Ben dan memeluknya,
menempelkan blus putih bersihnya dengan kemeja Ben
yang super kotor, jantung Jana sudah
hampir meloncat keluar.
“Welcome to the family, son,” ucap Mami
Dan segala sumpah serapah terlintas di
kepala Jana, sesuatu yang dia sadari semakin sering
dia lakukan semenjak Ben muncul lagi di
dalam kehidupannya.
Dirty Little Secret - Bab 13
No comments:
Post a Comment