Sunday, September 6, 2015

Dirty Little Secret - Bab 12

Bab 12

Cause I’ve relied on my illusions
To keep me warm at night
But I denied in my capacity to love
I am willing, to give up this fight
Kepala Jana berkecambuk dengan segala sumpah serapah kepada dirinya sendiri, yang
selama seminggu ini sudah merasa bersalah terhadap Ben. Dia sudah bertekad memperbaiki
kesalahannya yang telah menyembunyikan Erga dan Raka dari Ben dengan memberikan Ben
kesempatan untuk betul-betul mengenal anak-anaknya kalau dia mau. Membayangkan
ekspresi Raka dan Erga ketika mereka tahu bahwa mereka memiliki seorang ayah yang mau
bertemu dengan mereka sempat membuatnya terharu. Meskipun dia merasa sedikit takut
bahwa dia tidak lagi jadi orang nomor satu yang paling disayangi oleh anak-anaknya dengan
kehadiran Ben, tapi dia rela melakukannya dengan harapan anak-anaknya akan menjadi
seperti anak-anak lain yang memiliki ibu dan ayah.
Dia bahkan sudah mempertimbangkan untuk suatu hari menjalin rumah tangga dengan Ben
kalau pilihan ini dipersembahkan padanya. Tapi apa yang dia dapatkan? Laki-laki itu bahkan
nggak tinggal di benua yang sama dengan mereka!!! Kalau benua yang dia tinggali adalah
Australia, yang hanya memakan waktu maksimal delapan jam terbang dari Jakarta, dia
mungkin masih bisa memikirkan suatu arrangement di mana Ben akan datang mengunjungi
anak-anaknya setiap dua minggu sekali, atau dia yang membawa Erga dan Raka
mengunjungi Ben. Tapi Ben tinggal di benua yang paling jauh dari Jakarta. Kutub utara atau
selatan saja masih lebih dekat dengan Jakarta daripada Amerika.
Dengan keterangan pekerjaannya, Jana tahu Ben sudah cukup mapan di Chicago, bahkan
ada kemungkinan dia sudah punya green card, atau lebih parah lagi kewarganegaraan
Amerika. Itu berarti dia di Jakarta hanya untuk liburan, yang mengindikasikan bahwa cepat
atau lambat dia akan harus kembali ke Amerika. Lalu apa yang akan terjadi dengan anakanaknya
setelah Ben pergi? Dia tidak meragukan kemampuan Ben untuk membuat anakanaknya
menyayanginya kalau diberikan kesempatan. Sumpah, Ben adalah tipe orang
dengan aura dan personality yang mudah disukai siapa saja. Tapi seingatnya, Ben nggak
pernah punya teman baik. Dia lebih senang loncat dari satu teman ke teman yang lain.
Sesuatu yang sepertinya tidak pernah dipermasalahkan oleh orang-orang yang mengira diri
mereka tanpa Ben, karena Jana tidak pernah bertemu orang yang tidak akan tersenyum
lebar kalau bertemu dengannya. Nggak peduli mereka laki-laki atau perempuan.
Tapi anak-anaknya bukanlah teman-teman sementara Ben yang bisa ditinggalkan begitu saja
kalau dia sudah menemukan teman baru. Mereka nggak akan bisa mengerti kenapa seorang
laki-laki yang memperkenalkan diri sebagai ayah mereka tiba-tiba menghilang begitu saja.
Kunjungan setiap beberapa bulan atau kapan saja Ben ada waktu tidak akan cukup bagi
mereka. Anak-anaknya berhak memiliki ayah full-time yang bisa mereka telepon kalau
mereka memerlukannya dan dia akan datang dalam hitungan menit, bukannya dua puluh
jam. Mereka berhak memiliki ayah yang menghabiskan setiap hari Sabtu-nya mengajari
mereka berenang, dan setiap malamnya menyelimuti mereka. Dan kalau Ben tidak bisa
memberikan ini semua, lebih baik nggak usah sama sekali.
Jana tidak tahu bagaimana dia bisa sampai di depan gerbang sekolah anak-anak, tapi tanpa
dia sadari dia sudah mendorong persneling dari “D” ke “P”, dan menunggu hingga Raka dan
Erga muncul. Merasa terlalu resah untuk duduk, Jana turun dari mobil dan ketika matanya
terkunci pada Erga dan Raka, dia langsung berlari menyambut dan memeluk mereka seerateratnya.
“Bunda, aku nggak bisa napas,” protes Raka dengan suara agak terendam.
Jana tertawa dan melonggarkan pelukannya, tapi dia menolak melepaskan mereka. Yang dia
inginkan adalah satu menit saja lagi dengan anak-anaknya, di mana nggak ada pekerjaan
yang harus dia selesaikan, lalu lintas padat yang harus dia lalui untuk mengantar mereka ke
rumah Mami, dan monster besar dan menakutkan bernama Ben. Beberapa menit kemudian
Jana melepaskan pelukannya. Dia menatap anak-anaknya dalam-dalam dan berkata, “Bunda
sayaaa…ng sekali sama kalian.”
“Aku juga sayang sama Bunda,” balas Erga.
“Aku yang paling sayang sama Bunda,” timpal Raka nggak mau kalah, yang menerima
pelototan dari Erga, membuat Jana tertawa terbahak-bahak.
***
Ketika Jana sampai di rumah Mami, beliau sedang berdiri di halaman depan, mengenakan
blus dan celana panjang putih katun dan topi lebar, sibuk menyirami tanamannya. Jana baru
saja turun dari mobil dan melambaikan tangannya kepada Mami sambil meneriakkan, “Hai,
Mam,” ketika sadar bahwa perhatian Mami tidak tertuju padanya.
Dia belum sempat menoleh untuk mencari tahu apa yang menarik perhatian Mami ketika
mendengar seseorang berteriak, “Hei, kita belum selesai bicara!”
Terkejut, dia segera menoleh dan menemukan Ben sedang bergegas ke arahnya dengan
wajah merah padam. Untuk beberapa detik dia hanya bisa menganga. Otaknya tidak bisa
memproses apa yang sedang dilihatnya. Samar-samar dia mendengar pintu mobil dibuka
dan ditutup, diikuti suara Erga dan Raka sedang membicarakan sesuatu, meskipun dia tidak
tahu tentang apa. Kalau bukan karena Raka yang mengatakan, “Halo, Oom Ben,” dia
mungkin menyangka bahwa dia sedang berkhayal.
Beberapa pertanyaan yang berkelebatan di dalam kepalanya adalah: bagaimana Ben bisa
ada di sini? Bagaimana dia bisa tahu alamat rumah orangtuanya? Apa dia mengikuti dari
restoran tadi? Tapi saking kagetnya, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya
untuk mengemukakan semua pertanyaan ini.
Ben yang kelihatan terkejut oleh sapaan Raka berhenti melangkah dan menatap Raka
dengan sesuatu yang mirip seperti kebanggaan, ketakutan, dan kebingungan. Jana
menunggu detik ketika Ben akan lari pontang-panting, tapi yang dia dapatkan justru Ben
melangkah mendekat dan berjongkok di depan Raka.
“Halo,” sapa Ben. “Kamu pasti… Raka.”
Dari mana Ben bisa membedakan Erga dan Raka, dia tidak tahu. Memang, ada kemungkinan
dia hanya menebak saja dan kebetulan banget. Toh, hanya ada dua nama yang dia bisa pilih
dan kemungkinan dia benar adalah lima puluh persen. Tapi, tetep saja, dia sedikit kagum.
Raka yang memang nggak pernah mengenal kata malu-malu langsung membalas dengan
antusias. “Iya, kok Oom tahu?”
“Tahu dong,” balas Ben dan mengulurkan tangannya untuk mengacak-acak rambut Raka
yang Oh my God menatap Ben seakan laki-laki itu dewa.
Ben membalasnya dengan tertawa sebelum mengalihkan perhatiannya kepada Erga, yang
berdiri ragu di belakang Raka. “Dan kamu pasti Erga. Kembaran Raka,” ucapnya.
Dan sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya selama tujuh tahun Jana membesarkan
Erga, kejadian. Erga mendekati Ben dengan langkah pasti. Berhenti sekitar setengah meter
darinya untuk mengulurkan tangannya dan mengatakan, “Erlangga Oetomo.”
Hilang sudah jejak anaknya yang pemalu dan susahnya setengah mampus kalau diminta
berkenalan dengan orang baru. Yang ada dihadapannya adalah… Jana bahkan nggak tahu
apa yang ada di hadapannya sekarang. Rasa bangga di taburi sedikit kekecewaan karena
Ben, tanpa harus berusaha berhasil menarik perhatian Erga, menyelimutinya.
Ben yang tidak kelihatan kaget sama sekali segera meraih tangan Erga. “Ben Barata,”
ucapnya. Dia kemudian memutar tangan kanan Erga dan mengomentari, “Jam tangan kamu
keren. Optimus Prime kan, ya?”
Senyum lebar menghiasi wajah Erga dan dia mengangguk antusias. Satu lagi hal yang Jana
tahu disukai anak-anaknya selain berenang adalah Transformers. Mulai dari kartunnya,
filmnya, hingga segala tetek-bengek yang berhubungan dengannya. Pada ulang tahun
mereka yang ke-6, mereka menolak memakai selimut Barney lagi dan meminta dibelikan
selimut bergambar tokoh-tokoh robot Transformers.
“Raka punya Bumblebee,” ucap Erga kepada Ben.
Raka langsung mengulurkan lengan kanannya untuk memamerkan jamnya. Dan untuk
beberapa menit Ben menginspeksi jam tangan Optimus Prime dan Bumblebee dengan
keantusiasan luar biasa.
Don’t freak out, don’t freak out, don’t freak out, Jana mengucapkan mantra ini dalam diam
sementara menyaksikan kejadian di hadapannya. Dan dia masih merasa cukup oke, sampai
Erga dan Raka menyandarkan tubuh mereka ke Ben dengan kepercayaan penuh bahwa
tubuh Ben akan mampu menahan tubuh mereka. Sekilas mata Ben melirik Jana, bukan
dengan penuh kemenangan karena dia bisa membuat Raka dan Erga ngobrol dengannya,
tapi seperti menanyakan: “Is this okay?”
Tentu aja nggak oke!! Jana tidak mau mengakuinya, tapi dia seriously freaking out. Apa dia
oke dengan semua ini? Dengan anak-anaknya yang langsung lengket pada Ben? Bagi orang
yang tidak mengenal mereka dan melihat interaksi mereka sekarang, mereka akan berpikir
bahwa Ben adalah ayah Erga dan Raka. Dan mereka tidak salah karena connection yang
dimiliki Ben dengan Erga dan Raka adalah pertalian yang hanya dimiliki orangtua dengan
anak mereka. Pertalian darah yang lebih daripada hanya DNA. Melihat betapa nyamannya
Erga dan Raka dengan Ben, dan Ben dengan mereka, membuatnya bertanya-tanya
bagaimana dia pernah berpikir untuk memisahkan mereka. Tiga laki-laki terpenting di dalam
hidupnya. Ya, dia tahu apa yang baru saja dia pikirkan. Dan betapa pun sulit baginya untuk
mengakuinya, tapi tidak bisa dipungkiri lagi, Ben adalah orang penting di dalam hidupnya.
Jana mendapati Ben masih menatapnya dan tanpa dia sadari, dia sudah mengangguk dan
Ben dengan luwesnya langsung mendudukkan mereka pada kedua pahanya dan melingkari
pinggang mereka supaya tidak jatuh. Jana melihat Ben menarik napas sambil menutup
matanya selama beberapa detik, seakan mencoba mengingat aroma anak-anaknya,
sementara mereka ngomong ngalor-ngidul ngetan-ngulon tentang Transformers. Apa Ben
sadar bahwa Erga dan Raka memiliki aroma yang sama dengannya?
Jana meloncat kaget ketika ada tangan menyentuh bahunya dan menemukan Mami sedang
menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Oh shit!!! Dia lupa sama sekali bahwa mereka
sedang berada di perkarangan rumah Mami.
“Mam,” ucap Jana, sambil memutar otak mencoba menjelaskan keadaan ini.
Beberapa hari yang lalu ketika Mami dan Papi menginterogasinya tentang siapa Ben, dia
berkata Ben hanyalah teman lamanya. Kerika Mami bertanya kenapa dia tidak pernah di
kenalkan ke keluarga, Jana berkata itu baru pertama kalinya dia bertemu lagi setelah
bertahun-tahun ini, yang tentunya membuat Mami bertanya-tanya kenapa kalau dia baru
saja bertemu lagi kok dia sudah ciuman dengannya di tempat umum. Jana harus berbohong
dengan mengatakan bahwa ciuman Ben hanya kecelakaan. Dia hanya mau mencium pipinya
tapi mendarat di bibirnya. Ya, dia tahu alasannya ini banyak bolongnya, tapi Mami
sepertinya cukup puas untuk melepaskan topic itu.
Tapi dari ekspresi wajah Mami sekarang, yang jelas-jelas bisa melihat kesamaan wajah Ben
dengan Erga dan Raka, Jana tahu bahwa dirty little secret-nya sudah tidak bisa
disembunyikan lagi. Satu-satunya hal yang dia syukuri adalah bahwa Mami tidak berteriakteriak
memarahinya seperti orang gila, atau lebih parah lagi mencekik Ben dengan slang
kebun.
***
Ben tidak tahu berapa lama dia sudah berjongkok dengan anak-anaknya di pangkuannya.
Yang dia tahu adalah bahwa kakinya sudah mati rasa, tapi dia menolak bangun dan
kehilangan kehangatan mereka. Dan dia bukan membicarakan tentang suhu tubuh. Rasa
sayang yang dia rasakan untuk mereka minggu lalu tidak ada bandingannya dengan apa
yang dia rasakan sekarang. Bahkan jauh melewati rasa sayangnya terhadap Eva, Erik, Mama,
Papa, dan Jana. Dia menyayangi Erga dan Raka lebih daripada apa pun juga di muka bumi
ini. Rasa proktektif yang tidak tergambarkan meremas hatinya. Dia bersumpah akan
melindungi dan menjauhkan mereka dari segala hal buruk di dunia ini.
Dia tersadar kembali dari segala rasa haru yang sedang menyergapnya ketika mendengar
Jana menyebut namanya. Perlahan-lahan dia mengedipkan matanya beberapa kali untuk
memfokuskannya pada wajah Jana yang sekarang sedang tersenyum padanya. Inilah
pertama kalinya Ben melihatnya tersenyum dan efeknya hampir membuatnya jatuh
terduduk.
“Aku harus balik ke kantor,” kata Jana.
Oke… dia tidak tahu maksud Jana dengan kata-kata ini. Melihat kebingungannya, Jana
menambahkan, “Aku harus ninggalin Erga dan Raka sama Mami.”
Pada saat itulah dia melihat wanita setengah baya yang berdiri di sebelah Jana, yang kini
sedang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Is this… no way. Ini ibunya Jana? Tidak
salah lagi, ini ibunya Jana. Dia kelihatan seperti Jana versi lima puluh tahun dan orang
Jepang. Dan Ben jatuh terduduk membawa Erga dan Raka bersamanya. Ben berusaha
bangun untuk memeriksa apakah anak-anaknya sudah cedera karena keteledorannya, tapi
yang ada mereka malah tertawa-tawa dan bergantian menindihnya seperti WWF
SmackDown. Samar-samar dia mendengar suara Jana meminta Erga dan Raka untuk
berhenti, yang tidak dihiraukan sama sekali oleh mereka.
Lima menit kemudian dan dia masih mendapati dirinya ditindihi anak-anaknya, dia sadar
bahwa kemeja dua ratus dolarnya kemungkinan sudah kotor kena tanah dan rumput dan
nggak akan bisa dipakai lagi setelah ini. Tapi dia having too much fun untuk memedulikan
hal sepele seperti itu. Kemeja dia bisa beli lagi, tapi main dengan anak-anaknya seperti ini
kemungkinan tidak akan pernah terjadi lagi. Dia membalas serangan Erga dan Raka dengan
memiting mereka, membuat mereka guling-guling nggak karuan di atas rumput, mencoba
menghindari serangannya. Anak-anaknya memang berukuran besar untuk anak seumuran
mereka, tapi tidak sebanding dengan dirinya. Dengan mudahnya dia menarik mereka ke
dalam pelukannya dan terus memiting mereka.
“Stop… stop …. Hihihi…,” teriak Erga.
“Ampun… ampun… ARRRGGHHH!!! Nggak lagi… nggak lagi,” teriak Raka.
Ben mengasihani mereka yang sudah minta ampun dan melepaskan pitingannya. Dia baru
saja akan menarik napas panjang ketika ditabrak dengan ganas oleh dua tubuh kecil yang
meneriakkan, “Seraaa…ng!!!” dan membuatnya jatuh telentang di rumput. Lain dari
sebelumnya, di mana mereka akan menindihnya seperti pyramid, kini mereka
menggabungkan serangan untuk balik memitingnya. Alhasil selama semenit ke depan
mereka sibuk saling memiting sampai dia merasakan semburan air cukup kencang yang
diarahkan pada wajahnya, membuatnya berteriak, “Aaaaggghhh!!!”
Dan sepertinya bukan dia saja yang terkena semburan air itu karena dia mendengar Erga
dan Raka berteriak, “Ujaaan, ujaaan,” pada saat bersamaan.
Ben mencoba bangun dari posisinya agar bisa menarik Erga dan Raka untuk berteduh. Dia
bingung sesaat ketika melihat langit masih cerah, tidak ada setitik hujan pun. Baru pada saat
itu dia melihat ibu Jana memegang slang dengan moncong menghadap mereka, siap
menyemprot lagi bila perlu. Ben tahu dia seharusnya takut melihat wanita itu bertolak
pinggang dan melemparkan tatapan siap membunuhnya, tapi yang ada dia malah mulai
cekikikan. Dan cekikikannya ini membuat Erga dan Raka cekikikan juga. Cekikikan Ben
berubah menjadi tawa lepas ketika dia mendengar Raka bertanya, “Ayo, Mbah Uti, semprot
lagi.”
“Iya, Mbah. Lebih kenceng ya,” timpal Erga.
Ya Tuhan. Kalau ada orang pernah meragukan bahwa Erga dan Raka adalah anak-anaknya,
mereka tidak akan meragukannya setelah ini. Anak-anaknya adalah dia seratus persen,
berikut dengan keiblisannya jua. God, he loves them to death. Di antara tawanya, dia melirik
Jana yang sekarang terkekeh sambil memegangi perutnya. Hal ini membawa kehangatan
tersendiri pada hatinya. Setidak-tidaknya dia tahu Jana masih memiliki sense of humor
seperti dulu. Mata mereka bertemu dan sebuah pengertian muncul. Apa pun yang telah
atau akan terjadi diantara mereka berdua, pada detik ini, dia, Erga, Raka, dan Jana adalah
satu kesatuan.
***
Tiba-tiba gugup oleh tatapan Ben yang penuh arti itu, Jana berhenti teratwa dan
mengalihkan perhatiannya ke anak-anaknya. “Raka, Erga, ayo masuk. Seragam kalian kotor
penuh tanah dan perlu dicuci. Kalian juga perlu mandi, ada tanah di rambut kalian,” perintah
Jana.
“Tapi, Bunda…,” rengek Raka.
“Nggak pake tapi-tapi,” potong Jana.
Raka dan Erga langsung bangun dari posisi mereka yang sudah menggunakan tubuh Ben
sebagai bantal. “ Oom Ben gimana?” Tanya Erga.
“Oom Ben gimana, apa?”
“Oom Ben bajunya kotor. Rambutnya juga. Apa Oom Ben harus mandi juga?”
“Ya, Oom Ben juga harus mandi.” Jawaban ini membuat Ben menaikkan alisnya penuh
pertanyaan dan Jana menambahkan, “Di rumahnya sendiri.”
Dan laki-laki itu berani-beraninya memampangkan wajah cemberut, membuatnya ingin
ketawa. Damn him!
“Apa Oom Ben nggak bisa mandi di sini?” timbrung Raka. Ketika pertanyaannya ini tidak
menerima jawaban, Raka mengalihkan tatapannya ke Mami dan bertanya dengan nada
memohon, “Mbah, Oom Ben bisa kan mandi di sini?”
Menyadari bahwa Mami kemungkinan akan mengatakan “Iya”, Jana langsung memotong.
“Raka, Bunda yakin Oom Ben lebih suka mandi di rumahnya sendiri. Udah, ayo say googbye
sama Oom Ben dan masuk ke dalam rumah. Bunda masih harus balik ke kantor.”
Jana mengucapkan syukur ketika Raka tidak berdebat lagi dengannya. Tapi sedetik
kemudian ketika dia melihat Raka memutar tubuhnya untuk memeluk Ben, lebih tepatnya
kaki kanan Ben, satu-satunya tempat yang bisa dicapai Raka ketika Ben sudah berdiri tegak,
Jana ingin menendang dirinya sendiri.
“Bye, Oom Ben,” ucap Raka.
Ben menunduk untuk mengangkat Raka dan memeluknya erat, seolah tidak akan mau
melepaskannya lagi. Beberapa menit kemudian, menyadari dia kemungkinan meremukkan
tulang rusuk Raka, dia melonggarkan pelukannya. “Bye, buddy,” ucapnya pelan dan
mencium pipi Raka dengan bunyi “Ceplok”.
“Kapan-kapan ke sini lagi ya, Oom. Kita bisa main tindih-tindihan lagi.”
“Oke,” ucap Ben sambil tersenyum lebar dan menurunkan Raka.
Seakan tahu Erga sedikit lebih sensitive daripada kembarannya, Ben tidak langsung
memeluknya, meskipun dari matanya Jana bisa melihat itulah yang ingin dia lakukan. Ben
memilih menunggu sinyal dari Erga yang perlahan-lahan berjalan ke arahnya.
“Bye, Erga,” ucap Ben pelan.
“Bye, Oom,” balas Erga dengan wajah serius.
Dan tanpa memberikan pelukan atau ciuman kepada Ben, Erga berlalu memasuki rumah.
Raka kelihatan ragu sesaat, sebelum mengikutinya. Jana betul-betul ingin menangis melihat
wajah penih kehilangan yang dipaparkan Ben sekarang. Dia baru saja akan berkata-kata
ketika didahului oleh Mami.
“Jadi kamu ayahnya Erga dan Raka?”
Jana langsung menggigit bibirnya. Uh oh. Dia tidak tahu bagaimana percakapan antara
Mami dan Ben ini akan berakhir. Pada detik itu Jana betul-betul mengasihani Ben. Mana
berlepotan lumpur, dipelototin seperti seorang pemerkosa pula. Oleh sebab itu dia cukup
terkejut ketika Ben justru melangkah pasti mendekati Mami dan mengulurkan tangannya.
“Ya, Tante. Saya Ben… Ben Barata.”
Whoa.. Ben ternyata jauh lebih bernyali daripada yang yang dia pikir. Sejujurnya, kalau dia
jadi Ben, dia mungkin sudah ngibrit.
Mami menyipitkan mata, seakan mencoba menilai Ben, sebelum berkata, “Apa kamu punya
hubungan dengan Oscar Barata?”
Oh, crap!!! Jana tahu betapa Ben tidak suka kalau orang menilainya hanya karena nama
papanya. Itu sebabnya dia suka kuliah di Amerika, di mana tidak ada orang yang mengenal
atau peduli dengan itu dan memperlakukannya biasa-biasa saja. As if orang yang mengenal
Ben memperlakukannya seperti itu. Entah kapan Ben sadar bahwa yang membuat orang
menempel padanya adalah karena dia, bukan papanya.
Jana melihat Ben meringis dan dia berpikir Ben akan menolak menjawab pertanyaan itu
ketika mendengarnya menjawab, “Itu papa saya,”
Mata mami langsung melebar bak piringan hitam, membuat Jana takut beliau sedang
mengalami serangan jantung. Setitik pengenalan muncul pada matanya, disusul sesuatu
yang mirip… kebanggaan? What the hell? Ketika Jana melihat Mami tersenyum,
kebingungannya berubah menjadi waswas. Dan ketika detik selanjutnya Mami berjalan
mendekati Ben dan memeluknya, menempelkan blus putih bersihnya dengan kemeja Ben
yang super kotor, jantung Jana sudah hampir meloncat keluar.
“Welcome to the family, son,” ucap Mami
Dan segala sumpah serapah terlintas di kepala Jana, sesuatu yang dia sadari semakin sering

dia lakukan semenjak Ben muncul lagi di dalam kehidupannya.


Dirty Little Secret - Bab 13

No comments:

Post a Comment