Bab 13
I light a candle
in the garden of love
To blind the
angels looking down from above
Satu jam kemudian Ben menemukan
dirinya duduk di meja makan dirumah mami Jana,
mengenakan pakaian, bahkan celana
dalam yang bukan miliknya, sementara menunggu
hingga pakaiannya kering. Menurut
beliau pakaian ini milik adik Jana yang sedang kuliah di
Amerika. Setelah memeluknya
dengan antusias, alhasil membuat pakaian putih bersihnya
kotor dan menyambutnya ke dalam
lingkaran keluarga, mami Jana memaksanya mandi di
rumahnya, bahkan bersedia mencuci
pakaiannya segala.
Ketika dia keluar dari kamar
mandi setengah jam lalu hanya mengenakan handuk, mami
Jana mencegatnya sebelum dia
berpakaian.
“Permisi, Tante,” ucap Ben pelan,
mencoba mengambil langkah ke kiri untuk melewati
Mami Jana.
“Tante perlu bicara sama kamu.”
Kata-kata ini membuatnya berhenti
dan menatap mami Jana yang sedang menatapnya
tajam.
“O-oke. Apa boleh saya pakai
pakaian dulu?”
Mami Jana hanya memicingkan
matanya dan Ben tidak tahu kenapa dia harus takut sama
wanita yang bobot tubuhnya
kemungkinan hanya setengah bobot tubuhnya dan tingginya
bahkan tidak mencapai bahunya,
tapi dia menemukan dirinya hanya menutup mulut dan
menunggu.
“Tante nggak tahu apa yang
terjadi delapan tahun lalu di antara kamu dan Jana. Sampai
setengah jam yang lalu, Tante
bahkan nggak tahu kalau ayahnya Erga dan Raka adalah orang
Indonesia. Apalagi anaknya Oscar
Barata.”
Oh my God, apa yang wanita ini
inginkan darinya? Apa mami Jana berencana untuk
memerasnya setelah tahu siapa
dirinya? Well, beliau nggak perlu repot-repot. Dia sudah
bertekad memberikan support
keuangan penuh kepada anak-anaknya sampai mereka bisa
berdiri sendiri. Andaikan beliau
tahu bahwa satu-satunya penghalang baginya untuk
melakukannya adalah Jana, yang
kelihatan lebih baik mati daripada menerima sepeser pun
darinya. Tapi terlepas dari apa
yang mami Jana inginkan darinya, dia tidak menyangka
bahwa Jana bahkan tidak pernah
menceritakan siapa dirinya kepada orangtuanya. Jana pasti
betul-betul membencinya
sampai-sampai memutuskan semua asosiasi dengan dirinya
seperti itu, meskipun dengan
risiko dinilai buruk oleh semua orang karena sudah hamil
tanpa suami.
“Apa kamu tahu kalau dia hamil?”
Ben menarik napas dalam. Dia tahu
salah satu kata saja, dia bisa kehilangan segalanya, oleh
karena itu, dia harus memilih
kata-katanya dengan sehati-hati mungkin. “Saya tahu kalo
Jana hamil, tapi saya nggak
pernah tahu kalo Jana mutusin untuk… keep the baby, well
babies… daripada
menggugurkannya.”
“Kamu ini siapanya Jana waktu
itu?”
“Saya pacarnya.”
Melihat mami Jana yang kelihatan
seperti baru dilindas bulldozer mendengar berita ini, Ben
buru-buru menambahkan, “Jana
memang nggak pernah cerita ke Tante atau Oom tentang
saya. Dia takut Tante dan Oom
nggak akan setuju kalau dia punya pacar waktu kuliah.”
Salah satu tangan mami Jana mulai
mengelus-elus dadanya. Dan Ben berpikir beliau akan
menangis sebentar lagi. Dia
betul-betul nggak tahu apa yang dia akan lakukan kalau itu
sampai terjadi. Memeluk beliau
sementara dia hanya mengenakan handuk bukanlah pilihan.
Untungnya beliau kemudian bisa
mengontrol emosinya dan bertanya, “Kapan kamu tahu
keberadaan Raka dan Erga?”
Ben menelan ludah, memori hari
itu masih membuat hatinya remuk. “Seminggu yang lalu,”
ucapnya pelan.
Mami Jana terpekik dan menutup
mulutnya dengan telapak tangan. Matanya menatapnya
tidak percaya. “Jadi kamu nggak
pernah tahu kalo kamu punya anak, hingga minggu lalu?”
bisiknya.
Ben mengangguk. “Waktu Jana
ninggalin saya, dia bilang dia udah ngegugurin
kandungannya. Dan nggak pernah
terlintas di pikiran saya sama sekali bahwa dia udah
bohong.”
“Kenapa dia harus bohong sama
kamu?”
Oh, God. Here we go. Lebih baik
mami Jana tahu mengenai ini darinya, mungkin dengan
begitu, beliau akan lebih toleran
terhadapnya. Ben menarik napas dan berkata secepat
mungkin, “Waktu Jana datang
ketemu saya dan bilang dia hamil… saya.. saya minta… saya
minta dia untuk ngegugurin
kandungannya.”
Dia menunggu teriakan sumpah
serapah, tamparan, dan pukulan dari mami Jana, seperti
yang Eva lakukan padanya. Dia
terkejut ketika menemukan beliau hanya menatapnya
dengan mulut ternganga.
“Saya tahu saya sudah salah
besar, Tante. Bukan Cuma terhadap Jana, tapi juga terhadap
Erga dan Raka. Saya ngerti kalau
Tante marah dan mau memaki-maki, menampar, atau
memukuli saya. Saya berhak
mendapatkan itu. Tapi saya mohon, jangan jauhkan saya dari
anak-anak saya. Kasih saya
kesempatan untuk memperbaiki ini semua. Saya harus
memperbaiki ini semua, Tante.”
Mami Jana menatapnya dengan penuh
pertimbangan dan berkata penuh ancaman, “Tante
seharusnya memotong testikel kamu
dan mengusir kamu dari rumah ini sekarang juga
setelah apa yang sudah kamu
lakukan rterhadap Jana.”
Ben meringis dan otomatis
tangannya langsung menutupi testikelnya, takut mami Jana tibatiba
mengeluarkan pisau dan
betul-betul melaksanakan ancamannya.
“Tapi Jana juga salah karena
menyembunyikan Raka dan Erga dari kamu,” sambung beliau
dengan nada lebih tenang.
Untuk beberapa menit Ben hanya
menatap mami Jana tanpa berkedip, berpikir beliau
sedang bercanda. Ketika dia sadar
bahwa beliau serius, dia menghembuskan napas yang dia
bahkan tidak sadar sudah dia
tahan. Tanpa dia sadari, dia juga menginginkan pengampunan,
bukan saja dari Jana, tapi juga
dari orangtuanya.
“Oleh karena itu, Tante akan
kasih kamu kesempatan untuk memperbaiki kesalahan kamu,
begitu juga Jana. Tapi inget,
Ben, kalau sampai kamu messed-up lagi, jangan harap kamu
akan bisa ketemu cucu-cucu tante
lagi.”
Ben sebetulnya ingin nyeletuk
bahwa “cucu-cucu Tante” itu adalah anak-anaknya, tapi dia
cukup pintar untuk tidak
mengatakannya. “Tante bisa pegang kata-kata saya.” Ucapnya.
Mami Jana melambaikan tangannya
dan berkata, “Bah!!! Kata-kata itu Cuma angin kalau
nggak diikuti sama tindakan yang benar.
Pikirkan betul-betul tindakan kamu setelah ini,
Ben.”
Kali ini Ben hanya mengangguk.
Seperti puas bahwa Ben memahami pesannya, mami Jana
melangkah mendekat dan
menepuk-nepuk pipinya. “Jadi kapan kamu akan menikahi Jana?”
HAAAHHH???!! Ben mencoba memformulasikan
jawaban yang tepat, tapi tidak bisa. Dia
hanya berhasil megap-megap jawab
pertanyaan ini, mami Jana hanya terkekeh dan berkata,
“Tante akan bawa Erga dan Raka
makan es krim. Kami akan kembali sejam lagi. Gunakan
waktu ini untuk berbicara dengan
Jana.” Sebelum berlalu meninggalkannya sendiri.
Perlahan-lahan Ben menghirup the
yang dibuatlam Jana untuknya sambil memikirkan
kenyentrikan mami Jana. Jana
sudah menelepon asistennya beberapa menit yang lalu untuk
menginformasikan bahwa dia tidak
akan kembali ke kantor siang ini. Dia tidak mendengar
jelas alasan yang diberikan Jana
dan sejujurnya, dia tidak peduli karena Jana sekarang
sedang duduk di hadapannya,
menghirup the dari cangkirnya. Ada sesuatu yang domestic
tentang apa yang mereka sedang
lakukan. Dia tidak keberatan melakukan ini setiap hari
dengan Jana. Sejujurnya, dia mau
melakukan apa saja asalkan dia melakukannya dengan
Jana dan anak-anaknya.
Mungkin mami Jana benar. Mungkin
dia harus betul-betul mempertimbangkan untuk
menikahi Jana. Apa beliau
betul-betul serius menginginkannya jadi menantunya? Bajingan
seperti dirinya? Nggak peduli dia
bajingan anak orang terkenal dan memiliki pekerjaan
mapan untuk menghidupi Jana dan
kedua anaknya dengan nyaman. Dan bagaimana dengan
papi Jana? Menurut Jana, papinya
jauh lebih strict daripada mami.
Dia yakin, di mata papi Jana, dia
tetap seorang bajingan yang telah menghamili anak
perempuannya dia luar nikah. Dan
dia tidak bisa menyalahkannya, karena dia akan
merasakan hal yang sama kalau
sampai ada laki-laki yang macam-macam dengan anak
perempuannya. Thank God Raka dan
Erga terlahir sebagai laki-laki. Dia tidak bisa
membayangkan karma apa yang akan
dia dapatkan atas perlakuannya terhadap Jana kalau
dia sampai punya anak perempuan.
Dia memang pulang ke Jakarta
dengan rencana untuk merayu Jana, membuatnya jatuh cinta
lagi kepadanya, yang dia yakin
bisa dilakukannya dalam hitungan minggu, sebelum
menikahinya. Tapi rencana ini
buyar setelah kejadian minggu lalu, kini, semuanya jauh lebih
rumit dengan kebaradaan Erga dan
Raka. Dan dia bukannya menyalahkan kehadiran anakanaknya,
dia hanya menyatakan fakta.
Karena kini dia tahu bahwa kalau dia mau menikahi
Jana, dia bukan saja harus
menyakinkan Jana, tapi juga anak-anaknya, bahwa dia laki-laki
yang pantas dinikahi. Which is
stupid. Mereka adalah anak-anaknya sendiri, damn it.
Tatapannya bertemu dengan Jana
yang memberikan senyuman ragu dan untuk beberapa
menit dia tidak bisa berkedip
meskipun matanya mulai panas. Betapa berbedanya keadaan
mereka kini dari tadi siang ketika
mereka bertemu di restoran. Keraguan dan ketidakpastian
yang menyelimuti mereka tadi
siang masih ada, tapi, setidak-tidak nya kini ada sedikit
kehangatan ketika Jana
menatapnya. Ben tahu Jana tidak lagi bisa berlagak dia tidak
terwujud. Dia ingat cara Jana
menatapnya ketika Erga dan Raka berada di pelukannya. Ada
kerinduan dan kesedihan pada
tatapan itu. Seakan dia menginginkannya menjadi bagian
keluarga kecil yang sudah dia
bangun selama ini, tetapi takut membiarkannya masuk.
Jana-lah yang memalingkan
wajahnya yang mulai memerah duluan untuk berjalan menuju
salah satu rak. Dan dia menahan
diri agar tidak mendesah karena merasa kehilangan. God,
this is insane. Dia betul-betul
tergila-gila pada wanita ini dan dia nggak tahu cara
menghapuskan atau setidak-tidaknya
mengurangi rasa itu supaya dia bisa berfungsi seperti
layaknya laki-laki normal.
Jana berjinjit mencoba meraih
sesuatu dari rak yang terlalu tinggi untuknya. “Jan, kamu lagi
cari apa?” Tanya Ben.
“Biskuit. Ada di rak atas,” jawab
Jana tanpa menoleh, masih sibuk mengaduk-aduk rak
sambil berjinjit. “Aduuuhhh…
susah banget sih!!!
“Sini, aku bantu.” Ben langsung
bangun dan mendekati Jana.
“Nggak, nggak usah. Aku bisa
sendiri.”
Ben tidak menghiraukan Jana dan
berdiri di belakangnya sebelum mengulurkan tangannya
ke dalam rak yang penuh dengan
segala macam biscuit, cukup untuk ngasih makan orang
sekampung. “Biskuit mana yang
kamu mau?”
Jana yang tersentak kaget
mendengar suaranya, langsung mengambil langkah mundur,
alhasil punggungnya menabrak
perut Ben. Dan Ben justru mengambil kesempatan ini untuk
melingkarkan lengannya pada
pinggang Jana. “Easy there,” ucapnya.
Dia mendengar Jana menarik napas
sebelum tubuhnya menjadi kaku. Dan Ben tahu dia
seharusnya melepaskannya, tapi
dia mendapati lengannya menolak mendengarkan perintah
otaknya. Dia justru mendapati
dirinya menunduk untuk mencium samping kepala Jana.
Aroma sampo citrus menyerangnya,
membuatnya menarik napas dalam-dalam.
Gooooddd!!! Aroma itu.
Samar-samar dia mendengar Jana
memanggil namanya, tapi dia menghiraukannya. Dia
justru mengeratkan pelukannya
pada pinggang Jana dan menariknya ke atas agar lebih bisa
menguburkan hidungnya pada rambut
Jana. Ben mendengar Jana mendesahkan, “Oh my
God.” Sebelum tubuhnya lunglai di
dalam pelukannya.
Dia mengambil kesempatan ini
untuk menarik rambut Jana ke samping dan menguburkan
hidungnya pada kulit leher yang
mengundang itu. Ketika dia merasakan tangan Jana naik
untuk melingkarkannya pada
lehernya, dia tidak bisa menahan diri lagi. Dia mulai menaburi
leher Jana dengan ciuman-ciuman
kecil. Dari cara tubuh Jana meleleh ketika dia
melakukannya, dia tahu bahwa
seperti dulu, area paling sensitive tubuhnya masih terletak
pada lehernya.
“Ben, we need to stop,” desah
Jana dengan nada yang sama sekali nggak meyakinkan.
Hell no!!! jana sudah gila kalau
menyangka akan bisa menghentikannya dengan kata-kata.
“Not gonna happen, baby,” jawab
Ben dan menarik leher sweater tipis yang dikenakan Jana
ke samping berikut dengan tali
branya, sebelum melarikan lidahnya dari telinga hingga
bahu.
Jana menggeram dan berkata dengan
sedikit terputus-putus, “Ben stop. Kita… oh help me
Jesus.. kita perlu… perlu
bicara.”
Ben tersenyum karena kata-kata
Jana jelas-jelas nggak sinkron dengan reaksi tubuhnya.
Meskipun Jana mengatakan tidak,
tapi dia tidak mencoba melepaskan diri dari pelukan Ben
dan suhu tubuhnya sudah naik
beberapa derajat. “Nanti,” bisik Ben dan melanjutkan
aktivitas lidahnya.
Ya Tuhan, yang dia inginkan
sekarang adalah untuk tenggelam dalam Jana dan nggak keluarkeluar
lagi. Tapi Ben tahu dia sudah
mendorong Jana terlalu jauh ketika tubuh Jana menjadi
kaku di pelukannya dan dia
menggeramkan, “Ben, aku serius!”
Meskipun enggan, tapi tahu dia
harus menghormati permintaan Jana, perlahan-lahan Ben
melonggarkan pelukannya, seperti
akan melepaskannya. Ketika tubuh Jana sudah relaks
lagi, dia membisikkan, “Oke, let
me just do this.”
Dan dengan hanya peringatan itu,
yang sama sekali bukan peringatan kalau dipikir-pikir lagi,
Ben mencupang leher Jana. Ya, dia
tahu ini nggak cool sama sekali, tapi dia tidak bisa
mengusir keinginan untuk menandai
Jana sebagai miliknya. Yep, dia betul-betul sudah
kehilangan akal sehatnya dan
tidak ada satu hal pun yang bisa dia lakukan untuk
mencegahnya.
Jana tidak percaya dia baru saja
membiarkan Ben menciumi dan melarikan lidahnya pada
lehernya seakan-akan dia punya
hak melakukan itu di dapur rumah Mami. DAPUR RUMAH
MAMI!!! Dia lebih tidak percaya
lagi Ben mencupang lehernya. Oh my God, this man is a pig.
“You’re a pig,” teriaknya sambil
mendorong Ben dengan kasar dan mengambil beberapa
langkah menjauhinya.
Ben hanya menyeringai seakan dia
baru memenangi sesuatu. Kemungkinan kontes gorilla
yang mampu memukuli dadanya
paling lama. Goooddd!!! Bagaimana dia pernah tertarik
pada laki-laki seperti ini? Jana
mengangkat tangannya dan menyentuh tempat Ben baru saja
mencupangnya beberapa menit yang
lalu. Kulitnya terasa agak perih, membuatnya
meringis.
Tiba-tiba Ben sudah berdiri di
hadapannya. “Did I hurt you?” tanyanya sambil mengangkat
kedua tangan, siap memeriksa
lehernya.
Sebagai jawaban, sekali lagi Jana
mengambil beberapa langkah menjauhinya. Dia betul-betul
tidak mau disentuh oleh Ben lagi,
tidak setelah apa yang baru saja dilakukannya. Laiki-laki
itu selalu bisa menggoreng akal
sehatnya dengan sentuhannya. Dan dia memerlukan seluruh
akal sehatnya kalau mau berbicara
serius dengannya.
Ben menyipitkan mata. Jelas-jelas
tidak suka bahwa Jana blak-blakan menolak perhatiannya.
“Berhenti menghindar! Aku Cuma
mau pastiin leher kamu nggak pa-pa,” geram Ben.
“Well, what do you think, Ben?
Kamu baru aja nyupang aku!” Jana balik menggeram.
Kali ini Ben nyengir dan berkata,
“Seingat aku, kamu suka kalo aku cupang, babe.”
Menolak mengomentari cara Ben
memanggilnya, dia berkata, “Kamu nih mau lihat Raka dan
Erga nggak sih setelah hari ini?”
“Of course.”
“Kalo gitu berhenti bikin aku
marah dan duduk di meja makan. Kita perlu bicara,” geram
Jana sambil menunjuk ke arah meja
makan.
Ben memberikan tatapan kesal
padanya. Tatapan itu mirip sekali dengan tatapan yang Erga
dan Raka selalu berikan kalau
mereka tidak menyukai perintahnya. Jana memberikan satu
ekspresi yang paling ditakuti
oleh Erga dan Raka, yaitu merapatkan bibirnya hingga menjadi
garis lurus dan melontarkan
tatapan setajam pisau. Tanpa dia sangka-sangka, ekspresi ini
juga berfungsi pada Ben yang pada
detik itu melangkah menuju meja makan dan
mendudukkan dirinya pada kursi
yang tadi dia tempati.
Jana memilih tetap berdiri dan
memulai pidatonya. Dia tidak tahu apakah dia sudah
mengambil keputusan yang benar
dengan melakukan ini. Dia hanya bisa berdoa dan
berharap semuanya akan baik-baik
saja setelah ini.
“Sebelumnya, aku minta maaf
karena udah pergi ninggalin kamu begitu aja di restoran tadi
siang. Aku terlalu terbawa emosi
sampe nggak… nggak bisa menghargai usaha kamu yang
udah nyoba jujur tentang situasi
kamu.”
Jana melirik Ben yang kelihatan
mendengarkan kata-katanya dengan saksama sebelum
melanjutkan. “Aku tebak kamu di
Jakarta hanya untuk liburan?”
“Not exactly.”
“Sambil kerja, then?”
Ben sekali lagi menggeleng,
membuat Jana bingung. “Oke, jadi kamu di Jakarta ngapain?”
“Aku pulang ke Jakarta
specifically untuk nyari kamu. Untuk minta maaf tentang situasi
delapan tahun lalu, dengan
harapan kamu mau maafin aku. Dan mungkin… kita bisa coba
kenal satu sama lain lagi. Tapi
itu sebelum aku tahu tentang Erga dan Raka.”
Kata-kata Ben membuat Jana
berhenti mondar-mandir untuk menatapnya. Holy cow, is he
really serious? Apa dia
betul-betul datang ke Jakarta hanya untuknya? No way. Dia tidak
tahu apa yang harus dia rasakan
mendengar kata-kata ini. Akhirnya dia hanya berdiam diri.
“Erga dan Raka are great kids,
Jan. happy kids. Dan aku bisa lihat mereka betul-betul adore
kamu dan kamu adore mereka. Aku
selalu tahu kamu akan jadi Ibu yang baik, dan aku benar.
Thank you… karena udah ngebesarin
dan ngejagain mereka dengan baik. Aku minta maaf
karena nggak bisa bantu selama
ini. Aku ingin sekali mengubah itu dengan membagi
tanggung jawab dengan kamu, kalo
kamu setuju. Semua keputusan ada di tangan kamu.”
Kata-kata Ben barusan membuatnya
tiba-tiba pusing dan tidak bisa menarik cukup oksigen
ke dalam paru-parunya. Whoa, dia
perlu duduk.
***
Setengah detik saja dia
terlambat, Ben yakin kepala Jana sudah akan membentur lantai. Dan
dia akan memiliki masalah
menjelaskan kepada Mami Jana kenapa ada benjol di kepala
anaknya, atau lebih parah lagi,
kenapa anaknya dibawa pergi naik ambulans. Dia langsung
menggendong Jana dan
mendudukannya di atas sofa.
“Breathe, Jan, breathe… there you
go… oke, sekali lagi. Tarik napas dalam. Lepasin. Good
girl.”
Ketika dia melihat mata Jana
sudah kembali focus, dia berlari ke meja makan untuk
mengambil teh manis yang tadi di
tinggalkan Jana. Buru-buru dia meminta Jana
meminumnya sampai habis. Setelah
wajah Jana yang tadinya pucat sudah kembali berwarna
lagi, dia bertanya, “Better?”
Jana mengangguk. “Kamu mau the
lagi? Aku bisa bikini kalo kamu mau.”
Jana menggeleng dan Ben mengambil
cangkir kosong dari genggaman Jana dan
meletakannya di atas meja.
“Sori, aku nggak bermaksud…”
“Kepan kamu harus kembali ke
Amerika?” Jana memotong kata-katanya.
“Aku baru perpanjang cutiku sampe
bulan depan. Aku bilang ke bosku ada urusan keluarga
yang harus diselesaikan.”
“Jadi kamu Cuma ada waktu
sebulan?” Tanya Jana dengan nada skeptic.
Ben mencoba untuk tidak meringis
ketika mengatakan, “Iya.” Melihat keraguan di mata Jana
membuat Ben panic, dan tanpa
berpikir dia sudah berkata, “Aku berharap bisa
menggunakan waktu ini untuk
mengenal Erga dan Raka lebih jauh. Dan kamu bisa
menggunakan waktu ini untuk
mutusin apa kamu mau aku permanen di dalam kehidupan
mereka.”
“Dan kalo aku mutusin satu bulan
nggak cukup bagi kamu untuk mengenal Erga dan Raka,
apa yang akan kamu lakukan?”
“Aku akan resign dari kerjaanku
di Chicago dan balik ke Indonesia.”
Ben kaget sendiri dengan
kata-katanya itu. Apa dia betul-betul akan melakukan ini? Ini sama
sekali nggak ada di dalam
agendanya ketika dia merencanakan pembicaraannya dengan
Jana seminggu belakangan ini.
“You would do that?” Tanya Jana,
sama terkejutnya dengan Ben.
Ben tidak ada waktu untuk
berpikir. Kalau dia memang serius mau menjadi ayah bagi Erga
dan Raka dan berkesempatan
memperbaiki hubungannya dengan Jana, dia harus melakukan
ini sekarang. Dia sudah
mementingkan diri sendiri delapan tahun lalu, dia tidak akan
melakukannya lagi. Dengan satu
tarik napas, Ben melakukan sesuatu yang dia tidak pernah
lakukan sebelumnya: terjun ke
dalam air yang dia tidak tahu kedalamannya.
“Absolutely. Erga dan Raka bukan
Cuma anak-anak kamu, mereka juga anak-anakku. Kerjaan
akan selalu bisa dicari di
Jakarta, tapi aku nggak mau lagi ketinggalan kesempatan menjadi
bagian kehidupan Erga dan Raka.
Dirty Little Secret - Bab 14
No comments:
Post a Comment