Bab 5
Don’t say it
Don’t call me
out
Don’t be late
Don’t make a
sound
Get it ready
Get it out
Jana sudah tidak bisa merasakan
kakinya lagi, padahal belum dimulai. Setelah harus berjalan
kaki melewati pelataran parkir
dan mall untuk mencapai lokasi ini dan berdiri selama
setengah jam berbasa-basi dengan
orang-orang yang tidak dia kenal sama sekali, dia rasanya
ingin melempar sepatu hak mahal
yang dikenakannya malam itu. Pertanyaan yang berputarputar
di kepalanya adalah: “Orang gila
mana yang mendesain sepatu setidak nyaman ini?”
yang diikuti oleh: “Orang gila
mana yang sudah membeli sepatu ini?” Jawaban dari
pertanyaan kedua inilah yang
membuatnya kesal tujuh turunan.
Ugh!!! Dia betul-betul akan
membunuh Papi karena memaksanya melakukan ini. Betul-betul
membunuhnya, bukan hanya
mengancam akan membunuhnya kemudian mundur pada
detik-detik terakhir. Kali ini
dia serius. Kalau hakim bertanya kenapa dia melakukannya, dia
akan berkata, “That crazy old man
had it coming.” God, sejak kapan dia jadi seganas ini? Dia
betul-betul perlu melepaskan
sepatu ini.
“Bu Jana nggak pa-pa?” Tanya Caca
yang dia geret untuk menemaninya malam ini, yang kini
sedang menatapnya prihatin.
Jana hanya tersenyum penuh
keyakinan dan mengangguk. Dia harus menelan
ketidaknyamanannya karena tidak
mau membuat Caca, yang kelihatan seperti anak hilang di
tengah keramaian orang-orang
paling ngetop Indonesia setelah presiden RI, semakin gugup.
Rntah berapa kali dia melihat
Caca melarikan tangannya pada gaun malamnya, merapikan
kekusutan yang hanya bisa dilihat
olehnya.
“Makasih ya udah mau nemenin saya
ke acara ini,” ucap Jana.” Kita Cuma perlu ada di sini
sekitar sejam, supaya panitia
setidak-tidaknya tahu ada perwakilan dari Oetomo Jaya mala
mini, habis itu kita bisa
pulang.”
Caca hanya mengangguk. Pada detik
itu pintu ballroom di buka dan para tamu perlahanlahan
menuju meja yang sudah
disediakan. Dia dan Caca kedapatan duduk satu meja
dengan delapan orang lainnya yang
rata-rata bisa dikategorikan manula. Jana mengenali
mantan gubernur DKI dengan istri
dan seorang bintang film senior dengan suami. Setelah
melalui proses perkenalan. Jana
juga tahu bahwa pasangan yang duduk persis di sebelahnya
adalah pemilik pasar swalayan
terbesar di Indonesia dengan anaknya, dan pasangan yang
duduk berseberangan dengannya
adalah mantan rector sebuah universitas di Jakarta
dengan istrinya.
Mereka hamper kehabisan topic
pembicaraan ketika MC acara meminta para tamu untuk
segera duduk di tempat yang sudah
disediakan karena acara akan segera dimulai. Menurut
agenda, acara penggalangan dana
yang mencakup makan malam ini akan dimulai dengan
beberapa pidato, diikuti
persembahan lagu dari beberapa penyanyi ternama dan ditutup
oleh acara lelang. Selain
penjualan sepiring makan malam yang harganya lebih mahal
daripada emas sepuluh gram, dana
juga akan digalang dari hasil penjualan barang lelang.
Daftar barang yang akan dilelang
sudah diselipkan bersama undangan, jadi para
tamu/penawar bisa memutuskan
pilihan mereka sebelumnya. Jana sudah menandai
beberapa barang yang dia inginkan
untuk diberikan kepada Caca sebagai tanda terima kasih
karena sudah menemaninya malam
ini.
Dia baru saja akan menelepon Mami
yang malam ini bersedia menjaga Raka dan Erga untuk
menanyakan kabar anak-anak ketika
lampu ruangan meredup dan sebuah video mulai
ditayangkan pada beberapa layar
yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Jana
memutuskan menunda teleponnya
hingga makanan pembuka dihidangkan.
“I can’t believe me’re late,”
ucap Eva sambil bergegas menuju ballroom tempat acara
diadakan.
“Jangan salahin aku. Aku udah
siap di jam yang kita setujui, kamunya aja yang telat jemput
aku,” balas Ben.
“Ben, bukan nyalahin kamu, aku
Cuma bingung aja kok bisa aku salah hitung waktu.”
Ben hanya memutar bola matanya
mendengar ucapan Eva. Sumpah mati, dia nggak pernah
ketemu orang paling nggak bisa
tepat waktu seperti kakaknya ini. Kalau dia bilang akan
ketemu jam 17.00, itu berarti
paling cepat dia baru akan muncul jam 18.00. dan malam ini
Eva dan sopirnya baru muncul
pukul 18.30. tentu saja mereka terlambat ke acara yang
sudah dijadwalkan untuk mulai
pukul 20.00. dia saja yang sudah lama tidak tinggal di Jakarta
tahu betapa macetnya Jakarta pada
sabtu malam. Selama ini dia pikir Eva sudah sembuh
dari penyakit tukang telatnya
itu, ternyata belum.
Begitu mereka tiba di meja
penerimaan tamu dan Eva memberikan undangannya, salah satu
staf langsung melokasi meja
mereka dari laptop dan menggiring mereka masuk ke dalam
ballroom. Ruangan sudah gelap,
tapi untungnya sebuah video sedang ditayangkan, jadi
mereka memiliki cukup penerangan
untuk mencapai meja mereka tanpa tersandung,
sayangnya, itu tidak menjamin Eva
tidak melibas beberapa orang dengan selendangnya
ketika melewati mereka. Ben
mengucapkan kata maafnya untuk Eva sementara Eva berlalu
begitu saja, tanpa menyadari
kekacauan yang ditinggalkannya.
Begiru mereka sampai di meja yang
berada di tengah, tiga baris dari panggung, Ben buruburu
meminta Eva untuk duduk agar
tidak menghalangi tamu-tamu lain yang sedang
menonton video. Begitu bokongnya
bersentuhan dengan bantalan kursi, video berakhir dan
lampu kembali menyala yang
diikuti tepukan meriah para tamu. Ben menyadari bahwa
acara ini lebih besar-besaran
daripada yang dia sangka. Ruangan dipenuhi oleh setidaktidaknya
lima puluh meja dengan sepuluh
orang setiap mejanya dan dari apa yang dia lihat,
semua tamu berpakaian
superformal. Yang laki-laki mengenakan jas dan dasi, sementara
para wanita mengenakan gaun
malam.
“Kayaknya aku underdressed deh,”
bisik Ben pada Eva yang sekarang sedang membaca
menu.
“Kan aku udah bilang ke kamu
acaranya formal,” balas Eva cuek tanpa mengalihkan
tatapannya dari menu.
Pada saat itu MC mengundang
seseorang untuk memberikan pidato pembuka dan Ben
menahan diri dari memberikan
komentar lebih lanjut.
acara sudah berlangsung setengah
jalan dan Jana harus akui bahwa dia cukup menikmati
malam ini dan sepertinya Caca
merasakan hal yang sama, seperti yang dilihatnya dari wajah
penuh senyum yang diperlihatkan
asistennya itu. Di luar perkiraannya, makanan yang
dihidangkan cukup enak, pengisi
acaranya sangat ramah. Berbeda sekali dengan
perkiraannya tentang orang-orang
kaya pada umumnya. Dia tahu komentar ini terdengar
aneh datang darinya, Karena dia
tahu banyak orang mengkategorikan keluarganya sebagai
keluarga kaya. Sesuatu yang
sangat dia sesali. Sejujurnya kalau diberikan pilihan, dia akan
memilih tidak memiliki uang tapi
bebas melakukan apa saja yang dia mau daripada punya
uang segambreng tapi terkekang.
Nama, uang, dan jabatan adalah
hal-hal yang tidak pernah dia pahami pesonanya. Dia tahu
banyak orang akan menilai orang
lain dari nama belakang mereka, berapa banyak uang dan
apa jabatan yang dimiliki oleh
orang tersebut, termasuk Mami dan Papi. Dia ingat
bagaimana orangtuanya selalu
memonitor teman-temannya di sekolah. Mami akan
mengajukan pertanyaan seperti:
“Siapa namanya?”, “Rumahnya di mana?”, “Apa pekerjaan
orangtua mereka?”, sebelum
kemudian meminta Jana mengundang mereka datang ke
rumah agar beliau bisa menilai
mereka langsung.
Mengundang teman-temannya ke
rumah adalah pengalaman paling tidak mengenakkan
yang pernah dia alami dan dia
yakin Nadia, Adri, dan Dara, ketiga sobatnya waktu SMP, juga
merasakan hal yang sama. Itu
adalah kunjungan pertama dan terakhir mereka ke rumahnya.
Karena sikap kedua orangtuanya
inilah sampai sekarang Jana masih mengalami masalah
menyukai orang-orang yang
memiliki uang, dia takut mereka juga akan sesombong
orangtuanya.
Di depan cermin di dalam toilet
wanita, Jana menaburkan bedak pada hidungnya. Toilet itu
sepi, hanya ada dirinya dan
seseorang lagi yang sekarang sedang mengeringkan tangannya
dengan handuk. Tidak lama
kemudian orang itu pun meninggalkan toilet. Jana sedang
memasukkan bedak compact-nya ke
dalam tas ketika pintu toilet terbuka dengan sedikit
bantingan dan seorang wanita
dengan gaun malam berwarna hijau tergesa-gesa menuju
salah satu kubikel yang tersedia.
Dia sedang mencuci tangan ketika wanita itu keluar
beberapa menit kemudian dari
kubikel dengan wajah lega.
Tatapan mereka sempat bertemu di
permukaan cermin dan mereka sama-sama tersenyum
sebelum wanita itu mengalihkan
perhatiannya untuk mencuci tangannya. Entah kenapa, ada
sesuatu yang familier dengan
wanita ini. Apa dia pernah bertemu dengannya sebelumnya?
Tapi kalau mereka ketemu, kenapa
wanita itu tidak kelihatan mengenalinya sama sekali?
Jana harus segera memalingkan
wajahnya dengan sedikit malu ketika tertangkap basah
memandang wanita itu.
“Apa ada yang salah dengan baju
saya?” Tanya wanita itu sedetik kemudian sambil
kemudian menunduk untuk memeriksa
gaunnya.
“Oh, ng-ngak, nggak ada.”
“Ada yang salah sama make-up
saya?”Tanya wanita itu lagi, kini mendekatkan wajahnya
pada cermin dan memeriksa
wajahnya.
“Nggak ada,” ucap Jana sekali
lagi.
Wanita itu menarik wajahnya dari
depan cermin dan mengeringkan tangannya. Jana
berdebat dengan diri sendiri.
Tanya, nggak, Tanya, nggak, Tanya, Tanya! Tanya!! Nggak
bisalah, gila apa gue??!! Kalo
nanti dia bilang nggak kenal, muke gue mau ditaro di mana?!
“Have we met?” Jana tidak tahu
bagaimana pertanyaan itu bisa keluar dari mulutnya, tapi
itulah kenyataannya, dan ternyata
itu tidak sememalukan yang dia bayangkan.”
Wanita itu kelihatan
mempertimbangkan pertanyaannya sejenak, sebelum berkata, “I don’t
think so,” dengan senyum bingung
dan penuh maaf.
Ternyata penilaian dia sebelumnya
tentang kejadian ini salah. Ini jauh lebih memalukan
daripada yang dia bayangkan.
Bahkan mengalahkan malu yang dia rasakan ketika salah satu
cowok di kelasnya mendapati ada
bercak merah tepat di area bokong pada rok putih SMP
yang di kenakannya. Dia rasanya
ingin lari keluar dari toilet sambil menagis tersedu-sedu
saking malunya, namun nyatanya
Jana justru berkata, “Maaf, saya salah orang,” sebelum
bergegas meninggalkan toilet
dengan wajah kebakaran.
“Aku nggak tahu gimana kamu bisa
ngebujuk aku untuk beli satu set peralatan make-up,”
ucap Ben dengan nada ngedumel
sambil melangkah keluar dari ballroom.
“Emangnya kenapa?”
“Apa kamu nggak lihat tampang
bapak-bapak yang duduk di seberang aku? Dia pikir aku
banci.”
Eva hanya melambaikan tangannya
santai seakan kekhawatiran itu tidak berdasar. Well, Eva
sih bisa santai, dia berhasil
mendapatkan barang kekang yang diinginkannya. Sebuah lukisan
dari salah satu pelukis muda
Indonesia yang sedang naik daun. Sedangkan Ben? Jangankan
pakai make-up, pakai sabun muka
saja dia nggak pernah.
“Kamu sengaja ya bikin aku nmawar
barang itu?” Tanya Ben curiga.
“Aku nggak ngerti apa yang kamu
omongin,” balas Eva.
Tapi Ben tahu kakaknya berbohong
karena dia menolak menatapnya. “Kamu ngebiarin aku
ikutan nawar, karena kamu tahu
aku akan ngasih iru ke kamu kalo aku sampe menang. Well,
newsflash untuk kamu. Rencana
kamu gagal total. Aku akan ngasih itu ke Mama, bukan ke
kamu.”
“You wouldn’t,” ucap Eva terkejut
dan dengan begitu mengonfirmasi kecurigaan Ben.
“Yes, I would.”
Eva langsung cemberut, “God,
terkadang aku suka Tanya ke diri aku sendiri, kenapa aku
repot-repot ganti popok kamu
waktu kecil kalo kamu akhirnya jadi kayak begini.”
“Oh, please. Waktu itu kamu masih
terlalu kecil untuk ganti popok kecil aku. Kamu aja
mungkin masih pake popok waktu
aku lahir.”
“Ben?”
“Ya, Ev?”
“Shut up.”
Mereka berdiri di depan pintu
lift dengan tamu-tamu lain yang sekarang sedang menatap
keduanya sambil senyum-senyum
karena mendengar perdebatan barusan. Ben sedang
nyengir kepada mereka untuk
menandakan bahwa perdebatannya dengan Eva hanya
bercanda ketika dari sudut
matanya dia menangkap gerakan yang membuatnya menoleh.
Tatapannya jatuh kepada seorang
wanita yang berdiri sekitar sepuluh meter darinya. Dia
hanya bisa melihat punggung
wanita itu. Entah kenapa, dia tidak bisa mengalihkan
perhatiannya darinya. Keinginan
agar wanita itu menoleh supaya dia bisa melihat wajahnya
mulai menggerogotinya. Semakin
lama dia memperhatikannya, semakin dia sadar bahwa
ada sesuatu yang sangat familier
tentang wanita itu. Dan pada saat itulah dia mendengarnya
tertawa dan dia tertegun.
Tawa itu. Dia akan selalu
mengenalinya di mana pun. Hanya ada satu orang yang bisa
mengeluarkan tawa lepas seperti
itu. JANA. Tanpa Ben sadari, dia sudah memutar tubuhnya
agar bisa menatap wanita itu
dengan lebih seksama. Eva yang kini posisi berdirinya jadi agak
terhimpit menatapnya sambil
menaikkan alis penuh tanda Tanya, tapi Ben tidak
menghiraukannya dan kembali
menatap wanita itu. Mungkinkah itu Jana? Nggak, nggak
mungkin. Dia nggak mungkin
seberuntung itu. dia sudah mencarinya selama delapan tahun
belakangan ini tanpa hasil dan
tiba-tiba dia bertemu dengannya begitu saja mala mini?
Come on, Ben, bahkan sang
Pangeran selalu akan menghadapi naga, ibu tiri jahat, dan
tanaman liar pemakan manusia
terlebih dahulu sebelum akhirnya bertemu sang Putri.
DAMN!!! Kenapa juga gue jadi
mikirin plot cerita dongeng? Ben mengomeli dirinya sendiri.
“Maybe I’m gay” adalah hal
selanjutnya yang terlintas di kepalanya. DAMN, DAMN, DAMN!
Stop it.
Perhatiannya kembali kepada
wanita itu. Dalam hati dia memohon agar wanita itu memang
Jana, tapi sebagian lagi
menginginkan dia sedang berhalusinasi. Pada saat itulah dia
mendapat ide brilian. Ben
mengeluarkan ponselnya dan dengan jempolnya menggulir daftar
nama pada contact list sampai dia
menemukan nama Jana sebelum menekan tombol call.
Dia mengembuskan napas dan
mendekatkan ponsel itu pada daun telinganya.
“Kamu lagi nelepon siapa, Ben?”
Tanya Eva.
Ben hanya mengangkat tangannya
sebagai tanda dia akan menjelaskan nanti. Perhatiannya
tetap menempel kepada wanita itu,
yang akhirnya mengakhiri percakapannya dengan
teman bicaranya ketika Ben
mendengar ujung saluran selulernya berdering. Dan kejadian
selanjutnya seakan bergerak dalam
slow motion. Samar-samar dia mendengar bunyi
telepon bordering di seberang
ruangan kemudian wanita itu mengeluarkan ponsel dari
dalam tasnya. Dan detik selanjutnya
dia mendengar sebuah suara berkata, “Halo,” dari
speaker telepon.
Suara itu. Suara yang terakhir
kali didengarnya delapan tahun yang lalu. Ben tidak bisa
bernapas, apalagi berpikir. Semua
suara jadi redup dan yang didengarnya hanyalah detak
jantungnya yang menggila.
Tatapannya terfokus kepada sumber suara itu dan dunia seakan
berhenti berputar. Sekali lagi
dia mendengar suara itu mengucapkan “halo”, kali ini dengan
nada sedikit tidak sabar.
“Jana.” Ben bahkan tidak tahu
bahwa dia sudah mengucapkan nama itu ketika mendengar
balasannya.
“Ya, ini Jana. Siapa ini?”
HOLY SHIT! Ini memang Jana.
Betul-betul Jana, bukan halusinasinya.
Pada detik itu pintu lift terbuka
dan semua orang bergerak memasukinya, otomatis
mendorong Ben ke belakang. Tanpa
pikir panjang Ben langsung menarik Eva ke samping,
menghindari serbuan orang-orang
yang mau menaiki lift. Kemudian, tanpa penjelasan apaapa,
dia melangkah cepat, setengah
berlari menuju Jana, meninggalkan Eva di dekat lift. Dia
tidak berhenti hingga dia berdiri
persis di belakang Jana. Dia menarik napas dan menyapa
wanita yang memegang separo
hatinya itu.
Jana baru saja selesai berpamitan
dengan istri sang mantan rector, yang sekarang dia tahu
bernama Ibu Sumarsono, ketika
ponselnya bordering. Dia buru-buru merogohnya dari
clutch, takut itu Mami. Nomor
tidak dikenal terpampang pada layar dan dia
mempertimbangkan untuk membiarkan
voicemail menjawabnya, tapi akhirnya memutuskan
menjawab, takut emergency.
Sebuah suara yang terdengar agak
aneh mengucapkan namanya dan Jana langsung
mengonfirmasinya sebelum balik
menanyakan identitas orang tersebut, tapi tidak ada
jawaban, kemudian sambungan
terputus. Jana menatap ponselnya dengan sedikit bingung
sebelum memasukkannya kembali ke
dalam clutch. Dia baru sja akan mengajak Caca pulang
ketika mendengar seseorang di
belakangnya memanggil namanya. Otomatis dia langsung
berbalik dan bertatapan langsung
dengan Ben.
Ben, cowok yang sudah membuatnya
merasa aman dan nyaman hanya dengan berada di
sisinya, membimbingnya jadi
dewasa, dan mengajarkannya arti dicintai dan mencintai. Ben
jugalah cowok bajingan, anak
setan, all around bastard yang sudah dia tinggalkan delapan
tahun lalu setelah dia
menginjak-injak harga diri dan hatinya. What the hell is he doing
here???!!
“Hi,” ucap Ben yang kini sedang
tersenyum lebar.
Jana tidak bisa bernapas ketika
melihat senyum itu. Jangankan ingat kenapa dia marah pada
Ben, dia bahkan tidak ingat
namanya sendiri. DAMN!!! Bagaimana mungkin setelah
bertahun-tahun ini dan setelah
apa yang dia sudah lakukan terhadapnya, Ben masih
memiliki efek seperti ini
terhadapnya? Tanpa dia sadari, matanya sudah berlari dari ujung
rambut, hingga ujung kaki Ben
sebelum kembali lagi ke wajahnya. DOUBLE DAMN!!! Dunia
betul-betul tidak adil. Ben
bahkan kelihatan lebih yummy lagi daripada delapan tahun yang
lalu. Dia mengenakan kemeja biru
muda dan celana hitam yang jatuh dengan sempurna
pada tubuhnya. Entah bagaimana,
Ben kelihatan jauh lebih tinggi dan besar daripada dulu.
Rambutnya juga lebih pendek dari
terakhir kali Jana melihatnya. Dan meskipun Jana
menyayangkan itu, karena dia
ingat betapa dia senang melarikan jari-jarinya pada rambut
Ben, tapi dia harus akui Ben
kelihatan lebih cocok dengan potongan yang sekarang.
Ditambah dengan wajah yang
ditutupi sedikit jenggot, Ben kelihatan hot as hell.
Seperti yang Jana lakukan, Ben
juga melakukan hal yang sama terhadapnya. Dia melarikan
matanya ke rambut, mata, bibir,
sebelum menghabiskan waktu agak lama pada dada dan
pinggul Jana. Tatapannya kemudian
jatuh ke kakinya yang terpampang jelas karena gaun
hitamnya berhenti tepat di lutut.
Terakhir, tatapannya jatuh pada sepatu yang
dikenakannya. Jana rasanya mau
mati saja. Dia berharap dia masih kelihatan selangsing dan
semenarik dulu, sesuatu yang
sangat tidak mungkin mengingat dia sudah melahirkan anak
kembar laki-laki yang menyedot
semua hormone seksinya. Dia ingat payudaranya sudah
turun, lengan atasnya sudah tidak
sekencang dulu, dan garis-garis stretch marks yang
sekarang menjalari perut dan
bokongnya. Untuk pertama kalinya, dia menyesali
kemalasannya berolahraga. Detik
selanjutnya dia memarahi diri sendiri karena
mengkhawatirkan pendapat Ben
tentangnya.
“You look good, Jan.”
Oke, mungkin ini hanya
perasaannya saja, tapi apa suara Ben terdengar serak ketika
mengatakan itu? Sekilas, tatapan
Ben kelihatan seperti orang kelaparan yang siap melahap
steak di hadapannya. Dan Jana
terkejut ketika menyadari bahwa steak itu adalah dirinya.
Saking terkejutnya, dia tidak
tahu apa dia harus merasa tersanjung atau tersinggung dengan
tingkah laku Ben ini. Yang ada
dia hanya bisa menganga, kemudian dia sadar diri dan mulai
ngedumel dalam hati. Is he
serious? Berani-beraninya dia menggodanya? Apa dia pikir
bahwa dengan satu senyum dan
pujian, Jana bisa melupakan apa yang sudah terjadi di
antara mereka? Well, laki-laki
ini sinting kalau dia punya pikiran seperti itu.
Tanpa bisa menahan kemarahan yang
mulai menderu memenuhi dadanya, Jana berkata
sinis, “Well, you still look loke
an asshole, Ben.”
No comments:
Post a Comment