Sunday, September 6, 2015

Dirty Little Secret - Bab 5

Bab 5

Don’t say it
Don’t call me out
Don’t be late
Don’t make a sound
Get it ready
Get it out
Jana sudah tidak bisa merasakan kakinya lagi, padahal belum dimulai. Setelah harus berjalan
kaki melewati pelataran parkir dan mall untuk mencapai lokasi ini dan berdiri selama
setengah jam berbasa-basi dengan orang-orang yang tidak dia kenal sama sekali, dia rasanya
ingin melempar sepatu hak mahal yang dikenakannya malam itu. Pertanyaan yang berputarputar
di kepalanya adalah: “Orang gila mana yang mendesain sepatu setidak nyaman ini?”
yang diikuti oleh: “Orang gila mana yang sudah membeli sepatu ini?” Jawaban dari
pertanyaan kedua inilah yang membuatnya kesal tujuh turunan.
Ugh!!! Dia betul-betul akan membunuh Papi karena memaksanya melakukan ini. Betul-betul
membunuhnya, bukan hanya mengancam akan membunuhnya kemudian mundur pada
detik-detik terakhir. Kali ini dia serius. Kalau hakim bertanya kenapa dia melakukannya, dia
akan berkata, “That crazy old man had it coming.” God, sejak kapan dia jadi seganas ini? Dia
betul-betul perlu melepaskan sepatu ini.
“Bu Jana nggak pa-pa?” Tanya Caca yang dia geret untuk menemaninya malam ini, yang kini
sedang menatapnya prihatin.
Jana hanya tersenyum penuh keyakinan dan mengangguk. Dia harus menelan
ketidaknyamanannya karena tidak mau membuat Caca, yang kelihatan seperti anak hilang di
tengah keramaian orang-orang paling ngetop Indonesia setelah presiden RI, semakin gugup.
Rntah berapa kali dia melihat Caca melarikan tangannya pada gaun malamnya, merapikan
kekusutan yang hanya bisa dilihat olehnya.
“Makasih ya udah mau nemenin saya ke acara ini,” ucap Jana.” Kita Cuma perlu ada di sini
sekitar sejam, supaya panitia setidak-tidaknya tahu ada perwakilan dari Oetomo Jaya mala
mini, habis itu kita bisa pulang.”
Caca hanya mengangguk. Pada detik itu pintu ballroom di buka dan para tamu perlahanlahan
menuju meja yang sudah disediakan. Dia dan Caca kedapatan duduk satu meja
dengan delapan orang lainnya yang rata-rata bisa dikategorikan manula. Jana mengenali
mantan gubernur DKI dengan istri dan seorang bintang film senior dengan suami. Setelah
melalui proses perkenalan. Jana juga tahu bahwa pasangan yang duduk persis di sebelahnya
adalah pemilik pasar swalayan terbesar di Indonesia dengan anaknya, dan pasangan yang
duduk berseberangan dengannya adalah mantan rector sebuah universitas di Jakarta
dengan istrinya.
Mereka hamper kehabisan topic pembicaraan ketika MC acara meminta para tamu untuk
segera duduk di tempat yang sudah disediakan karena acara akan segera dimulai. Menurut
agenda, acara penggalangan dana yang mencakup makan malam ini akan dimulai dengan
beberapa pidato, diikuti persembahan lagu dari beberapa penyanyi ternama dan ditutup
oleh acara lelang. Selain penjualan sepiring makan malam yang harganya lebih mahal
daripada emas sepuluh gram, dana juga akan digalang dari hasil penjualan barang lelang.
Daftar barang yang akan dilelang sudah diselipkan bersama undangan, jadi para
tamu/penawar bisa memutuskan pilihan mereka sebelumnya. Jana sudah menandai
beberapa barang yang dia inginkan untuk diberikan kepada Caca sebagai tanda terima kasih
karena sudah menemaninya malam ini.
Dia baru saja akan menelepon Mami yang malam ini bersedia menjaga Raka dan Erga untuk
menanyakan kabar anak-anak ketika lampu ruangan meredup dan sebuah video mulai
ditayangkan pada beberapa layar yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Jana
memutuskan menunda teleponnya hingga makanan pembuka dihidangkan.
“I can’t believe me’re late,” ucap Eva sambil bergegas menuju ballroom tempat acara
diadakan.
“Jangan salahin aku. Aku udah siap di jam yang kita setujui, kamunya aja yang telat jemput
aku,” balas Ben.
“Ben, bukan nyalahin kamu, aku Cuma bingung aja kok bisa aku salah hitung waktu.”
Ben hanya memutar bola matanya mendengar ucapan Eva. Sumpah mati, dia nggak pernah
ketemu orang paling nggak bisa tepat waktu seperti kakaknya ini. Kalau dia bilang akan
ketemu jam 17.00, itu berarti paling cepat dia baru akan muncul jam 18.00. dan malam ini
Eva dan sopirnya baru muncul pukul 18.30. tentu saja mereka terlambat ke acara yang
sudah dijadwalkan untuk mulai pukul 20.00. dia saja yang sudah lama tidak tinggal di Jakarta
tahu betapa macetnya Jakarta pada sabtu malam. Selama ini dia pikir Eva sudah sembuh
dari penyakit tukang telatnya itu, ternyata belum.
Begitu mereka tiba di meja penerimaan tamu dan Eva memberikan undangannya, salah satu
staf langsung melokasi meja mereka dari laptop dan menggiring mereka masuk ke dalam
ballroom. Ruangan sudah gelap, tapi untungnya sebuah video sedang ditayangkan, jadi
mereka memiliki cukup penerangan untuk mencapai meja mereka tanpa tersandung,
sayangnya, itu tidak menjamin Eva tidak melibas beberapa orang dengan selendangnya
ketika melewati mereka. Ben mengucapkan kata maafnya untuk Eva sementara Eva berlalu
begitu saja, tanpa menyadari kekacauan yang ditinggalkannya.
Begiru mereka sampai di meja yang berada di tengah, tiga baris dari panggung, Ben buruburu
meminta Eva untuk duduk agar tidak menghalangi tamu-tamu lain yang sedang
menonton video. Begitu bokongnya bersentuhan dengan bantalan kursi, video berakhir dan
lampu kembali menyala yang diikuti tepukan meriah para tamu. Ben menyadari bahwa
acara ini lebih besar-besaran daripada yang dia sangka. Ruangan dipenuhi oleh setidaktidaknya
lima puluh meja dengan sepuluh orang setiap mejanya dan dari apa yang dia lihat,
semua tamu berpakaian superformal. Yang laki-laki mengenakan jas dan dasi, sementara
para wanita mengenakan gaun malam.
“Kayaknya aku underdressed deh,” bisik Ben pada Eva yang sekarang sedang membaca
menu.
“Kan aku udah bilang ke kamu acaranya formal,” balas Eva cuek tanpa mengalihkan
tatapannya dari menu.
Pada saat itu MC mengundang seseorang untuk memberikan pidato pembuka dan Ben
menahan diri dari memberikan komentar lebih lanjut.
acara sudah berlangsung setengah jalan dan Jana harus akui bahwa dia cukup menikmati
malam ini dan sepertinya Caca merasakan hal yang sama, seperti yang dilihatnya dari wajah
penuh senyum yang diperlihatkan asistennya itu. Di luar perkiraannya, makanan yang
dihidangkan cukup enak, pengisi acaranya sangat ramah. Berbeda sekali dengan
perkiraannya tentang orang-orang kaya pada umumnya. Dia tahu komentar ini terdengar
aneh datang darinya, Karena dia tahu banyak orang mengkategorikan keluarganya sebagai
keluarga kaya. Sesuatu yang sangat dia sesali. Sejujurnya kalau diberikan pilihan, dia akan
memilih tidak memiliki uang tapi bebas melakukan apa saja yang dia mau daripada punya
uang segambreng tapi terkekang.
Nama, uang, dan jabatan adalah hal-hal yang tidak pernah dia pahami pesonanya. Dia tahu
banyak orang akan menilai orang lain dari nama belakang mereka, berapa banyak uang dan
apa jabatan yang dimiliki oleh orang tersebut, termasuk Mami dan Papi. Dia ingat
bagaimana orangtuanya selalu memonitor teman-temannya di sekolah. Mami akan
mengajukan pertanyaan seperti: “Siapa namanya?”, “Rumahnya di mana?”, “Apa pekerjaan
orangtua mereka?”, sebelum kemudian meminta Jana mengundang mereka datang ke
rumah agar beliau bisa menilai mereka langsung.
Mengundang teman-temannya ke rumah adalah pengalaman paling tidak mengenakkan
yang pernah dia alami dan dia yakin Nadia, Adri, dan Dara, ketiga sobatnya waktu SMP, juga
merasakan hal yang sama. Itu adalah kunjungan pertama dan terakhir mereka ke rumahnya.
Karena sikap kedua orangtuanya inilah sampai sekarang Jana masih mengalami masalah
menyukai orang-orang yang memiliki uang, dia takut mereka juga akan sesombong
orangtuanya.
Di depan cermin di dalam toilet wanita, Jana menaburkan bedak pada hidungnya. Toilet itu
sepi, hanya ada dirinya dan seseorang lagi yang sekarang sedang mengeringkan tangannya
dengan handuk. Tidak lama kemudian orang itu pun meninggalkan toilet. Jana sedang
memasukkan bedak compact-nya ke dalam tas ketika pintu toilet terbuka dengan sedikit
bantingan dan seorang wanita dengan gaun malam berwarna hijau tergesa-gesa menuju
salah satu kubikel yang tersedia. Dia sedang mencuci tangan ketika wanita itu keluar
beberapa menit kemudian dari kubikel dengan wajah lega.
Tatapan mereka sempat bertemu di permukaan cermin dan mereka sama-sama tersenyum
sebelum wanita itu mengalihkan perhatiannya untuk mencuci tangannya. Entah kenapa, ada
sesuatu yang familier dengan wanita ini. Apa dia pernah bertemu dengannya sebelumnya?
Tapi kalau mereka ketemu, kenapa wanita itu tidak kelihatan mengenalinya sama sekali?
Jana harus segera memalingkan wajahnya dengan sedikit malu ketika tertangkap basah
memandang wanita itu.
“Apa ada yang salah dengan baju saya?” Tanya wanita itu sedetik kemudian sambil
kemudian menunduk untuk memeriksa gaunnya.
“Oh, ng-ngak, nggak ada.”
“Ada yang salah sama make-up saya?”Tanya wanita itu lagi, kini mendekatkan wajahnya
pada cermin dan memeriksa wajahnya.
“Nggak ada,” ucap Jana sekali lagi.
Wanita itu menarik wajahnya dari depan cermin dan mengeringkan tangannya. Jana
berdebat dengan diri sendiri. Tanya, nggak, Tanya, nggak, Tanya, Tanya! Tanya!! Nggak
bisalah, gila apa gue??!! Kalo nanti dia bilang nggak kenal, muke gue mau ditaro di mana?!
“Have we met?” Jana tidak tahu bagaimana pertanyaan itu bisa keluar dari mulutnya, tapi
itulah kenyataannya, dan ternyata itu tidak sememalukan yang dia bayangkan.”
Wanita itu kelihatan mempertimbangkan pertanyaannya sejenak, sebelum berkata, “I don’t
think so,” dengan senyum bingung dan penuh maaf.
Ternyata penilaian dia sebelumnya tentang kejadian ini salah. Ini jauh lebih memalukan
daripada yang dia bayangkan. Bahkan mengalahkan malu yang dia rasakan ketika salah satu
cowok di kelasnya mendapati ada bercak merah tepat di area bokong pada rok putih SMP
yang di kenakannya. Dia rasanya ingin lari keluar dari toilet sambil menagis tersedu-sedu
saking malunya, namun nyatanya Jana justru berkata, “Maaf, saya salah orang,” sebelum
bergegas meninggalkan toilet dengan wajah kebakaran.
“Aku nggak tahu gimana kamu bisa ngebujuk aku untuk beli satu set peralatan make-up,”
ucap Ben dengan nada ngedumel sambil melangkah keluar dari ballroom.
“Emangnya kenapa?”
“Apa kamu nggak lihat tampang bapak-bapak yang duduk di seberang aku? Dia pikir aku
banci.”
Eva hanya melambaikan tangannya santai seakan kekhawatiran itu tidak berdasar. Well, Eva
sih bisa santai, dia berhasil mendapatkan barang kekang yang diinginkannya. Sebuah lukisan
dari salah satu pelukis muda Indonesia yang sedang naik daun. Sedangkan Ben? Jangankan
pakai make-up, pakai sabun muka saja dia nggak pernah.
“Kamu sengaja ya bikin aku nmawar barang itu?” Tanya Ben curiga.
“Aku nggak ngerti apa yang kamu omongin,” balas Eva.
Tapi Ben tahu kakaknya berbohong karena dia menolak menatapnya. “Kamu ngebiarin aku
ikutan nawar, karena kamu tahu aku akan ngasih iru ke kamu kalo aku sampe menang. Well,
newsflash untuk kamu. Rencana kamu gagal total. Aku akan ngasih itu ke Mama, bukan ke
kamu.”
“You wouldn’t,” ucap Eva terkejut dan dengan begitu mengonfirmasi kecurigaan Ben.
“Yes, I would.”
Eva langsung cemberut, “God, terkadang aku suka Tanya ke diri aku sendiri, kenapa aku
repot-repot ganti popok kamu waktu kecil kalo kamu akhirnya jadi kayak begini.”
“Oh, please. Waktu itu kamu masih terlalu kecil untuk ganti popok kecil aku. Kamu aja
mungkin masih pake popok waktu aku lahir.”
“Ben?”
“Ya, Ev?”
“Shut up.”
Mereka berdiri di depan pintu lift dengan tamu-tamu lain yang sekarang sedang menatap
keduanya sambil senyum-senyum karena mendengar perdebatan barusan. Ben sedang
nyengir kepada mereka untuk menandakan bahwa perdebatannya dengan Eva hanya
bercanda ketika dari sudut matanya dia menangkap gerakan yang membuatnya menoleh.
Tatapannya jatuh kepada seorang wanita yang berdiri sekitar sepuluh meter darinya. Dia
hanya bisa melihat punggung wanita itu. Entah kenapa, dia tidak bisa mengalihkan
perhatiannya darinya. Keinginan agar wanita itu menoleh supaya dia bisa melihat wajahnya
mulai menggerogotinya. Semakin lama dia memperhatikannya, semakin dia sadar bahwa
ada sesuatu yang sangat familier tentang wanita itu. Dan pada saat itulah dia mendengarnya
tertawa dan dia tertegun.
Tawa itu. Dia akan selalu mengenalinya di mana pun. Hanya ada satu orang yang bisa
mengeluarkan tawa lepas seperti itu. JANA. Tanpa Ben sadari, dia sudah memutar tubuhnya
agar bisa menatap wanita itu dengan lebih seksama. Eva yang kini posisi berdirinya jadi agak
terhimpit menatapnya sambil menaikkan alis penuh tanda Tanya, tapi Ben tidak
menghiraukannya dan kembali menatap wanita itu. Mungkinkah itu Jana? Nggak, nggak
mungkin. Dia nggak mungkin seberuntung itu. dia sudah mencarinya selama delapan tahun
belakangan ini tanpa hasil dan tiba-tiba dia bertemu dengannya begitu saja mala mini?
Come on, Ben, bahkan sang Pangeran selalu akan menghadapi naga, ibu tiri jahat, dan
tanaman liar pemakan manusia terlebih dahulu sebelum akhirnya bertemu sang Putri.
DAMN!!! Kenapa juga gue jadi mikirin plot cerita dongeng? Ben mengomeli dirinya sendiri.
“Maybe I’m gay” adalah hal selanjutnya yang terlintas di kepalanya. DAMN, DAMN, DAMN!
Stop it.
Perhatiannya kembali kepada wanita itu. Dalam hati dia memohon agar wanita itu memang
Jana, tapi sebagian lagi menginginkan dia sedang berhalusinasi. Pada saat itulah dia
mendapat ide brilian. Ben mengeluarkan ponselnya dan dengan jempolnya menggulir daftar
nama pada contact list sampai dia menemukan nama Jana sebelum menekan tombol call.
Dia mengembuskan napas dan mendekatkan ponsel itu pada daun telinganya.
“Kamu lagi nelepon siapa, Ben?” Tanya Eva.
Ben hanya mengangkat tangannya sebagai tanda dia akan menjelaskan nanti. Perhatiannya
tetap menempel kepada wanita itu, yang akhirnya mengakhiri percakapannya dengan
teman bicaranya ketika Ben mendengar ujung saluran selulernya berdering. Dan kejadian
selanjutnya seakan bergerak dalam slow motion. Samar-samar dia mendengar bunyi
telepon bordering di seberang ruangan kemudian wanita itu mengeluarkan ponsel dari
dalam tasnya. Dan detik selanjutnya dia mendengar sebuah suara berkata, “Halo,” dari
speaker telepon.
Suara itu. Suara yang terakhir kali didengarnya delapan tahun yang lalu. Ben tidak bisa
bernapas, apalagi berpikir. Semua suara jadi redup dan yang didengarnya hanyalah detak
jantungnya yang menggila. Tatapannya terfokus kepada sumber suara itu dan dunia seakan
berhenti berputar. Sekali lagi dia mendengar suara itu mengucapkan “halo”, kali ini dengan
nada sedikit tidak sabar.
“Jana.” Ben bahkan tidak tahu bahwa dia sudah mengucapkan nama itu ketika mendengar
balasannya.
“Ya, ini Jana. Siapa ini?”
HOLY SHIT! Ini memang Jana. Betul-betul Jana, bukan halusinasinya.
Pada detik itu pintu lift terbuka dan semua orang bergerak memasukinya, otomatis
mendorong Ben ke belakang. Tanpa pikir panjang Ben langsung menarik Eva ke samping,
menghindari serbuan orang-orang yang mau menaiki lift. Kemudian, tanpa penjelasan apaapa,
dia melangkah cepat, setengah berlari menuju Jana, meninggalkan Eva di dekat lift. Dia
tidak berhenti hingga dia berdiri persis di belakang Jana. Dia menarik napas dan menyapa
wanita yang memegang separo hatinya itu.
Jana baru saja selesai berpamitan dengan istri sang mantan rector, yang sekarang dia tahu
bernama Ibu Sumarsono, ketika ponselnya bordering. Dia buru-buru merogohnya dari
clutch, takut itu Mami. Nomor tidak dikenal terpampang pada layar dan dia
mempertimbangkan untuk membiarkan voicemail menjawabnya, tapi akhirnya memutuskan
menjawab, takut emergency.
Sebuah suara yang terdengar agak aneh mengucapkan namanya dan Jana langsung
mengonfirmasinya sebelum balik menanyakan identitas orang tersebut, tapi tidak ada
jawaban, kemudian sambungan terputus. Jana menatap ponselnya dengan sedikit bingung
sebelum memasukkannya kembali ke dalam clutch. Dia baru sja akan mengajak Caca pulang
ketika mendengar seseorang di belakangnya memanggil namanya. Otomatis dia langsung
berbalik dan bertatapan langsung dengan Ben.
Ben, cowok yang sudah membuatnya merasa aman dan nyaman hanya dengan berada di
sisinya, membimbingnya jadi dewasa, dan mengajarkannya arti dicintai dan mencintai. Ben
jugalah cowok bajingan, anak setan, all around bastard yang sudah dia tinggalkan delapan
tahun lalu setelah dia menginjak-injak harga diri dan hatinya. What the hell is he doing
here???!!
“Hi,” ucap Ben yang kini sedang tersenyum lebar.
Jana tidak bisa bernapas ketika melihat senyum itu. Jangankan ingat kenapa dia marah pada
Ben, dia bahkan tidak ingat namanya sendiri. DAMN!!! Bagaimana mungkin setelah
bertahun-tahun ini dan setelah apa yang dia sudah lakukan terhadapnya, Ben masih
memiliki efek seperti ini terhadapnya? Tanpa dia sadari, matanya sudah berlari dari ujung
rambut, hingga ujung kaki Ben sebelum kembali lagi ke wajahnya. DOUBLE DAMN!!! Dunia
betul-betul tidak adil. Ben bahkan kelihatan lebih yummy lagi daripada delapan tahun yang
lalu. Dia mengenakan kemeja biru muda dan celana hitam yang jatuh dengan sempurna
pada tubuhnya. Entah bagaimana, Ben kelihatan jauh lebih tinggi dan besar daripada dulu.
Rambutnya juga lebih pendek dari terakhir kali Jana melihatnya. Dan meskipun Jana
menyayangkan itu, karena dia ingat betapa dia senang melarikan jari-jarinya pada rambut
Ben, tapi dia harus akui Ben kelihatan lebih cocok dengan potongan yang sekarang.
Ditambah dengan wajah yang ditutupi sedikit jenggot, Ben kelihatan hot as hell.
Seperti yang Jana lakukan, Ben juga melakukan hal yang sama terhadapnya. Dia melarikan
matanya ke rambut, mata, bibir, sebelum menghabiskan waktu agak lama pada dada dan
pinggul Jana. Tatapannya kemudian jatuh ke kakinya yang terpampang jelas karena gaun
hitamnya berhenti tepat di lutut. Terakhir, tatapannya jatuh pada sepatu yang
dikenakannya. Jana rasanya mau mati saja. Dia berharap dia masih kelihatan selangsing dan
semenarik dulu, sesuatu yang sangat tidak mungkin mengingat dia sudah melahirkan anak
kembar laki-laki yang menyedot semua hormone seksinya. Dia ingat payudaranya sudah
turun, lengan atasnya sudah tidak sekencang dulu, dan garis-garis stretch marks yang
sekarang menjalari perut dan bokongnya. Untuk pertama kalinya, dia menyesali
kemalasannya berolahraga. Detik selanjutnya dia memarahi diri sendiri karena
mengkhawatirkan pendapat Ben tentangnya.
“You look good, Jan.”
Oke, mungkin ini hanya perasaannya saja, tapi apa suara Ben terdengar serak ketika
mengatakan itu? Sekilas, tatapan Ben kelihatan seperti orang kelaparan yang siap melahap
steak di hadapannya. Dan Jana terkejut ketika menyadari bahwa steak itu adalah dirinya.
Saking terkejutnya, dia tidak tahu apa dia harus merasa tersanjung atau tersinggung dengan
tingkah laku Ben ini. Yang ada dia hanya bisa menganga, kemudian dia sadar diri dan mulai
ngedumel dalam hati. Is he serious? Berani-beraninya dia menggodanya? Apa dia pikir
bahwa dengan satu senyum dan pujian, Jana bisa melupakan apa yang sudah terjadi di
antara mereka? Well, laki-laki ini sinting kalau dia punya pikiran seperti itu.
Tanpa bisa menahan kemarahan yang mulai menderu memenuhi dadanya, Jana berkata

sinis, “Well, you still look loke an asshole, Ben.”


No comments:

Post a Comment