Sunday, September 6, 2015

Dirty Little Secret - Bab 6

Bab 6

I’ve been up all night drinking
To drown my sorrow down
Ben tahu pasti ada yang salah dengan dirinya ketika bukannya merasa tersinggung dengan
kata-kata Jana, dia malah ingin menciumnya. Kata-kata hinaan itu terdengar seksi keluar
dari bibir Jana yang malam ini berwarna merah darah. Dia ingin membuat lipstik Jana
berlepotan dengan melarikan bibir, lidah, dan giginya pada bibir itu. Kemudian, setelah puas
membuat bibir itu bengkak, dia akan menyerang bagian tubuh Jana yang lain. Di mulai dari
payudara yang kelihatan lebih besar dan berisi daripada yang dia ingat. Yes, dia adalah lakilaki
pecinta payudara dan tidak malu mengakuinya. Banyak laki-laki yang terobsesi dengan
kaki atau bokong perempuan, tapi dia? Dia bisa hidup bahagia hanya dengan sepasang
payudara.
This is not good!!! Dia harus menjauhkan diri dari segala hal yang berhubungan dengan
payudara, terutama payudara milik Jana. Dengan susah payah Ben memaksa matanya
kembali pada wajah Jana.wajah itu masih secantik yang dia ingat. Selain bibirnya yang
merah, hanya ada make-up tipis yang memberikan aksen pada tulang wajahnya. Jana
memang tidak pernah suka mengenakan make-up, lebih memilih penampilan natural,
sesuatu yang Ben syukuri karena pada saat ini dia tidak mau laki-laki lain menyadari betapa
cantiknya Jana dan membajaknya darinya. Setelah delapan tahun, dia masih menginginkan
Jana seperti pada hari pertama dia bertemu dengannya. Kenyataan ini dan kata-kata Jana
yang mengatakan dia masih kelihatan seperti bajingan membuatnya tertawa kencang,
dengan kepala terlempar ke belakang segala. Dia tidak peduli orang-orang sudah menoleh
ke arahnya sambil geleng-geleng kepala. Membutuhkan waktu beberapa menit baginya
untuk meredakan tawanya.
“Kamu emang selalu bisa bikin aku ketawa,” ucap Ben sambil menghapus air mata yang
keluar dari ujung matanya.
Jana menyilangkan tangannya dan berkata, “Well, aku bermaksud menghina kamu, bukan
bikin kamu ketawa.”
Ben tidak menghiraukan nada judesnya dan berkata, “Aku coba cari kamu selepas terima email
kamu, tapi kamu udah menghilang entah kemana, dan nggak ada yang tahu ke mana
kamu pergi. Aku kirim berpuluh-puluh e-mail, tapi kamu nggak pernah bales. Kamu kenapa
nggak bilang ke aku kalo mau cabut?”
Jana memberikan tatapan dingin, sedingin-dinginnya kepadanya, sehingga Ben merasa
menderita frostbite, sebelum mendesis, “Pertama, kita udah putus waktu aku mutusin balik
ke Jakarta, jadi aku nggak ada kewajiban untuk kasih informasi apa pun ke kamu. Kedua, apa
kamu pernah mikir bahwa alas an aku nggak ngebales e-mail kamu adalah karena aku nggak
mau ada hubungan apa-apa lagi sama kamu?”
“Kok gitu?”
Jana melepaskan sedekapan tangannya. “Kok gitu? Are you kidding me? Setelah…” Jana
menggelengkan sebelum berkata, “You know what, Ben, aku nggak mau membicarakan ini.
It’s done. Over. In the past, dan aku udah moved on.”
Like hell she is. Ben tidak akan memperbolehkan Jana untuk moved on dan melupakannya
begitu saja. Lain dari apa yang dipikirkan Jana, mereka masih jauh dari kata “Selesai” atau
“Masa lalu” dan Ben tidak akan berhenti sampai Jana bisa mlihat itu. Dalam usaha
mengintimidasi, Ben mengambil langkah mendekati Jana hingga dada mereka hampir
bersentuhan, membuat Jana yang tingginya bahkan tidak mencapai bahunya harus
mendongak, mendongak, dan mendongak lagi. Dia menunggu hingga Jana betul-betul
menatapnya sebelum berkata, “Dan bagaimana kalo aku bilang aku belum moved on?”
Bukannya kelihatan takut atau terintimidasi, Jana justru memberikan tatapan penuh
kemarahan kepadanya. “Well, kamu harus melakukan itu, karena aku udah punya
suami,Ben,” tandasnya
“Oh… my life is over,” rintih Ben sambil memegangi kepalanya yang sudah mau pecah.
Kejadian tadi malam tidak bisa berhenti di kepalanya seperti CD rusak.
“Damn it, Ben, stop being such a pussy dan bangun dari sofa aku. Sekarang udah setengah
hari.” Omel Eva.
Jawaban Ben atas omelan Eva hanyalah erangan tidak jelas. Bagaimana mungkin Jana
menikah dengan laki-laki selain dirinya? Siapakah laki-laki yang berani menikahinya tanpa
memberitahu Ben lebih dulu? Sumpah mati dia akan mencari tahu informasi ini, memburu
laki-laki itu sampai dapat, sebelum membunuhnya. Tentu saja dia akan membuatnya
kelihatan seperti kecelakaan, jadi tidak aka nada yang mencurigainya. Dia tidak peduli Jana
akan jadi janda, yang penting dia sudah menghapuskan penghalang rencananya untuk
mendapatkan cinta matinya kembali.
“Oh Goooddd, why didn’t I see this coming?”
“What? Hangover kamu? Tentu aja kamu hangover, kamu ngabisin semua stok minuman
kertas Marti.” Ucap Eva yang salah mengerti maksudnya. Tapi Ben terlalu hangover untuk
membetulkannya.
Tadi malam, setelah Jana, lagi-lagi, pergi meninggalkannya, Eva menyerangnya dengan
berbagai pertanyaan dalam perjalanan pulang.
“Siapa perempuan itu, Ben?”
“Cewek yang aku pacarin waktu kuliah,” jawab Ben.
“Dia nggak kelihatan seneng ketemu kamu.”
“No kidding.”
“Kamu udah ngapain dia, kok dia sampe segitu bermusuhannya sama kamu?”
“It’s a long story.”
“Aku punya waktu.”
Dan Ben yang masih terlalu shock mendengar Jana sudah menikah menceritakan semuanya
kepada Eva. Dan waktu dia bilang semuanya, yang dia maksud adalah SE-MUA-NYA. Hal
pertama yang Eva lakukan setelah ceritanya selesai adalah menamparnya sekencangkencangnya
sampai kepala Ben terbanting ke sandaran kepala kursi mobil.
“Aduuuuhhh!!! Jesus, Ev, kamu kenapa nampar aku?” Tanya Ben sambil memegangi pipinya
yang sedang kebakaran.
Bukannya menjawab pertanyaannya, Eva malah menamparnya sekali lagi. Dan ketika Eva
sadar bahwa tamparannya mendarat pada belakang tangan Ben bukan di pipinya, Eva
mengalihkan serangannya dengan meninju lengannya berkali-kali.
“Ow, ow, ow, OWW. Stop it. What is wrong with you?”
Dia yakin bukan saja akan ada bekas telapak tangan pada pipinya, tapi memar pada
lengannya besok.
“Pake nanya, lagi!!!” omel Eva dan sekali lagi melayangkan tinjunya yang kali ini mendarat
pada dadanya.
“Omph, aduh!!! Stop. Sakit, tahu,” geram Ben sambil mengusap-usap dadanya.
“I DON’T CARE!!! Kamu udah menghamili dia dan nggak bertanggung jawab. You are an
asshole, Ben!” teriak Eva dengan mata berapi-api.
“Apa kamu pikir aku nggak tahu itu?” Ben balas berteriak sebelum kemudian menurunkan
nadanya ketika melihat sopir Eva siap menghentikan mobil di pinggir jalan tol dan
menurunkannya kalau dia sampai mengasari majikannya.
“Aku udah hidup dengan penuh penyesalan atas perbuatanku selama delapan tahun.
Delapan tahun, Ev!!! Itu hamper tiga ribu hari ngerasa seperti ada beban berat yang nindih
dadaku. Dan nggak peduli apa yang udah aku coba, aku nggak bisa ngangkat beban itu.”
“Kamu pantas ngerasa seperti itu. Jesus,Ben!!! Kamu minta dia gugurin kandungannya.
What were you thinking?” teriak Eva.
“Aku panik, oke? Aku nggak… nggak bisa mikirin solusi lain.”
Mereka saling tatap tanpa mengatakan apa-apa selama beberapa menit. Masing-masing
mencoba mengontrol pernapasan mereka yang sudah terengah-engah. Dari kaca tengah,
Ben melihat sopir Eva sedang mengawasi mereka. Great, dia pada dasarnya baru saja
meneriakkan aibnya di depan orang asing. Dia harus meminta Eva berbicara dengan
sopirnya agar tidak mengulangi apa yang dia dengar di dalam mobil kepada siapa pun.
“Apa Mama dan Papa tahu tentang Jana?” Tanya Eva dengan nada lebih tenang.
Ben menggeleng dan Eva meghembuskan napasnya. “Kamu seharusnya telepon aku,” ucap
Eva pelan.
“I know,”
Ketika dia masih kuliah di lowa. Eva sudah bekerja di Jakarta. Dan meskipun sibuk dan ada
jarak beribu-ribu kilo meter yang memisahkan, mereka selalu menyempatkan diri ngobrol,
setidak-tidaknya sebulan sekali. Dia tahu Eva akan membantunya mencari solusi melalui
telepon, dan kalau itu tidak cukup, Eva akan langsung naik penerbangan pertama yang bisa
didapatkan untuk berada di sisinya. Jadi betul-betul tidak ada alasan baginya tidak meminta
bantuan Eva delapan tahun yang lalu.
“Jadi kenapa kamu nggak telepon aku?”
“Aku nggak tahu juga, Ev. Mungkin karna malu, atau takut kamu nge-judge aku…” Ben tidak
menyelesaikan kalimatnya karena dia sendiri tidak bisa menjelaskan tindakannya.
Mereka berdiam diri lagi. “Apa pernah terlintas di pikiran kamu bahwa kalo anak kamu
masih hidup, dia sekarang udah berumur tujuh tahun?”
Kata-kata Eva seperti kampak yang menancap di dada Ben. Setiap hari, setiap bulan, setiap
tahun, dia selalu memikirkan hal itu. Terkadang kalau dia sedang betul-betul ingin menyiksa
diri, dia akan membayangkan wajah anaknya juga. Terkadang bayi itu perempuan dengan
wajah cantik dan menggemaskan seperti Jana dan terkadang bayi itu laki-laki dengan wajah
dan kelakuan yang mirip dengannya. Well, mungkin nggak kelakuannya, tapi setidaktidaknya
wajahnya.
“Setiap hari, Ev. Setiap hari.” Jawab Ben akhirya.
Di dalam mobil kembali hening, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Eva-lah
yang lagi-lagi memecahkan keheningan. “I don’t know about you, tapi aku perlu alkohol.”
Dan itulah sebabnya siang ini Ben terbangun dari sofa ruang tamu Eva dengan hangover
terparah yang pernah dia alami sepanjang hidupnya. Dia mencoba duduk, tapi rasa mual
langsung menyerangnya dan akhirnya dia hanya bisa tidur menyamping tidak berdaya.
“Sebaikny kamu minum ini.” Ucap Eva sambil menyodorkan dua tablet aspirin dan segelas
orange juice dengan sedotan.
Tentu saja Eva, yang mengundangnya minum alkohol, harusnya minum segelas wine yang
diikuti air putih dan jus. Alhasil Eva kelihatan segar, sedangkan dia seperti baru ketabrak
kereta api. Ben ingin mengomel atas kecurangan Eva, tapi karena tidak punya energy
melakukannya, harus menundanya sampai dia bisa melihat satu Eva, bukannya dua.
Setelah menenggak aspirin dan meminta ekstra satu gelas orange juice, Ben mulai merasa
seperti manusia lagi.
“Erik ke mana?” tanyanya, khawatir keponakannya melihatnya teller.
“Ada diatas.”
“Apa Erik ngeliat aku…” Ben tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.
Eva menggeleng. “Dan Mama tahu kamu di sini, kamu nggak usah khawatir.”
“Kamu bilang apa ke Mama?”
“Bahwa kamu mau slumber party dadakan sama Erik.”
“You what say?” Tanya Ben tidak percaya
“Slum-ber par-ty da-da-kan,” kata Eva perlahan mengeja kata-kata itu.
“I heard you the first time. Yang aku maksud adalah apa nggak ada alasan lain yang bisa
kamu pake? Aku ini laki-laki dewasa berumur tiga puluh tahun, Mama nggak akan percaya
aku dengan rela ikutan slumber party sama anak berumur empat tahun.”
Eva hanya mengangkat bahunya cuek dan berkata, “kalo kamu mau mandi, aku udah siapin
pakaian di kamar tidur tamu. Habis itu mungkin kamu mau sarapan?”
Ben mengangguk, atau setidak-tidaknya dia mencoba mengangguk, sesuatu yang agak sulit
dilakukan dengan posisi kepalanya yang miring di atas bantal. “Sepuluh menit lagi,” ucapnya
akhirnya sebelum menutup matanya lagi.
Ben merasakan gerakan dekat kepalanya sebelum tangan Eva membelai rambutnya dan
sebuah kecupan lembut mendarat pada keningnya. “Just rest, okay. Aku pastiin nggak ada
yang ganggu kamu di sini,” bisik Eva sambil membelai rambutnya beberapa kali lagi
Ben mendesah panjang. Mensyukuri perhatian Eva hari ini. Ketika merasakan Eva akan
meninggalkan ruangan, Ben membuka matanya sedikit. “Ev?” panggilnya.
“Ya, Ben?” Eva berhenti melangkah dan memutar tubuhnya untuk bisa menatapnya.
Ben membuka matanya lebar-lebar dan berkata, “I still love her.” Ben mengangkat kedua
tangannya untuk menutupi wajahnya. “Gooodd!!! There must be something seriously wrong
with me. Gimana bisa aku masih cinta setengah mati sama istri orang yang jelas-jelas benci
banget sama aku?”
Ben merasakan bantalan sofa menurun dan tanpa melihat dia tahu Eva sudah duduk di
sebelahnya. “Yeah, something seriously is wrong with you,” ucap Eva.
What the hell??!! Ben langsung menurunkan tangannya dari wajah untuk menatap Eva.
“Bukannya kamu seharusnya ngebuat aku ngerasa lebih baik, bukannya lebih parah?”
Eva terkekeh. “Sori. Aku Cuma bingung aja kok kamu bisa blo’on banget.”
That is it!! Dia tidak akan pernah mau membicarakan tentang perasaannya lagi dengan Eva
kalau kakaknya bertingkah seperti ini. Apa dia pikir gampang baginya untuk menumpahkan
isi hatinya seperti ini?
“Maksud aku… apa pernah terlintas di pikiran kamu kalo ada kemungkinan dia bohong sama
kamu?”
Pertanyaan Eva membuat Ben melupakan rasa kesalnya sekejap. “Bohong tentang apa”
“Bahwa dia udah punya suami. Aku rasa dia ngomong begitu Cuma untuk nyakitin kamu
aja.”
“Jana orangnya nggak seperti itu.”
Eva mengangkat bahu. “Well, aku emang nggak tahu Jana, tapi aku tahu perempuan. Aku
akan ngelakuin hal yang sama kalo aku di posisi dia. Percaya sama aku, dan bahasa
tubuhnya tadi malam waktu bicara sama kamu, aku yakin dia masih ada feeling sama
kamu.”
Ben buru-buru bangun tanpa menghiraukan kepalanya yang nyut-nyutan dan kunangkunang
yang bermunculan pada penglihatannya, dia menatap Eva serius. “Feeling gimana?”
“She’s still in love with you, dumbass.”
“WHATTT??!! Untuk pertama kalinya selama dua belas jam ini, Ben merasakan setitik
harapan.
“Dan dia juga nggak pake cincin kawin.”
Awalnya Ben menatap Eva sinis, tapi kemudian dia ingat akan inventori penampilan Jana
tadi malam. Kenapa dia baru “ngeh” sekarang bahwa semua jari Jana bebas dari cincin jenis
apa pun? Tapi hanya untuk memastikan dia tidak berhalusinasi, dia bertanya, “Dari mana
kamu tahu itu?”
“Aku ketemu dia di toilet. Dia Tanya apa kami pernah ketemu sebelumnya, aku bilang nggak
pernah.”
Say what??!! Oh, pagi ini sudah seperti di Twilight Zone. “Kamu ketemu dia di toilet?” Tanya
Ben tidak percaya.
Eva mengangguk. “Kamu kenapa nggak bilang ke aku tadi malam?” teriak Ben dengan
sedikit ganas. Dia bahkan tidak tahu kenapa dia berteriak.
Eva menyipitkan matanya, tidak menghargai diteriaki pagi-pagi begini di rumahnya sendiri
dan balas berteriak, “Karena aku baru sadar tadi pagi, oke?”
Ben mencerna informasi ini dalam diam. Apa Eva benar tentang perasaan Jana? Tentang
kebohongannya? “Mungkin dia tipe yang nggak suka pake cincin meskipun udah nikah?”
Ben mencoba mencari alasan. Dia tidak mau berharap terlalu tinggi hanya untuk melihat
harapan itu hancur berkeping-keping.
“Aku nggak tahu, Ben. Kan kamu yang pernah pacaran sama dia. Menurut kamu apa dia tipe
seperti itu”
Ben menggeleng. Dia ingat betapa Jana tidak mau melepas “promise ring” yang dia berikan
sebagai tanda cintanya, bahkan ketika mandi sekalipun. Jana adalah tipe wanita yang akan
dengan bangga mengenakan apa pun yang menandakan bahwa dia dimiliki dan dicintai oleh
seseorang.
“Kalo aku jadi kamu, aku akan ajak dia ketemu. Bilang ke dia, kamu mau ketemu suaminya.
Kalo dia menghindar dengan alasan suaminya sibuk, kamu tahu dia udah bohong,” usul Eva.
“You’re kidding right?”
“Kamu mau dia apa nggak?” teriak Eva, tersinggung rencananya dipertanyakan.
“Ya mau.”
“Kalo gitu man up dan lakukan yang aku bilang.”
Ben ada di Jakarta. Dia harus pindah, itu dua hal pertama yang terlintas di kepala Jana ketika
dia bangun pagi ini. Dia tidak bisa tinggal satu kota dengannya. Meskipun Jakarta besar,
kemungkinan baginya bertemu Ben akan lebih besar daripada kalau mereka tinggal di
Negara, benua, atau lebih baik lagi, galaksi berbeda. Mungkin dia bisa mencoba mencari
kerja di Singapore, atau Eropa, atau bahkan Jupiter saja sekalian. Pokoknya di mana saja asal
jauh dari Ben.
Dia tidak percaya dia bilang ke Ben bahwa dia punya suami. Di antara begitu banyak hal
yang bisa dia katakan untuk menjauhkan Ben darinya, dia harus mengatakan itu? Gimana
kalau Ben mencari informasi tentangnya dan tahu dia nggak pernah menikah? Entah apa
yang dipikirkan Ben tentangnya. Mungkin bahwa dia cewek gila yang berhalusinasi punya
suami. Dengan susah payah Jana memaksa dirinya bangun dari tempat tidur. Hari ini hari
minggu dan dia selalu menyiapkan sarapan pancake dengan pisang dan stroberi untuk Raka
dan Erga. Tidak peduli apa yang sedang bergejolak di dalam hatinya,dia harus menjaga
tradisi itu.
Dia hanya bisa mendesah pasrah melihat pantulan wajahnya pada cermin. Kulitnya pucat,
hidungnya merah menyaingi badut, matanya bengkak, dan ada lingkaran hitam dibawahnya.
Semua ini hasil dari menangis semalaman dan kurang tidur. Ini bukanlah wajah yang ingin
dia perlihatkan kepada anak-anaknya pagi ini. Buru-buru ditanggalkannya semua pakaiannya
sebelum melompat masuk ke bathtub dan menghidupkan shower, di bawah siraman air
hangat, Jana memikirkan nasib sialnya. Kenapa, Oh, kenapa Ben harus muncul sekarang?
Setelah bertahun-tahun dia tidak bertemu dengannya dan berpikir rahasiannya akan amanaman
saja, tiba-tiba Ben muncul untuk menghancurkan segalanya.
Tadi malam, setelah memastikan Raka dan Erga sudah tidur, dia menangis tersedu-sedu. Dia
berhasil menahan tangis itu selama mengantar pulang Caca, yang menyaksikan interaksinya
dengan Ben dan sepanjang perjalanan memberikan tatapan bingung padanya, tapi tidak
berani bertanya. Dia juga berhasil menahan isaknya saat menjemput anak-anaknya dari
rumah Papi dan Mami. Mereka memberikan tatapan curiga bahwa sesuatu terjadi di acara
amal ketika melihatnya agak linglung, tapi tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak bisa
menahan diri lagi ketika sudah sendirian di dalam kamarnya, tempat tidak akan ada orang
yang bisa melihatnya menangis.
Membutuhkan waktu beberapa jam baginya untuk menenangkan diri. Dan pada saat itulah
dia sadar bahwa dia menangis karena marah, kecewa, dan takut. Marah atas tingkah laku
Ben yang kelihatannya lupa sama sekali akan apa yang sudah cowok itu lakukan padanya.
Kecewa pada dirinya sendiri yang meskipun tidak akan pernah bisa melupakan atau
memafkan Ben, masih merasakan ketertarikan luar biasa padanya. Dan ketakutan bahwa
Ben akan tahu tentang anak-anak dan marah besar padanya.
Tapi yang lebih dia takutkan lagi adalah bagaimana kalau Ben menyeretnya ke pengadilan
dengan tuntutan orangtua tidak layak karena menyembunyikan anak-anak dari ayah
kandungnya? Atau lebih parah lagi, menuntutnya atas tuduhan menculik Raka dan Erga?
Apa Ben bisa minta hak asuh penuh kalau dia sampa menang? Oh tuhan, Jana bisa mati
tanpa Raka dan Erga. Dia harus berbicara dengan Oom Frans untuk mencari tahu soal ini,
secepatnya.


Dirty Little Secret - Bab 7

No comments:

Post a Comment