Bab 6
I’ve been up all night drinking
To drown my sorrow down
Ben tahu pasti ada yang salah dengan
dirinya ketika bukannya merasa tersinggung dengan
kata-kata Jana, dia malah ingin
menciumnya. Kata-kata hinaan itu terdengar seksi keluar
dari bibir Jana yang malam ini berwarna
merah darah. Dia ingin membuat lipstik Jana
berlepotan dengan melarikan bibir,
lidah, dan giginya pada bibir itu. Kemudian, setelah puas
membuat bibir itu bengkak, dia akan
menyerang bagian tubuh Jana yang lain. Di mulai dari
payudara yang kelihatan lebih besar dan
berisi daripada yang dia ingat. Yes, dia adalah lakilaki
pecinta payudara dan tidak malu
mengakuinya. Banyak laki-laki yang terobsesi dengan
kaki atau bokong perempuan, tapi dia?
Dia bisa hidup bahagia hanya dengan sepasang
payudara.
This is not good!!! Dia harus menjauhkan
diri dari segala hal yang berhubungan dengan
payudara, terutama payudara milik Jana.
Dengan susah payah Ben memaksa matanya
kembali pada wajah Jana.wajah itu masih
secantik yang dia ingat. Selain bibirnya yang
merah, hanya ada make-up tipis yang
memberikan aksen pada tulang wajahnya. Jana
memang tidak pernah suka mengenakan
make-up, lebih memilih penampilan natural,
sesuatu yang Ben syukuri karena pada
saat ini dia tidak mau laki-laki lain menyadari betapa
cantiknya Jana dan membajaknya darinya.
Setelah delapan tahun, dia masih menginginkan
Jana seperti pada hari pertama dia
bertemu dengannya. Kenyataan ini dan kata-kata Jana
yang mengatakan dia masih kelihatan
seperti bajingan membuatnya tertawa kencang,
dengan kepala terlempar ke belakang
segala. Dia tidak peduli orang-orang sudah menoleh
ke arahnya sambil geleng-geleng kepala.
Membutuhkan waktu beberapa menit baginya
untuk meredakan tawanya.
“Kamu emang selalu bisa bikin aku
ketawa,” ucap Ben sambil menghapus air mata yang
keluar dari ujung matanya.
Jana menyilangkan tangannya dan berkata,
“Well, aku bermaksud menghina kamu, bukan
bikin kamu ketawa.”
Ben tidak menghiraukan nada judesnya dan
berkata, “Aku coba cari kamu selepas terima email
kamu, tapi kamu udah menghilang entah
kemana, dan nggak ada yang tahu ke mana
kamu pergi. Aku kirim berpuluh-puluh
e-mail, tapi kamu nggak pernah bales. Kamu kenapa
nggak bilang ke aku kalo mau cabut?”
Jana memberikan tatapan dingin,
sedingin-dinginnya kepadanya, sehingga Ben merasa
menderita frostbite, sebelum mendesis,
“Pertama, kita udah putus waktu aku mutusin balik
ke Jakarta, jadi aku nggak ada kewajiban
untuk kasih informasi apa pun ke kamu. Kedua, apa
kamu pernah mikir bahwa alas an aku
nggak ngebales e-mail kamu adalah karena aku nggak
mau ada hubungan apa-apa lagi sama
kamu?”
“Kok gitu?”
Jana melepaskan sedekapan tangannya.
“Kok gitu? Are you kidding me? Setelah…” Jana
menggelengkan sebelum berkata, “You know
what, Ben, aku nggak mau membicarakan ini.
It’s done. Over. In the past, dan aku
udah moved on.”
Like hell she is. Ben tidak akan
memperbolehkan Jana untuk moved on dan melupakannya
begitu saja. Lain dari apa yang
dipikirkan Jana, mereka masih jauh dari kata “Selesai” atau
“Masa lalu” dan Ben tidak akan berhenti
sampai Jana bisa mlihat itu. Dalam usaha
mengintimidasi, Ben mengambil langkah
mendekati Jana hingga dada mereka hampir
bersentuhan, membuat Jana yang tingginya
bahkan tidak mencapai bahunya harus
mendongak, mendongak, dan mendongak
lagi. Dia menunggu hingga Jana betul-betul
menatapnya sebelum berkata, “Dan
bagaimana kalo aku bilang aku belum moved on?”
Bukannya kelihatan takut atau
terintimidasi, Jana justru memberikan tatapan penuh
kemarahan kepadanya. “Well, kamu harus
melakukan itu, karena aku udah punya
suami,Ben,” tandasnya
“Oh… my life is over,” rintih Ben sambil
memegangi kepalanya yang sudah mau pecah.
Kejadian tadi malam tidak bisa berhenti
di kepalanya seperti CD rusak.
“Damn it, Ben, stop being such a pussy
dan bangun dari sofa aku. Sekarang udah setengah
hari.” Omel Eva.
Jawaban Ben atas omelan Eva hanyalah
erangan tidak jelas. Bagaimana mungkin Jana
menikah dengan laki-laki selain dirinya?
Siapakah laki-laki yang berani menikahinya tanpa
memberitahu Ben lebih dulu? Sumpah mati
dia akan mencari tahu informasi ini, memburu
laki-laki itu sampai dapat, sebelum membunuhnya.
Tentu saja dia akan membuatnya
kelihatan seperti kecelakaan, jadi tidak
aka nada yang mencurigainya. Dia tidak peduli Jana
akan jadi janda, yang penting dia sudah
menghapuskan penghalang rencananya untuk
mendapatkan cinta matinya kembali.
“Oh Goooddd, why didn’t I see this
coming?”
“What? Hangover kamu? Tentu aja kamu
hangover, kamu ngabisin semua stok minuman
kertas Marti.” Ucap Eva yang salah
mengerti maksudnya. Tapi Ben terlalu hangover untuk
membetulkannya.
Tadi malam, setelah Jana, lagi-lagi,
pergi meninggalkannya, Eva menyerangnya dengan
berbagai pertanyaan dalam perjalanan
pulang.
“Siapa perempuan itu, Ben?”
“Cewek yang aku pacarin waktu kuliah,”
jawab Ben.
“Dia nggak kelihatan seneng ketemu
kamu.”
“No kidding.”
“Kamu udah ngapain dia, kok dia sampe
segitu bermusuhannya sama kamu?”
“It’s a long story.”
“Aku punya waktu.”
Dan Ben yang masih terlalu shock
mendengar Jana sudah menikah menceritakan semuanya
kepada Eva. Dan waktu dia bilang
semuanya, yang dia maksud adalah SE-MUA-NYA. Hal
pertama yang Eva lakukan setelah
ceritanya selesai adalah menamparnya sekencangkencangnya
sampai kepala Ben terbanting ke sandaran
kepala kursi mobil.
“Aduuuuhhh!!! Jesus, Ev, kamu kenapa
nampar aku?” Tanya Ben sambil memegangi pipinya
yang sedang kebakaran.
Bukannya menjawab pertanyaannya, Eva
malah menamparnya sekali lagi. Dan ketika Eva
sadar bahwa tamparannya mendarat pada
belakang tangan Ben bukan di pipinya, Eva
mengalihkan serangannya dengan meninju
lengannya berkali-kali.
“Ow, ow, ow, OWW. Stop it. What is wrong
with you?”
Dia yakin bukan saja akan ada bekas
telapak tangan pada pipinya, tapi memar pada
lengannya besok.
“Pake nanya, lagi!!!” omel Eva dan
sekali lagi melayangkan tinjunya yang kali ini mendarat
pada dadanya.
“Omph, aduh!!! Stop. Sakit, tahu,” geram
Ben sambil mengusap-usap dadanya.
“I DON’T CARE!!! Kamu udah menghamili
dia dan nggak bertanggung jawab. You are an
asshole, Ben!” teriak Eva dengan mata
berapi-api.
“Apa kamu pikir aku nggak tahu itu?” Ben
balas berteriak sebelum kemudian menurunkan
nadanya ketika melihat sopir Eva siap
menghentikan mobil di pinggir jalan tol dan
menurunkannya kalau dia sampai mengasari
majikannya.
“Aku udah hidup dengan penuh penyesalan
atas perbuatanku selama delapan tahun.
Delapan tahun, Ev!!! Itu hamper tiga ribu
hari ngerasa seperti ada beban berat yang nindih
dadaku. Dan nggak peduli apa yang udah
aku coba, aku nggak bisa ngangkat beban itu.”
“Kamu pantas ngerasa seperti itu.
Jesus,Ben!!! Kamu minta dia gugurin kandungannya.
What were you thinking?” teriak Eva.
“Aku panik, oke? Aku nggak… nggak bisa
mikirin solusi lain.”
Mereka saling tatap tanpa mengatakan
apa-apa selama beberapa menit. Masing-masing
mencoba mengontrol pernapasan mereka
yang sudah terengah-engah. Dari kaca tengah,
Ben melihat sopir Eva sedang mengawasi
mereka. Great, dia pada dasarnya baru saja
meneriakkan aibnya di depan orang asing.
Dia harus meminta Eva berbicara dengan
sopirnya agar tidak mengulangi apa yang
dia dengar di dalam mobil kepada siapa pun.
“Apa Mama dan Papa tahu tentang Jana?” Tanya
Eva dengan nada lebih tenang.
Ben menggeleng dan Eva meghembuskan
napasnya. “Kamu seharusnya telepon aku,” ucap
Eva pelan.
“I know,”
Ketika dia masih kuliah di lowa. Eva
sudah bekerja di Jakarta. Dan meskipun sibuk dan ada
jarak beribu-ribu kilo meter yang
memisahkan, mereka selalu menyempatkan diri ngobrol,
setidak-tidaknya sebulan sekali. Dia
tahu Eva akan membantunya mencari solusi melalui
telepon, dan kalau itu tidak cukup, Eva
akan langsung naik penerbangan pertama yang bisa
didapatkan untuk berada di sisinya. Jadi
betul-betul tidak ada alasan baginya tidak meminta
bantuan Eva delapan tahun yang lalu.
“Jadi kenapa kamu nggak telepon aku?”
“Aku nggak tahu juga, Ev. Mungkin karna
malu, atau takut kamu nge-judge aku…” Ben tidak
menyelesaikan kalimatnya karena dia
sendiri tidak bisa menjelaskan tindakannya.
Mereka berdiam diri lagi. “Apa pernah
terlintas di pikiran kamu bahwa kalo anak kamu
masih hidup, dia sekarang udah berumur
tujuh tahun?”
Kata-kata Eva seperti kampak yang
menancap di dada Ben. Setiap hari, setiap bulan, setiap
tahun, dia selalu memikirkan hal itu.
Terkadang kalau dia sedang betul-betul ingin menyiksa
diri, dia akan membayangkan wajah
anaknya juga. Terkadang bayi itu perempuan dengan
wajah cantik dan menggemaskan seperti
Jana dan terkadang bayi itu laki-laki dengan wajah
dan kelakuan yang mirip dengannya. Well,
mungkin nggak kelakuannya, tapi setidaktidaknya
wajahnya.
“Setiap hari, Ev. Setiap hari.” Jawab
Ben akhirya.
Di dalam mobil kembali hening, mereka
tenggelam dalam pikiran masing-masing. Eva-lah
yang lagi-lagi memecahkan keheningan. “I
don’t know about you, tapi aku perlu alkohol.”
Dan itulah sebabnya siang ini Ben
terbangun dari sofa ruang tamu Eva dengan hangover
terparah yang pernah dia alami sepanjang
hidupnya. Dia mencoba duduk, tapi rasa mual
langsung menyerangnya dan akhirnya dia
hanya bisa tidur menyamping tidak berdaya.
“Sebaikny kamu minum ini.” Ucap Eva
sambil menyodorkan dua tablet aspirin dan segelas
orange juice dengan sedotan.
Tentu saja Eva, yang mengundangnya minum
alkohol, harusnya minum segelas wine yang
diikuti air putih dan jus. Alhasil Eva
kelihatan segar, sedangkan dia seperti baru ketabrak
kereta api. Ben ingin mengomel atas
kecurangan Eva, tapi karena tidak punya energy
melakukannya, harus menundanya sampai
dia bisa melihat satu Eva, bukannya dua.
Setelah menenggak aspirin dan meminta
ekstra satu gelas orange juice, Ben mulai merasa
seperti manusia lagi.
“Erik ke mana?” tanyanya, khawatir
keponakannya melihatnya teller.
“Ada diatas.”
“Apa Erik ngeliat aku…” Ben tidak bisa
menyelesaikan kalimatnya.
Eva menggeleng. “Dan Mama tahu kamu di
sini, kamu nggak usah khawatir.”
“Kamu bilang apa ke Mama?”
“Bahwa kamu mau slumber party dadakan
sama Erik.”
“You what say?” Tanya Ben tidak percaya
“Slum-ber par-ty da-da-kan,” kata Eva
perlahan mengeja kata-kata itu.
“I heard you the first time. Yang aku
maksud adalah apa nggak ada alasan lain yang bisa
kamu pake? Aku ini laki-laki dewasa
berumur tiga puluh tahun, Mama nggak akan percaya
aku dengan rela ikutan slumber party sama
anak berumur empat tahun.”
Eva hanya mengangkat bahunya cuek dan
berkata, “kalo kamu mau mandi, aku udah siapin
pakaian di kamar tidur tamu. Habis itu
mungkin kamu mau sarapan?”
Ben mengangguk, atau setidak-tidaknya
dia mencoba mengangguk, sesuatu yang agak sulit
dilakukan dengan posisi kepalanya yang
miring di atas bantal. “Sepuluh menit lagi,” ucapnya
akhirnya sebelum menutup matanya lagi.
Ben merasakan gerakan dekat kepalanya
sebelum tangan Eva membelai rambutnya dan
sebuah kecupan lembut mendarat pada
keningnya. “Just rest, okay. Aku pastiin nggak ada
yang ganggu kamu di sini,” bisik Eva
sambil membelai rambutnya beberapa kali lagi
Ben mendesah panjang. Mensyukuri
perhatian Eva hari ini. Ketika merasakan Eva akan
meninggalkan ruangan, Ben membuka matanya
sedikit. “Ev?” panggilnya.
“Ya, Ben?” Eva berhenti melangkah dan
memutar tubuhnya untuk bisa menatapnya.
Ben membuka matanya lebar-lebar dan
berkata, “I still love her.” Ben mengangkat kedua
tangannya untuk menutupi wajahnya.
“Gooodd!!! There must be something seriously wrong
with me. Gimana bisa aku masih cinta
setengah mati sama istri orang yang jelas-jelas benci
banget sama aku?”
Ben merasakan bantalan sofa menurun dan
tanpa melihat dia tahu Eva sudah duduk di
sebelahnya. “Yeah, something seriously is
wrong with you,” ucap Eva.
What the hell??!! Ben langsung
menurunkan tangannya dari wajah untuk menatap Eva.
“Bukannya kamu seharusnya ngebuat aku
ngerasa lebih baik, bukannya lebih parah?”
Eva terkekeh. “Sori. Aku Cuma bingung
aja kok kamu bisa blo’on banget.”
That is it!! Dia tidak akan pernah mau
membicarakan tentang perasaannya lagi dengan Eva
kalau kakaknya bertingkah seperti ini.
Apa dia pikir gampang baginya untuk menumpahkan
isi hatinya seperti ini?
“Maksud aku… apa pernah terlintas di
pikiran kamu kalo ada kemungkinan dia bohong sama
kamu?”
Pertanyaan Eva membuat Ben melupakan
rasa kesalnya sekejap. “Bohong tentang apa”
“Bahwa dia udah punya suami. Aku rasa
dia ngomong begitu Cuma untuk nyakitin kamu
aja.”
“Jana orangnya nggak seperti itu.”
Eva mengangkat bahu. “Well, aku emang
nggak tahu Jana, tapi aku tahu perempuan. Aku
akan ngelakuin hal yang sama kalo aku di
posisi dia. Percaya sama aku, dan bahasa
tubuhnya tadi malam waktu bicara sama
kamu, aku yakin dia masih ada feeling sama
kamu.”
Ben buru-buru bangun tanpa menghiraukan
kepalanya yang nyut-nyutan dan kunangkunang
yang bermunculan pada penglihatannya,
dia menatap Eva serius. “Feeling gimana?”
“She’s still in love with you, dumbass.”
“WHATTT??!! Untuk pertama kalinya selama
dua belas jam ini, Ben merasakan setitik
harapan.
“Dan dia juga nggak pake cincin kawin.”
Awalnya Ben menatap Eva sinis, tapi
kemudian dia ingat akan inventori penampilan Jana
tadi malam. Kenapa dia baru “ngeh”
sekarang bahwa semua jari Jana bebas dari cincin jenis
apa pun? Tapi hanya untuk memastikan dia
tidak berhalusinasi, dia bertanya, “Dari mana
kamu tahu itu?”
“Aku ketemu dia di toilet. Dia Tanya apa
kami pernah ketemu sebelumnya, aku bilang nggak
pernah.”
Say what??!! Oh, pagi ini sudah seperti
di Twilight Zone. “Kamu ketemu dia di toilet?” Tanya
Ben tidak percaya.
Eva mengangguk. “Kamu kenapa nggak
bilang ke aku tadi malam?” teriak Ben dengan
sedikit ganas. Dia bahkan tidak tahu
kenapa dia berteriak.
Eva menyipitkan matanya, tidak
menghargai diteriaki pagi-pagi begini di rumahnya sendiri
dan balas berteriak, “Karena aku baru
sadar tadi pagi, oke?”
Ben mencerna informasi ini dalam diam.
Apa Eva benar tentang perasaan Jana? Tentang
kebohongannya? “Mungkin dia tipe yang
nggak suka pake cincin meskipun udah nikah?”
Ben mencoba mencari alasan. Dia tidak
mau berharap terlalu tinggi hanya untuk melihat
harapan itu hancur berkeping-keping.
“Aku nggak tahu, Ben. Kan kamu yang
pernah pacaran sama dia. Menurut kamu apa dia tipe
seperti itu”
Ben menggeleng. Dia ingat betapa Jana tidak
mau melepas “promise ring” yang dia berikan
sebagai tanda cintanya, bahkan ketika
mandi sekalipun. Jana adalah tipe wanita yang akan
dengan bangga mengenakan apa pun yang
menandakan bahwa dia dimiliki dan dicintai oleh
seseorang.
“Kalo aku jadi kamu, aku akan ajak dia
ketemu. Bilang ke dia, kamu mau ketemu suaminya.
Kalo dia menghindar dengan alasan
suaminya sibuk, kamu tahu dia udah bohong,” usul Eva.
“You’re kidding right?”
“Kamu mau dia apa nggak?” teriak Eva,
tersinggung rencananya dipertanyakan.
“Ya mau.”
“Kalo gitu man up dan lakukan yang aku
bilang.”
Ben ada di Jakarta. Dia harus pindah,
itu dua hal pertama yang terlintas di kepala Jana ketika
dia bangun pagi ini. Dia tidak bisa
tinggal satu kota dengannya. Meskipun Jakarta besar,
kemungkinan baginya bertemu Ben akan
lebih besar daripada kalau mereka tinggal di
Negara, benua, atau lebih baik lagi,
galaksi berbeda. Mungkin dia bisa mencoba mencari
kerja di Singapore, atau Eropa, atau
bahkan Jupiter saja sekalian. Pokoknya di mana saja asal
jauh dari Ben.
Dia tidak percaya dia bilang ke Ben
bahwa dia punya suami. Di antara begitu banyak hal
yang bisa dia katakan untuk menjauhkan
Ben darinya, dia harus mengatakan itu? Gimana
kalau Ben mencari informasi tentangnya
dan tahu dia nggak pernah menikah? Entah apa
yang dipikirkan Ben tentangnya. Mungkin
bahwa dia cewek gila yang berhalusinasi punya
suami. Dengan susah payah Jana memaksa
dirinya bangun dari tempat tidur. Hari ini hari
minggu dan dia selalu menyiapkan sarapan
pancake dengan pisang dan stroberi untuk Raka
dan Erga. Tidak peduli apa yang sedang
bergejolak di dalam hatinya,dia harus menjaga
tradisi itu.
Dia hanya bisa mendesah pasrah melihat
pantulan wajahnya pada cermin. Kulitnya pucat,
hidungnya merah menyaingi badut, matanya
bengkak, dan ada lingkaran hitam dibawahnya.
Semua ini hasil dari menangis semalaman
dan kurang tidur. Ini bukanlah wajah yang ingin
dia perlihatkan kepada anak-anaknya pagi
ini. Buru-buru ditanggalkannya semua pakaiannya
sebelum melompat masuk ke bathtub dan
menghidupkan shower, di bawah siraman air
hangat, Jana memikirkan nasib sialnya.
Kenapa, Oh, kenapa Ben harus muncul sekarang?
Setelah bertahun-tahun dia tidak bertemu
dengannya dan berpikir rahasiannya akan amanaman
saja, tiba-tiba Ben muncul untuk
menghancurkan segalanya.
Tadi malam, setelah memastikan Raka dan
Erga sudah tidur, dia menangis tersedu-sedu. Dia
berhasil menahan tangis itu selama
mengantar pulang Caca, yang menyaksikan interaksinya
dengan Ben dan sepanjang perjalanan
memberikan tatapan bingung padanya, tapi tidak
berani bertanya. Dia juga berhasil
menahan isaknya saat menjemput anak-anaknya dari
rumah Papi dan Mami. Mereka memberikan
tatapan curiga bahwa sesuatu terjadi di acara
amal ketika melihatnya agak linglung,
tapi tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak bisa
menahan diri lagi ketika sudah sendirian
di dalam kamarnya, tempat tidak akan ada orang
yang bisa melihatnya menangis.
Membutuhkan waktu beberapa jam baginya
untuk menenangkan diri. Dan pada saat itulah
dia sadar bahwa dia menangis karena
marah, kecewa, dan takut. Marah atas tingkah laku
Ben yang kelihatannya lupa sama sekali
akan apa yang sudah cowok itu lakukan padanya.
Kecewa pada dirinya sendiri yang
meskipun tidak akan pernah bisa melupakan atau
memafkan Ben, masih merasakan
ketertarikan luar biasa padanya. Dan ketakutan bahwa
Ben akan tahu tentang anak-anak dan
marah besar padanya.
Tapi yang lebih dia takutkan lagi adalah
bagaimana kalau Ben menyeretnya ke pengadilan
dengan tuntutan orangtua tidak layak
karena menyembunyikan anak-anak dari ayah
kandungnya? Atau lebih parah lagi,
menuntutnya atas tuduhan menculik Raka dan Erga?
Apa Ben bisa minta hak asuh penuh kalau
dia sampa menang? Oh tuhan, Jana bisa mati
tanpa Raka dan Erga. Dia harus berbicara
dengan Oom Frans untuk mencari tahu soal ini,
secepatnya.Dirty Little Secret - Bab 7
No comments:
Post a Comment