Tuesday, September 1, 2015
Nyanyian Cinta - Habiburrahman El Shirazy
Cairo memasuki musim semi. Pagi yang indah. Langit yang cerah. Orang-orang menatap hari
dengan penuh gairah. Bgitu juga Mahmid. Ia melangkah memasuki gerbang Universitas Al
Azhar dengan semangat membuncah. Fakultas Dakwah di Nasr City demikian ia cintai. Ia
bayangkan hari yang indah penuh barakah. Mata kuliah Sirah Nabawiyyah, Fiqih Dakwah, Fiqh
Al Muqaranah, Qiraah Sab’ah, Syaikh Fahmi Abdullah, Syaikh Yahya Ash Shabrawi, Prof. Dr.
Abdul Aziz Abdih, teman-teman yang sesemangat, seirama dan se-ghirah. Mencintai rasulullah
seutuhnya, tekad membaktikan diri sepenuhnya pada agama Allah. Semuanya menjadi cahaya
dalam dada. Menjadi mentari bagi semangatnya.
“Sebelum diangkat menjadi seorang nabi, Muhammad saw. Telah dikenal sebagai orang
yang paling menjaga amanah di seantero kota Makkah. Shingga beliau diberi gelar Al Amin.
Orang yang sangat bisa dipercaya. Orang yang sangat menjaga amanah. Sifat inilah yang
semestinya dimiliki setiap muslim.”
“Menjaga amanah adalah ruh agama ini. Umur yang diberikan Allah kepada kita adalah
amanah. Langkah kaki kita adalah amanah. Pandangan mata kita adalah amanah. Hidup kita
adalah amanah. Menjaga amanah adalah inti ajaran agama mulia ini. Rasulullah bersabda, Laa
diina liman laa amanita lahu. Tidak beragama orang yang tidak menjaga amanah!…
Hari ini ia mendapatkan penjelasan yang dalam tentang amanah, satu dari empat sifat utama
Rasulullh. Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh, Guru Besar Ilmu Dakwah menguraikannya dengan
bahasa yang menghidupkan jiwa. Kampus tertua di dunia ini tiada henti menempa generasi.
* * *
Pukul dua siang ia pulang. Naik bis menuju Ramsis, ia menyewa sepetak kamar di sebuah
rumah tua di kawasan Ramsis. Kamar yang pernah disewa sepupunya yang kini telah menikah
dan punya rumah di daerah Katamea. Tuan rumahnya sangat baik. Tak pernah menagih uang
sewa kamar. Ia sendiri yang sering malu. Malu pada diri sendiri dan tentu malu pada tuan rumah.
Pernah ia tidak bisa bayar sewa rumah enam bulan. Dan pemilik rumah tak jua menagih. Kali ini,
sudah empat bulan ia belum bayar. Otaknya terus berputar dari mana ia akan dapat uang.
Meminta orangtua yang sudah renta sangat tidak mungkin.
Ia hanya selalu yakin bisa membayar. Allah Mahakaya. Sudah tiga puluh lamaran ia
kirimkan ke tempat-tempat yang teriklankan di koran Ahram membuka lowongan. Namun tidak
satu pun panggilan ia dapatkan, apalagi pekerjaan.
Sementara ini, untuk memenuhi kebutuhan harian, ia berjualan buku-buku, majalah dan
kaset-kaset islami di depan masjid Ramsis. Ia tidak bisa menggelar dagangannya setiap waktu.
Sebab harus berbagi dengan jam kuliah. Boleh dikata ia punya kesempatan serius menjajakan
dagangannya hanya pada hari Jumat. Ketika kuliah libur. Keuntungannya menjual buku tak
seberapa.
Ketika bis sasmpai Ramsis ia turun. Seperti biasa ia langkahkan kakinya menuju masjid El
Fath. Ia ingin melepas penat, sambil meunggu Ashar tiba. Ia masuk masjid. Terasa teduh.
Masjid-masjid di Cairo selalu meneduhkan. Ia pilih sebuah tiang. Duduk, dan menyandarkan
punggungnya, ke tiang. Tas hitamnya ia lepas. Ia letakkan di samping kanan. Kedua kakinya ia
selonjorkan. Perlahan matanya memejam, namun pikirannya tetap melayang-layang. Dari mana
ia akan dapatkan uang. Dari mana ia akan bayar sewa kontrakan. Ya Allah, mohon berikan aku
jalan.
Azan Ashar berkumandang. Ia bangkit. Harus segera turun sebelum orang mulai banyak. Ia
harus buang air kecil dan ambil wudlu. Ia turun menuju kamar kecil. Benar. Orang mulai banyak.
Belasan kamar kecil tertutup. Untung masih ada satu yang terbuka. Kosong. Ia masuk. Ia tutup
pintunya. Di pintu ia temukan tas hitam kumal tergantung.
“Ada yang lupa membawa barangnya.” Gumamnya.
Di mana-mana, di muka bumi ini, barang tertinggal di kamr kecil sudah jamak dan biasa. Di
kamar kecil masjid Annur Abbasea ia pernah menemukan kaca mata tertinggal. Di kamar kecil
masjid Sayyeda Zaenab ia pernah menemukan bungkusan plastik hitam. Ternyata isinya dua kilo
ikan tuna. Dan pemiliknya ternyata seorang mahasiswa dari Indonesia yang baru saja belanja di
pasar Sayyeda Zaenab. Entah kenapa ia sering menemukan barang-barang yang tertingglal di
kamar kecil.
Ia ambil tas itu, lalu keluar dan berteriak ke arah orang-orang yang sedang berwudlu, “Ada
yang merasa memiliki tas ini!”
Tak ada yang menjawab.
Sekali lagi ia berteriak, “Perhatian! Maaf, ada yang merasa memiliki tas ini. Aku temukan
tergantung di kamar kecil nomor tiga belas.”
“Pemiliknya mungkin sudah naik ke atas.” Sahut seseorang.
“Serahkan saja pada pengurus masjid. Siapa tahu nanti pemiliknya mencari!” Sahut yang
lain.
“ Ya, serahkan saja pada pengurus masjid, biar nanti setelah shalat diumumkan.”
“Baik.”
Ia langsung bergegas ke tempat pengurus masjid. Menyerahkan tas itu dan ihwal
penemuannya. Pengurus masjid yang berjenggot lebat itu tersenyum ramah dan berkata,
“Bukankah kau yang biasa berjulan buku di depan?”
“Benar paman.”
“Siapa namamu?”
“Mahmud. Lengkapnya Mahmud Ali El Kayyis.”
“Apa yang kau lakukan sangat tepuji. Sesuai dengan namamu. Tidak semua orang yang
menemukan tas berusaha disampaikan yang berhak dan yang berwenag mengurusinya.
Aku bangga padamu. Semoga Allah memberkahi perbuatanmu, Anakku. Kau telah menunaikan
amanah, dan insya Allah akan kami tunaikan amanah ini!”
Ia kembali turun untuk memenuhi hajatnya yang tertunda.
* * *
Usai shalat, pengurus masjid El Fath mengumumkan perihal ditemukannya tas hitam. Jika
ada yang merasa memilikinya harap menemui imam masjid.
Ia lega mendengar pengumuman itu. Berharap apa yang dilakukannya berpahala. Apapun isi
tas itu, pasti yang punya merasa akan bahagia mendapatkannya kembali. Seperti saat ia lupa
buku diktatnya tertinggal di masjid kampus. Ia benar-benar lupa saat itu. Sebelum shalat ia
letakkan buku diktatnya di antara lemari tempat penyimpanan mushaf. Usai shalat ia langsung
cabut pulang. Malamnya saat hendak membaca ulang tidak ia dapati bukunya. Barulah ia ingat,
bukunya tertinggal di masjid. Ia sangat sedih. Buku itu sangat berharga baginya. Bagi sementara
orang harganya mungkin murah. Tak seberapa. Tapi bagi dirinya yang serba kekurangan, buku
itu sangat mahal. Sangat berharga. Pagi harinya ia bersegera ke kampus langsung ke masjid. Dan
tidak ia temui bukunya di atas lemari. Ia sempat meneteskan airmata.
“Oh siapakah yang mengambil bukuku? Untuk apa?”
Ia coba beranikan bertanya pada seorang mahasiswa yang biasa menjaga masjid. Mahasiswa
itu tersenyum dan berkata “Mari ikut saya!”
Mahasiswa itu mengajaknya masuk ke ruang pengurus. Lalu mengambil sesuatu di rak.
Sebuah buku.
“Inikah bukumu itu?”
“Benar.” Jawabnya dengan penuh suka cita.
“Ambilah, Saudaraku. Apapun yang berada di rumah Allah ini insya Allah aman.”
Ia sangat bahagia saat itu. Benar-benar bahagia. Ia seperti terlepas dari kesulitan besar. Saat
ia memegang kembali bukunya ia merasa menjadi orang paling bahagia diatas muka bumi ini.
Ia berharap pemilik tas itu juga akan merasakan hal yang sama.
* * *
Hari berikutnya ia kembali kuliah. Dengan semangat. Dan seperti biasa mampir di masjid
Ramsis untuk shalat Ashar. Usai shalat, pengurus masjid mengumumkan bahwa kemarin
ditemukan tas hitam itu tergantung di kamar kecil. Jika ada yang merasa memiliki boleh
menghubungi imam. Ia mafhum bahwa pemilikinya belum mengembilnya. Namun ia sangat
lega, dengan mendengar pengumum itu ia jadi sangat yakin bahwa orang-orang masjid sangat
bisa dipercaya, sangat bisa diandalkan keamanahannya.
Usai shalat, ia bergegas ke kontrakannya. Ia ingin menggelar dagangan bukunya. Bakda
Maghrib ada pengajian Syaikh Sya’rawi. Biasanya jamaah membludak. Semoga di antara
mereka ada yang berminat membeli buku dagangannya, terutama buku-buku yang ditulis Syaikh
Sya’rawi yang dikenal sangat merakyat dan dalam ilmunya.
Begitu sampai kontrakan. Ia langsung mandi. Cepat sekali. Ganti pakaian. Pakai minyak
wangi pemberian Rahmi, teman karibnya satu kampus yang suka jual minyak. Dua kardus besar
ia letakan di kedua bahunya. Sebuah tikar plastik ia selipkan antara kardus dan kepalanya. Terasa
sangat berat. Tapi inilah hidup. Inilah jihad. Dan jika sudah terbiasa jadi terasa ringan-ringan
saja. Ia turuni tangga. Sebab kamarnya ada di lantai tiga. Lalu berjalan melewati lorong-lorong
sempit. Menyusuri trotoar. Melewati deretan gedung perkantoran. Sampai di depan Bank Ahli ia
turunkan kardusnya. Ia kelelahan.
Setelah cukup ia lanjutkan perjalanan. Menyeberang jalan. Sebuah sedan merah melaju
kencang. Nyaris menyerempet kaki kanannya. Ia beristighfar sementara sopir sedan mengumpatumpat
tidak karuan. Empat menit kemudian ia sampai di tujuan. Trotoar depan masjid El Fath
Ramsis. Ia turunkan pelan-pelan dua kardusnya. Ia gelar tikar. Lalu ia tata dan ia susun buku
dagangannya sedemikian rupa. Demikian juga kaset-kaset dan majalah. Buku-buku Syaikh
Sya’rawi ia susun semenarik mungkin di bagian paling depan. Sehingga tampak menonjol dan
memikat hati yang melihatnya.
Senja mulai pekat. Langit memerah di sebelah barat. Lampu-lampu kota mulai menyala.
Orang-orang mulai deras berdatangan. Hatinya riang. Sudah delapan buku yang terjual.
Semuanya buku fatwanya Syaikh Sya’rawi. Keuntungan masing-masing buku tiga pound.
Sebelum Maghrib ia sudah dapat dua puluh empat pound. Ia tersenyum.
“Alhamdulillah ya Rabb.” Pujinya pada Tuhan yang memberi rejeki.
Ia lalu berharap jika Syaikh Sya’rawi tiap hari memberi ceramah di masjid Ramsis. Atau ada
seratus ulama seperti Syaikh Sya’rawi, dan semuanya menulis buku. Lalu semuanya memberikan
ceramah masjid Ramsis, tempatnya menggelar dagangan. Jika tiap hari ia bisa untung dua pukuh
lima pound
saja, maka dalam satu bulan ia akan punya masukan paling tidak tujuh ratus lima puluhan pound.
Dan itu sangat cukup untuk membayar sewa kamar, makan, ongkos bis, dan buku. Bahkan ia
bisa menargetkan kapan menikah. Ah kenapa ia tiba-tiba berpikir menikah.
“Ya Kapten, lau samah, bikam syarith dzai?”1
Suara seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia mengarahkan matanya ke asal
suara. Hatinya bergetar sesaat. Di hadapannya seorang gadis berparas elok berjilbab putih
berjongkok sambil memegang sebuah kaset. Ya, kaset ceramah Syaikh Sya’rawi berjudul: Al
Mar’ah Ash-Shalihah. Satu detik matanya beradu dengan mata gadis itu. Ia menangkap
kecantikannya.mata yang bundar dan bening. Muka yang bersih dengan tahi lalat di dagu kirinya.
Ia segera menahan matanya, mengalihkannya ke kaset yang di pegang gadis itu.
“E… sab’ah junaihat.”2
“Ghali awi!”3
“La ya anisah, hadza jaded.”4
“Arba’ah mumkin?”5 Gadis itu menawar.
“Musy mumkin, afwan.”6
“Khamsah la azid.”7
“Masyi.”8
Gadis itu mengambil kaset dan memasukannya ke dalam tas, lantas mengeluarkan lima
pound. Ia mengambil uang itu seraya mengucapkan, “Terima kasih, Nona.”
Setelah gadis itu berlalu ia raba hatinya. Masih ada getaran. Ia jadi berpikir, kenapa ia baru
mengangankan nikah, tiba-tiba langsung ada gadis di hadapannya. Gadis yang membuat hatinya
bergetar. Apakah ini tanda-tanda.
“Ah, astaghfirullah, aku tak mau dijebak setan!” cepat-cepat ia menolak
pikirannya.bukankah sudah tidak terhitung gadis berjilbab yang membeli dagangannya? Di
antara mereka bahkan banyak yang lebih cantik dari gadis tadi. Kenapa tiba-tiba ia harus
bergetar, harus merasa sesuatu yang lain?
Saat Maghrib tiba masjid telah penuh. Ia merasa tidak perlu masuk masjid. Cukup
menggelar koran dan ikut shalat jamaah di samping dagangannya. Usai shalat Syaikh Sya’rawi
memberikan ceramahnya. Berkali-kali tasbih dan kalimat tauhid terdengar gemuruh dari para
pendengar. Di tengah-tengah asyiknya mendengarkan ceramah. Sambil sesekali melayani
pembeli tba-tiba seorang lelaki berjenggot bermuka ramah mendatanginya. Lelaki itu tak lain
adalah salah satu pengurus masjid El Fath.
“Apa kabarmu Nak? Laris?”
“Alhamdulillah, saya baik. Rejeki hari ini juga baik.”
“Syukur kalau begitu. E, begini Nak….”
“Ya, Paman. Ada apa?”
“Ada yang punya perlu denganmu. Jika kau tidak keberatan. Habis shalat Isya datanglah ke
kantor pengurs masjid.”
“Perlu apa ya kira-kira, Paman?”
“Insya Allah baik untukmu. Bisa?”
“Insya Allah, Paman.”
* * *
Syaikh Sya’rawi memberikan siraman penyejuk jiwa sampai Isya. Beliau juga mengimami
shalat Isya. Acara ceramah beliau disiarkan langsung ke seluruh penjuru Timur Tengah oleh
sebuah stasiun televisi. Usai shalat, Mahmud sibuk dengan para pembeli bukunya. Semua buku
tulisan Syaikh Sya’rawi ludes. Kaset ceramah beliau tersisa tiga. Buku-buku yang lain juga
banyak dibeli. Ketika masjid mulai sepi, ia mengemasi dagangannya.
“Ini sungguh hari yang penuh keberuntungan.” Katanya pada diri sendiri. Separo bukunya
terjual. Ia menaksir keuntungannya hari itu kira-kira seratus empat puluh pound.
“Lumayan, bisa untuk menyelamatkan muka. Bisa untuk membayar sewa kamar dua bulan.”
Gumamnya pada diri sendiri.
Setelah mengikat kardusnya ia melangkah ke masjid. Ia bawa barang dagangannya ke
masjid. Ia letakkan di balik pintu masuk, lalu menuju salah satu ruang yang digunakan sebagai
kantor para pengurus. Di sana ada beberapa orang yang berkumpul. Ia mengetuk pintu memberi
salam. Yang ada di situ serentak menjawab salam. Sekilas ia kitarkan pandangan. Tak ada
Syaikh Sya’rawi. Mungkun telah diantar pulang.
“Nak Mahmud, silakan duduk.” Lelaki berjenggot bermuka ramah mempersilakan duduk.
“Terima kasih.” Jawabnya. Ia lalu duduk di kursi yang masih kosong.
“Diakah pemuda itu?” Seorang lelaki setengah baya berwajah bersih tiba-tiba berkata sambil
memandang kearah Mahmud.
“Benar, dialah orangnya.” Jawab lelaki berjenggot bermuka ramah.
Mahmud yang merasa dirinya jadi obyek pembicaraan spontan bertanya,
“Kalian membicarakan aku?”
“Iya Nak Mahmud. Seperti yang saya sampaikan bakda shalat Maghrib tadi. Ada orang yang
perlu denganmu. Ceritanya begini, bapak ini adalah Tuan Ragib Ali Ridhwan Hamid Ghazali.
Beliaulah pemilik tas hitam yang kautemukan. Beliau ingin berterima kasih padamu.” Lelaki
berjenggot bermuka ramah menjlaskan.
“Benar Nak Mahmud. Saya sangat berterima kasih padamu. Sebagai rasa terima kasih, saya
ingin memberikan sesuatu padamu. Nilainya mungkin tidak seberapa tapi semoga menjadi tanda
syukur. Karena siapa yang tidak berterima kasih pada manusia dia tidak berterima kasih kepada
Allah.” Kata lelaki setengah baya berwajah bersih bernama Ragab itu.
Mahmud belum sempat mengucapkan sepatah kata, namun Tuan Ragab telah berdiri dan
mengulurkan amplop kepadanya. Dengan spontan Mahmud menolaknya seraya berkata,
“Sebentar Tuan Ragab. Kemarin itu saya hanya menunaikan amanah karena Allah. Itu saja.
Itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai seorang muslim. Jadi, rasanya tidak semestinya saya
menerima yang berlebih. Tidak perlu berterima kasih atas sebuah kewajiban. Bersyukurlah pada
Allah.”
“Iya. Kau benar. Tapi tolong terimalah tanda terima kasih saya padamu Nak. Terima kasih
saya atas amanah yang kautunaikan.” Desak Tuan Ragab.
“Maaf, janganlah Tuan memaksa saya untuk menerima
sesuatu sebagai imbalan kewajiban yang harus saya tunaikan.
Tolong, saya hanya melakukan karena Allah. Tolong. Saya sampaikan empati saya atas sikap
Tuan yang hendak berterima kasih pada saya. Saya terima ungkapan terima kasihnya. Tapi tidak
untuk sesuatu yang hendak Bapak berikan pada saya. Sekali lagi jangan paksa saya!”
Tuan Ragab memandang kepada lelaki imam masjid yang hanya dengan diam saja sejak
tadi. Sang imam mengisyaratkan dengan gelengan kepala dan telapak tangannya agar dia jangan
memaksa.
“Baiklah aku tak bisa memaksa. Tapi apakah kau tahu isi tas hitam itu?” kata Tuan Ragab.
Mahmud menggelengkan kepala seraya berkata, “saya sama sekali tidak membukanya.”
“Aku percaya kamu tidak membukanya karena isinya masih utuh semua. Untung kamu tidak
membukanya, kalau kamu membukanya setan mungkun akan memperdaya kamu agar kamu
tidak menunaikan amanah dengan sebenar-benarnya. Lihatlah Nak Mahmud, ini isinya.”
Tuan Ragab lalu mengeluarkan isi tas hitam. Pertama-tama koran bekas yang telah lecek.
Bungkusan plastik hitam. Sebuah kantong kain berwarna hijau tua. Buku agenda. Dan sebuah
pena hitam yang ujungnya kuning keemasan.
“Kelihatannya tak ada yang istimewa kan? Tapi ini adalah setengah perjalanan hidupku.”
Kata Tuan Ragab. Dia lalu mengambil bungkusan plastik hitam dan mengeluarkan isinya. Dua
bundel dollar Amerika.
“Jumlahnya tiga puluh ribu dollar.” Kata Tuan Ragab. Ia lalu meraih kantong hijau tua dan
mengeluarkan isinya: seuntai kalung emas permata dengan bandul permata mulia berwarna
merah tua yang sangat indah.
“Ini nilainya tiga ratus ribu dollar. Baru saya beli dari Madrid untuk hadiah keberhasilan
putriku semata wayang menghafalkan Al-Quran.”
Tuan Ragab lalu beralih ke buku agendanya. Agendanya itu berkancing. Ia buka dan ia
pegang selembar kertas seraya berkata dengan mata berkaca-kaca,
“Ini cek dari seorang kolega di Port Said. Nilainya tujuh ratus tujuh puluh lima ribu pound.
Inilah isi tas hitam lusuh ini Nak Mahmud, apakah aku tidak pantas memberikan sesuatu padamu
sebagai ungkapan terima kasih.”
Semua yang hadir di ruangan itu diam dan takjub. Semua baru tahu isi sebenarnya tas hitam
kumal itu. Imam masjid dan pengurus masjid saat memeriksa tas itu hanya membuka agendanya.
Mencatat keterangan yang ada di biodata di halaman depan. Yang tertulis hanya nama pemilik,
tanggal lahir. Tidak ada alamat dan keterangan yang lainnya.
Mereka tidak sampai memeriksa beberapa berkas yang ada di agenda itu. Juga tidak
memeriksa isi kantung hijau tua dan bungkusan plastik. Begitu ada yang mengaku memiliki tas
itu. Mereka mengujinya dengan menanyakan kartu identitas. Ketika nama dan data dalam kartu
identitas sama dengan yang tertulis di dalam buku agenda dan bisa menyebutkan isi tas secara
umum. Maka mereka percaya dialah pemiliknya. Dan memang sejak diumumkan tidak ada satu
orang pun yang mengaku. Sampai datang Tuan Ragab menanyakan kepada pengurus masjid
perihal tas hitam kumalnya yang tertinggal saat buang air kecil.
“Allah yang mengatur semua. Alhamdulillah saya bisa mengamalkan ilmu dan menunaikan
amanah. Saya ingin murni karena Allah. Jangan paksa saya,” Kata Mahmud lirih.
“Jadi kau benar-benar tidak ingin menerima amplop ini?”
“Jangan paksa saya, saya mohon.”
“Aku sungguh bangga padamu Nak Mahmud. Baiklah aku tidak akan memaksa lagi. Namun
aku tetap ingin mengungkap-kan rasa syukurku. Kepada yang hadir di ruangan ini saksikanlah
aku sedekahkan cek senilai tujuh ratus tujuh puluh lima ribu pound untuk anak yatim dan fakir
miskin. Pengelolaannya saya serahkan pada pengurus masjid. Pahalanya semoga terlimpahkan
pada semua orang beriman yang menunaikan amanah dengan benar.”
Kata-kata Tuan Ragab membuat hati yang hadir di ruangan itu bergetar. Mahmud bersyukur
dalam hati bahwa ia bisa mempertahankan prinsipnya. Di akhir pertemuan Tuan Ragab
membagikan kartu namanya. Saat bersalaman dengan Mahmud beliau mencium kening anak
muda itu sebagai tanda cinta dan penghormatan.
* * *
Hari berikutnya Mahmud menceritakan apa yang dialaminya dengan Tuan Ragab perihal tas
hitam kumal itu pada sahabat karibnya Ramhi. Dan Ramhi menanggapinya dengan emosi,
“Emang sewa kamarmu sudah kau lunasi!?”
“Belum.” Jawab Mahmud.
“Kau sungguh bodoh! Sok suci! Sok ikhlas! Miskin tapi sok kaya! Apa sih beratnya
menerima tanda terima kasih. Mungkin itu bisa jadi modal kamu usaha. Kamu itu sungguh
manusia aneh. Bayar sewa kamar saja nunggak berbulan-bulan tapi sok
malaikat. Sok tidak butuh uang. Dasar kolot, tolol, bahlul,
primitif! Sini berikan padaku kartu namanya biar aku cari Tuan Ragab itu dan aku ambilkan
bagianmu.”
Mahmud menggelengkan kepala.
“Kenapa tidak?!” Sengit Ramhi.
“Lelaki sejati tidak akan menjilat ludahnya!”
“Bah! Dasar prtimitif kolot! Jika kau masih mem-pertahankan kekolotan prinsip-prinsipmu
di era global seperti ini, kau tidak akan survive! Kau akan binasa terlindas realitas!”
“Allah bersama orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”
Dengan muka kesal Ramhi meninggalkan Mahmud sambil bergumam,
“Semoga kau dapat petunjuk wahai manusia lugu yang kolot!”
* * *
Bumi terus berputar. Matahari terus terbit di timur dan tenggelam di barat. Tak pernah
berhenti. Hari berganti hari. Setelah empat tahun kuliah Mahmud berhasil menyelesaikan
kuliahnya di Fakultas dengan nilai mumtaz. Ia terpilih sebagai terbaik pertama di angkatannya.
Selesai kuliah ia tidak pulang kampung, tapi mencoba bertahan di Cairo. Ia sangat ingin lanjut
pascasarjana. Namun ia merasa perlu kemapanan ekonomi.
Suatu hari di awal musim dingin ia pergi ke kampus.ia kangen dengan kampus. Ia ingin
menemui beberapa teman satu angkatannya yang belum lulus sambil refresing menyegarkan
pikiran. Di pintu gerbang ia berpapasan dengan Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh. Mahmud
menyalaminya dengan penuh takzim.
“Mahmud, sudah dua minggu ini aku mencarimu. Nanti jam satu siang datanglah ke ruang
kerjaku.”
Kata-kata Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh itu sangat menyejukkan hatinya. Jika ia dicari-cari
seorang guru besar yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya seperti beliau maka itu suatu
keberkahan. Suatu tanda akan datangnya kebaikan-kebaikan.
“Insya Allah, Doktor.” Jawabnya singkat.
Tepat jam satu kurang tiga menit ia masuk ruang kerja Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh dengan
terlebih dahulu mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam. Duduklah Mahmud! Kau tepat waktu Mahmud. Aku senang.”
“Ada yang bisa saya bantu Doktor?”
“Begini Mahmud, aku mau bertanya padamu, mau tidak kamu mengamalkan ilmumu?”
“Tentu Doktor. Bukankah ilmu harus diamalkan?”
“Mau tidak kamu berjuang dan berdakwah?”
“Tentu doctor. Itu adalah kewajiban seorang muslim.”
“Rasanya aku tidak salah memanggil kamu. Begini, ada sebuah daerah di pelosok selatan
Mesir yang sangat membutuhkan seorang dai. Maukah kamu diutus ke sana. Sebagai utusan
resmi Al Azhar. Semua biaya Al Azhar yang menanggung. Kau juga akan dapat gaji. Kau tidak
selamanya di sana. Hanya dua tahun. Setelah itu kau akan aku usahakan dapat beasiswa untuk
lanjut S2. bagaimana?”
Mendengar penjelasan Prof. Dr. Abdul aziz Abduh, hati Mahmud gerimis.
“Saya wakafkan diri saya untuk dakwah, Doktor. Untuk dakwah saya siap ditempatkan dan
diutus di mana saja.”
“Aku bangga mendengarnya, Anakku. Bersiap-siaplah.
Surat-suratnya akan aku urus. Minggu depan kamu berangkat, insya Allah. Dan ingat kamu
berangkat ke medan dakwah yang tidak ringan.”
“Mohon doanya, Doktor.”
“Hayyakallah ya Bunayya.”9
“Amin.”
* * *
Minggu berikutnya, setelah menempuh perjalanan panjang dari Cairo ke Asyyut dengan
kereta dan disambung dengan angkot sampailah Mahmud ke sebuah desa. Turun dari angkot ia
masih harus berjalan kaki setengah kilo untuk mencapai perkampungan di mana dia ditugaskan.
Begitu sampai ia langsung rumah imam masjid.
Seorang petani memberi petunjuk,
“Datangilah rumah yang bercat hijau. Di halamannya ada seekor keledai sedang ditambat.
Dari sini kira-kira seratus meter. Setelah kebun korma.”
Ia bergegas ke sana. Dengan mudah ia temukan rumah itu. Ia ketuk pintu. Seorang lelaki tua,
berumur tujuh puluhan keluar. Ia berbincang dengannya penuh takzim, menjelaskan
kedatangannya dan menyerahkan surat tugas. Lelaki tua itu mempersilakan masuk rumahnya,
menyambutnya dengan penuh
suka cita, “Alhamdulillah surat permohonan saya ke bagian dakwah Al Azhar dikabulkan. Saya
sangat bahagia. Saya berharap kau betah di desa ini dan bisa jadi penerang di desa kami.”
“Kalau boleh tahu siapa nama Imam?”
“Ah, sebenarnya saya merasa tidak pantas menjadi imam. Bacaan Al-Quran saya masih
belum benar. Karena tidak ada yang lain jadi terpaksa saya menjadi imam. Nama saya Raghib.
Nanti bakda shalat Maghrib kau akan kukenalkan pada jamaah masjid. Setelah itu kau akan
kuajak berkunjung ke rumah para pemuka masyarakat desa ini. Mereka semua pasti akan senang
dengan keberadaanmu di sini.”
“Semoga Allah memudahkan semuanya.”
Sejak hari itu mulailah perjuangan dakwah Mahmud benar-benar merasakan beban yang
tidak ringan. Masyarakat di desa itu masih ada yang buta huruf. Masih ada yang belum bisa baca
Al-Quran. Masih banyak yang belum mengerti ajaran Islam dengan benar.selama ada di desa itu,
ia diangkat menjadi imam menggantikan Pak Raghib yang menjadi imam sementara. Ia menjadi
rujukan, tempat bertanya masalah agama. Bahkan masalah sosial. Masyarakat begitu percaya
padanya sebagai lulusan Al Azhar di Cairo. Anak-anak juga sangat lekat padanya. Mereka
antusias belajar Al-Quran padanya. Seringkali Mahmud membuat acara yang sangat
mengasyikan bagi mereka. Kematangannya ketika aktif di kepanduan sebelum masuk kuliah
sangat berharga.
Genap satu tahun, Mahmud seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat
desa itu. Pengajian umum yang ia
buka di masjid setiap hari Jumat pagi dihadiri oleh ribuan orang. Tidak hanya masyarakat dessa
itu namun juga desa-desa sekitarnya.
Namun lazimnya sebuah dakwah, tidaklah mulus begitu saja. Sudah beberapa kali nyawanya
terancam oleh mereka yang merasa keberadaan Mahmud sangat membahayakan mereka.
Mereka sebuah mafia kecil yang secara diam-diam menanam ganja di tengah-tengah kebun
mereka. Mereka adalah bagian dari jaringan pengaedar narkotika di kawasan Mesir Selatan. Ulah
mereka belum terendus pihak kepolisian. Kehadiran Mahmud yang berpendidikan dianggap
sangat membahayakan. Beberapa kali Mahmud hendak dilenyahkan namun gagal.
Mafia kecil itu terus mencari cara membinasakan imam muda ini. Akhirnya mereka sepakat
untuk menghabisi Mahmud dengan rekayasa dan fitnah.
“Begini, agaknya imam muda ini banyak disukai anak-anak gadis. Kita manfaatkan hal ini
untuk membinasakannya. Kita pernah dengar dulu di Bani Israel ada seorang ahli ibadah yang
namanya Barshisha. Dan ia hancur karena perempuan. Bagaimana kalau kita gunakan cara setan
itu untuk membinasa- kan imam muda ini.” Seorang anggota mafia berambut keriting
mengajukan usul.
“Boleh. Riilnya bagaimana?” Ketua mafia menyahut.
“Begini Bos,” Kata lelaki berambut keriting, “Saya telah amati kegiatan imam muda itu dua
minggu penuh. Juga saya bertanya banyak hal tentangnya ke para penduduk. Imam muda itu
punya pengajian rutin Tafsir Jalalin di masjid tiap hari malam Ahad. Tempatnya di masjid
selatan desa. Dia pulang dan pergi tidak pernah sendirian. Jadi kalau kita gunakan kekerasan
justru berbahaya.”
“Terus gimana membinasakan dia?” Sahut sang ketua tidak sabar.
“Begini Bos, kita fitnah dia. Penduduk desa ini paling anti dan paling murka terhadap orang
yang mengotori anak gadisnya. Saya dapat informasi ada seorang anak gadis yang sangat suka
apa saja asal dapat imam muda ini. Setahu saya, imam muda ini
sampai di rumahnya dari pengajian Tafsir Jalalain jam setengah dua belas malam. Kita akan
manfaatkan Sadia. Kita seolah membantu Sadia, namun Sadia harus ikut skenario kita. Dan harus
menjaga rahasia. Begitu Bos.”
“Lha terus riil memanfaatkan Sadia itu gimana, Keriting?”
“Begini Bos, saat si imam muda itu pergi mengaji Tafsir Jalalain, diam-diam dengan cara
yang tidak diketahui orang kita datangi rumah imam itu lewat belakang. Kita ajak Sadia ikut
serta. Kita congkel pintu belakang, kita minta Sadia masuk dalam rumah imam itu. Sadia harus
bersembunyi. Ketika imam itu nanti pulang dan tidur pulas. Sadia harus tidur di samping imam
itu. Satu ranjang kalau perlu dengan pakaian yang tampak acak-acakan. Saat itulah kita grebek,
kita kerahkan orang kampung. Pada saat kita grebek Sadia harus memeluk imam muda itu kuatkuat,
menangis dan menjerit-jerit. Dengan demikian hancurlah imam muda itu. Ia akan dilempari
batu seperti anjing kurap oleh seluruh penduduk kampung. Akan diusir.”
Sang ketua manggut-manggut mengerti.
“Apa Sadia mau. Pasti mau bos. Dia sudah masuk perngkap kita. Sekarang dia sudah ikut
pakai ganja sebab kakaknya juga bagian dari kelompok kita.”
“Bagus. Segera jalankan rencanamu dengan matang. Ajak dan provokasi para pemuda yang
tidak suka dengan imam sok suci itu!”
* * *
Sore itu Mahmud asyik membuat acara permainan dengan anak-anak di sebuah kebun
korma. Tiba-tiba seorang anak berteriak,
“Imam… imam itu ada ular!”
Mahmud langsung melihat ke arah yang ditunjuk si anak. Ya ada seekor ular cobra yang
sangat berbahaya. Ia minta anak-anak menyingkir. Di kepanduan ia pernah belajar mengatasi
ular. Sepuluh menit kemudian Mahmud telah berhasil meringkus ular itu dengan kain yang ia
gunakan untuk tikar.
“Jangan takut ini ularnya sudah tertangkap.”
Anak-anak gembira.
“Imam memang hebat. Di sini belum pernah ada seorang pun yang berani menangkap ular
cobra. Kepala desa yang dulu meninggal katanya karena dipatuk ular cobra.” Kata anak yang tadi
berteriak.
Sore itu kabar imam muda menangkap ular cobra langsung tersiar ke seluruh penjuru desa.
Seorang petani separo baya mendatangi Mahmud dan menasihati,
“Imam, jangan main-main dengan cobra. Lebih baik langsung di bunuh saja!”
“Saya tidak main-main kok, Paman. Ular ini sengaja tidak saya bunuh sebab besok pagi saya
ingin membawanya ke dokter untuk diambil serumnya. Serum itu bisa jadi obat jika kelak ada
penduduk desa ini digigit ular berbisa ini. Jangan kuetir, Paman.”
Setelah faham petani itu tersenyum dan minta diri. Mahmud memasukkan ular itu ke dalam
kantong goni lalu mengikatnya dan meletakannya di ruang belakang rumahnya.
Setelah Maghrib, Mahmud membaca tafsir yang akan dia sampaikan untuk pengajian rutin.
Bakda Isya ia berangkat ke masjid selatan desa untuk menyampaikan pengajian.sementara
kelompok mafia mulai menjalankan rencananya. Sebagian mereka sudah mampu menyebar
fitnah dan meyakinkan
sebagian penduduk desa bahwa si imam muda itu tak lain adalah seekor srigala busuk. Imam
muda itu telah mengotori desa dan menodai kesucian gadis desa, di antara korban yang sedang
dalam cengkeramannya adalah Sadia.
Sebagian yang lain ada yang menyebar desas-desus ke kalangan ibu-ibu. Mereka minta ibuibu
melihat apa yang akan terjadi malam nanti. Malam nanti akan ketahuan siapa sebenarnya
imam muda yang selama ini dipuji-puji itu.
Di sebuah rumah, Sadia telah siap dengan segala fitnahnya.
“Suratku tak pernah ditanggapinya. Malam ini imam sok suci itu akan tahu siapa Sadia. Dia
akan tunduk di telapak kakiku.” Gumamnya.
Tepat pukul sepuluh Sadia dan lelaki berambut keriting berhasil masuk rumah Mahmud
lewat pintu belakang. Sadia berpakaian setengah telanjang. Ia benar-benar sudah kehilangan rasa
malunya. Di luar rumah ketua mafia bersiaga penuh dengan beberapa anak buahnya. Beberapa
anak buah yang lain bertugas membawa para pemuda pada saat yang tepat.
Tepat pukul sebelas Mahmud pulang diantar oleh seorang pemuda. Setelah pemuda itu
pamit, Mahmud masuk rumah. Ia tidak masuk ke kamarnya tapi duduk di ruang tamu. Ia belum
mengantuk. Ia ingin membaca Fiqhus Sunnah yang ditulis oleh Sayyid Sabiq.
Sastu jam kemudian, terdengar teriakan yang sangat gaduh di luar rumahnya. Teriakan itu
mencaci-maki dirinya. Pintu rumahnya digedor dengan sangat keras.
“Ayo seret imam pezina itu!”
“Telanjangi Mahmud serigala itu! Arak dia biar jadi pelajaran!”
Belum sempat ia beranjak dari tempat duduknya, pintu itu telah terbuka. Didobrak. Mahmud
berdiri kaget. Kitab Fiqhus Sunnah masih ditangannya. Orang-orang masuk dengan marah. Yang
paling depan adalah ketua mafia. Mata Mahmud beradu dengan matanya. Ketua mafia agak
gentar, tidak seperti yang direncanakn. Tidak ada suara merengek atau tangis Sadia. Ke mana
Sadia? Namun ia tidak kehabisan akal. Ia langsung menggertak.
“Di mana Sadia kausembunyikan, Bangsat!”
Mahmud tidak gentar, “Siapa Sadia?”
“Jangan sok tidak tahu. Sadia yang kauzinai setiap malam!”
Mahmud kaget, “Apa zina? Aku mezinai Sadia? Astagh-firullah. Na’udzubillah. Jangan
sembarangan kau bicara! Menuduh zina adalah kriminal!”
Jangan banyak bacot. Langsung seret saja pemuda ini. Sadia adalah korbannya ia telah
menodai gadis lugu itu. Ayo seret dia!”
Para pemuda yang emosi langsung bergerak memegang tangan Mahmud. Mahmud melawan
dengan menampar mereka. Terjadi pergulatan. Tiba-tiba terdengar teriakan keras, “Berhenti!
Ada apa ini?”
Ternyata suara kepala desa. Di belakangnya ada beberapa orang polisi. Rupanya kepala desa
mencium gerakan para pemuda. Ia ingin menegakan hukum, siapa pun yang salah harus diadili
sesuai hukum, makanya ia mengundang polisi. Sebelum Mahmud angkat bicara, ketua mafia
angkat bicara dan meluncurkan tuduhan dan fitnahnya. Panjang lebar, dan dengan suara sangat
meyakinkan,
“Beberapa kali aku melihat dia dan Sadia berbuat mesum!”
Mahmud emosi, “Dia bohong! Dia memfitnah! Ini fitnah!”
“Aku bahkan pernah melihat tengah malam Sadia menutup
jendela kamar rumah ini, dalam keadaan telanjang dada dan di belakangnya si jahannam ini
mendekapnya mesra!” cerocos ketua mafia.
“Sudah diam kamu Bandot! Tuduhan kamu harus kamu buktikan!” Bentak kepala desa.
“Akan aku buktikan! Aku yakin Sadia sedang terlelap di salah satu ruangan di rumah ini
setelah dibius srigala ini! Ayo kita geledah!” Sahut ketua mafia mantap.
Ia bergerak. Beberapa orang bergerak. Pak kepala desa, dua polisi dan Mahmud mengikuti.
Mahmud hanya pasrah kepada Allah. Kamar pertama digeledah, tak ada apa-apa. Kamar kedua
juga. Kamar ketiga, yang tak lain kamar tidur Mahmud digeledah. Dengan sangat teliti. Almari
dibuka. Kolong ranjang diteliti tak ada apa-apa. Wajah ketua mafia merah. Ia marah. Dalam hati
ia mendesis, “Di mana kau Sadia? Kurang ajar kamu! Kamu telah mempermainkanku. Awas aku
cincang kamu!”
Ketua mafia itu lalu mengajak menggeledah ke ruang belakang yang tak lain adalah dapur
dan kamar mandi. Ruang belakng itu gelap. Beberapa orang menyorotkan senternya. Sinar senter
itu menerangi ruangan. Di atas lantai orang-orang terkesima dengan pemandangan yang merekaa
lihat. Dua orang anak manusia lain jenis diam tak bergerak dalam posisi yang sangat memalukan.
Tubuh keduanya telanjang.
“Itu Sadia!” teriak seorang pemuda.
“Lha itu yang menidihnya siapa?” Tanya seseorang.
Kepala mafia pucat.
“Itu si kerempeng. Anak bejat dari kampung utara!”
Polisi melihat keduanya.
“Inna lillahi wa inna ilahi raaji’un. Keduanya sudah tidak
bernyawa. Ada gigitan ular di kaki kedua manusia jalang ini. Kata polisi itu.
Kepala desa langsung berkata pada ketua mafia, dan ia tidak tahu kalau yang ia ajak bicara
adalah seorang ketua pengedar narkotika,
“Hai Bandot, berarti kau salah lihat. Yang berbuat mesum bersama sadia itu bukan Mahmud.
Tapi si pemuda keriting ini. Saya tahu persis siapa Mahmud. Sejak dia datang sampai sekarang
saya tahu persis akhlaknya. Memang rumah ini sering ditinggalkannya kalau malam untuk
mengisi pengajian. Jadi sering kosong. Kelihatannya itu dimanfaatkan dua manusia itu. Karena
mereka merasa aman melakukannya di sini. Tapi Allah tidak ingin membiarkan hal ini berlanjut
terus.”
“Ya aku bersaksi Mahmud bersih dari tuduhan keji itu. Kenyataan di depan mata kita telah
membuktikannya. Memang sejak satu minggu ini ada yang menyebar desas-desus tidak sedap
tentang imam muda kita. Dan malam ini semuanya jelas.” Sahut seorang ibu-ibu yang ikut
menyaksikan kejadian itu.
Dalam hati Mahmud bersyukur telah selamat dari fitnah. Ia merasa ada makar yang ingin
mencelakainya di balik kejadian menggegerkan desa malam ini, dan Allahlah yang
menggagalkan.
Penduduk desa, juga Mahmud tak ada yang tahu, apa yang dilakukan Sadia dan Pemuda
Keriting setelah masuk rumah Mahmud. Setan telah membakar nafsu mereka berdua di tempat
gelap itu karena pengaruh ganja yang mereka hisap. Tangan pemuda itu tidak sadar membuka
ikatan karung goni yang berisi ular saat sedang berasyik masyuk. Saat jantung berdegup
kencang. Tanpa mereka sadari ular itu memaruk kaki mereka.
Jantung terus berdegup. Racun mematikan pun menyebar dengan cepat. Dan tamatlah riwayat
mereka berdua. Makar yang mereka buat membinasakan mereka sendiri.
* * *
Peristiwa malam itu berbuntut panjang. Kakak Sadia yang juga anggota mafia kecil itu tidak
bisa teerima atas kematian adiknya. Ia tahu persis adiknya adalah korban dari makar busuk ketua
mafia.
Diam-diam ia mendatangi kantor polisi dan membocorkan rahasia yang selama ini ia
pendam. Ia juga mendatangi kepala desa, dan membocorkan semua yang ia tahu, termasuk makar
fitnah untuk membinasakan sang imam muda, Mahmud, pada malam itu.
Polisi bergerak cepat. Seluruh anggota mafia di desa itu dan desa-desa sekitarnya di tangkap.
Bahkan jaringan yang lebih besar di Mesir selatan segera digulung. Kepala desa mengum-pulkan
warganya dan menjelaskan lebih detil tentang makar fitnah itu. Penduduk desa semakin
mencintai Mahmud.
Tak terasa sudah sembilan belas bulan Mahmud berdakwah di desa itu. Sudah cukup banyak
perubahan. Anak-anak sudah fasih baca Al Quran. Para orang tua sudah memahami isi aqidah
Thahawiyyah, Fiqh Sunnah, dan inti risalah Islam. Sebuah balai serba guna didirikan di samping
masjid.
Tiga bulan lagi tugasnya usai. Ia ingin kembali ke Cairo dan melanjutkan S2. Ia hendak
menyampaikan hal itu pada kepala desa, agar tidak mengejutkan kepergiannya. Usai shalat
Maghrib ia membicarakn hal itu pada kepala desa dan beberapa pengurus
masjid, termasuk Pak Raghib yang sangat dihormati. Apa yang ia sampaikan ditanggapi dengan
keharuan dan tetesan airmata. Kepala desa berkata dengan mata berkaca,
“Kami sangat mencintaimu Nak Mahmud. Kami sebenarnya ingin Nak Mahmud tinggal di
sini. Atau lebih lama di sini. Namun semua kembali pada Nak Mahmud. Kami tidak bisa dan
tidak berhak memaksa. Namun ada satu permintaan kami yang kami sangat berharap Nak
Mahmud tidak menolaknya.”
“Apa itu?” Tanya Mahmud.
“Bicaralah Paman Raghib.”
“Begini Nak Mahmud. Saya punya cucu. Satu-satunya. Tidak cucu langsung, tapi cucu
kakak saya yang telah meninggal karena kecelakaan, setengah tahun sebelum kau datang kemari.
Akulah satu-satunya keluarganya. Aku sudah tua. Sejak kecil ia hidup di desa ini. Sejak kecil.
Meski ayah-ibunya tinggal di kota Thanta, ia tinggal di sini. Bersama kami. Karena ia memang
dilahirkan di sini. Setiap dibawa ke Thanta ia sakit. Tapi jika dibawa ke sini ia sembuh.
“Boleh dikata cucu saya itu, menurut pengakuan orang-orang di desa ini adalah gadis
tercantik dan terpandai. Dialah satu-satunya gadis yang menghafal Al-Quran. Menghafal Al-
Quran dengan kemauannya sendiri. Cucu saya ini juga bisa dikatakan orang paling kaya di desa
ini. Selain mewarisi kekayaan ayahnya di Thanta, ia juga mewarisi kekayaan kakeknya, yaitu
kakak saya. Tanggung jawab saya adalah menikahkannya dengan pemuda yang saleh, bertakwa,
berilmu dan bertanggung jawab. Saya merasa kau sangat tepat. Saya berani menjamin ia gadis
yang salehah. Sekarang sedang kuliah di Al azhar Banat, Cairo, tahun kedua. Ini permohonan
saya. Dan saya berharap tidak kamu tolak. Saya akan sangat merasa aman jika dia dalam
naungan lelaki saleh sepertimu.”
Perkataan Pak Raghib membuatnya kaget dan terkesima. Lidahnya susah digerakkan. Ia
diam. Semua yang ada dalam pembicaraan itu diam. Suasana hening sesaat. Akhirnya ia berhasil
menggerakan lidah dan bibirnya,
“Sa… saya akan istikharah dulu.”
* * *
Tiga kali ia istikharah. Setiap kali istikharah ia tidur. Dan dalam tidur selalu bermimpi
membaca Al Quran surat Ar Ruum ayat 21. Ia sangat yakin, itu ilham agar ia segera menikah.
Akhirnya ia menyampaikan jawaban ‘menerima tawaran itu’ pada Pak Raghib. Jawaban
Mahmud menerbitkan airmata haru lelaki itu.
Minggu berikutnya diadakan acara ta’aruf antara Mahmud dan cucu Pak Raghib itu. Acara
dihadiri kepala desa. Mahmud hanya bisa menunduk dengan hati dan jantung berdebar-debar.
Darah mudanya meluap. Ia penasaran. Seperti apa rupa gadis yang katanya paling pilihan di desa
ini.
Istri Pak Raghib mengeluarkan minuman dan makanan. Gadis itu tidak ikut keluar. Setelah
berbincang-bincang cukup lama. Pak Raghib berkata,
“Ya Hafshah keluarlah!”
Tak lama kemudian seorang gadis berjilbab panjang putih bersih keluar. Iaduduk di samping
istri Pak Raghib.
“Nak Mahmud, ini Hafshah cucuku.” Kata Pak Raghib.
Mahmud mengangkat muka ke arah wajah gadis itu. Si gadis juga melakukan hal yang sama.
Dan….
Subhanallah! Ia teringat peristiwa dua tahun yang lalu. Peristiwa di musim semi, saat ia
berjualan buku. Gadis ini bukankah? Ya, persis! Mata yang bundar dan bening. muka yang
bersih dengan tahi lalat di dagu kirinya. Si gadis agaknya juga kaget. Cukup lama mereka
berpandangan.
“Agak aneh. Apa kalian pernah saling kenal?” Pak Raghib menangkap gelagat. Gadis itu
diam. Mahmud mencoba mengingat kejadian itu. Ia bergumam,
“Masjid El Fath, Ramsis. Kaset Syaikh Sya’rawi berjudul: Al Mar’ah Ash-shalihah.”
Gadis itu tiba-tiba menyambung lirih,
“Ya kapten, lau samah, bikam syarith dza?
E….sab’ah junaihat!
Lu ya anisah, hadza jaded.
Arba’ah mumkin?
Musyi mumkin, afwan.
Khamsah la azid.
Masyi.”
Mahmud terhenyak, gadis itu masih ingat dialog tawar menawar kaset itu dua tahun yang
lalu. Sebelum Mahmud bicara gadis itu menjelaskan dengan detail pertemuan dua tahun yang
lalu. Pertemuan yang setelah itu tidak bertemu lagi kecuali saat ta’aruf itu.
Paman Raghib dan semua yang hadir mafhum. Ia lalu membahas lebih dalam. Hafshah dan
Mahmud sama-sama rida. Hari pernikahan pun ditentukan.
* * *
Musim semi yang penuh barakah. Pagi yang indah. Langit yang cerah. Orang-orang menatap
hari dengan penuh gairah. Begitu juga Hafshah dan Mahmud. Pagi hari Jumat itu berlangsung
akad nikah di desa bersuka cita. Anak-anak mendendangkan lagu kebahagiaan dan cinta.
Rumah tua yang ditempati Mahmud ternyata adalah rumah tempat Hafshah dulu dilahirkan.
Rumah itu telah direnovasi. Dicat kembali. Kamar pengantin dihias indah dan wangi.
Malam usai shalat Isya Mahmud masuk kamar. Sang isteri telah menanti. Kali ini tidak
berjilbab. Mahmud terhenyak ketika melihat kalung permata yang dipakai Hafshah. Kalung emas
permata dengan bandul permata mulia berwarna merah tua yang sangat indah. Ia memandangi
kalung itu lama sekali.
Hafshah heran dan bertnya,
“Ada apa denganmu, Suamiku? Kenapa wajahmu pucat dan matamu berkaca-kacaa saat kau
melihat kalung permata ini?”
Mahmud berkaca-kaca, dan berkata,
“Jika mataku tidak silap. Aku pernah melihat kalung mutiara ini dua tahun yang lalu.
Pemiliknya mengatakan kalung ini dibeli dari Madrid untuk hadiah putri semata wayangnya
yang baru hafal Al-Quran.”
Mendengar hal itu Hafshah terisak. Ia teringat cerita ayahnya almarhum. Terbata- bata ia
berkata,” Jadi kaukah yang menemukan tas hitam lusuh di kamar kecil masjid Al Fath itu?
Kaukah yang menolak pemberian tanda terima kasih dari pemiliknya itu?”
Mahmud kaget, “Kau tahu peristiwa itu? Dari mana kau tahu peristiwa itu?”
“Kau ingat nama Ragab Ali Ridhwan Hamid Ghazali.”
“Ya. Itu pemilik tas itu?”
“Beliau adalah ayahku.”
“Ayahmu?”
“Ya.”
“Subhanallah. Ketika namamu disebut dalam akad nikah Hafshah binti Ragab Ali Ridhwan
Hamid Ghazali. Aku tidak pernah berpikiran nama pemilik tas hitam lusuh itu. Sebab betapa
banyak nama Ragab di Mesir ini.”
“Hari itu aku datang ke masjid El Fath bersama ayah. Aku asyik melihat buku-buku. Ayah
yang bertanya ke pengurus masjid. Ketika ayah bilang tasnya telah ditemukan masih utuh aku
sangat bahagia. Sementara ayah menunggu di masjid bakda shalat Isya, aku memilih langsung
istirahat ke hotel. Setengah sepuluh ayah masuk hotel sambil menangis. Aku bertanya pada ayah
ada apa. Ayah menjawab, ‘Yang menemukan tas ayah yang sangat berharga ini adalah seorang
pemuda yang sangat menjaga keikhlasan dan sangat menjaga amanah. Aku akan merasa bahgia
jika Allah berkenan menjodohkan dirimu dengannya.’ Suamiku, apakah kautahu apa yang
kulakukan saat mendengar perkataan ayah itu?”
“Aku tak tahu? Apa yang kaulakukan?”
“Dalam hati aku berdoa kepada Allah, jika pemuda itu memang benar-benar saleh dan
menjaga amanah semoga kelak ia benar-benar menjadi jodohku. Dan Allahu akbar! Allah
mengabulkan doaku.”
“Allahu akbar. Saat itu aku menolak amplop pemberian ayahmu. Dan ternyata Allah
menyiapkan yang lebih berharga dari itu.”
“Ya. Aku dan segala yang kumiliki sekarang ada dalam kuasamu.”
“Aku merasa musim semi ini benar-benar penuh barakah.”
Hafshah mendekat dan meletakkan kepalanya dalam dada Mahmud. Sesaat, suasana haru
dan indah memenuhi kamar pengantin. Kedua makhluk Allah itu larut dalam rasa syukur yang
dalam dan panjang. * * *
1 Kapten, maaf, berapa harga kaset ini?
2 Tujuh pound.
3 Mahal sekali.
4 Tidak nona, ini baru.
5 Empat, mungkin.
6 Tidak mungkin, afwan.
7 Lima (pound), tak akan aku tambah.
8 Okay.
9 Semoga Allah selalu menjagamu, memberimu keberhasilan hidup wahai anakku.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment